Ajining Diri Dumunung Aneng Lathi

Memuat...
Ajining Diri Dumunung Aneng Lathi

Artinya: Kwalitas diri tercermin dari tutur kata.

Tentu kita pernah mengalami suatu situasi dalam kesempatan diskusi, dimana terjadi perdebatan, ada yang saling cerca atau maki, berteriak dan juga saling adu keras suara, seolah-olah semua harus mendengerkan yang berteriak paling keras. Atau mungkin kita pernah dalam situasi dimana ada suatu diskusi monolog, dimana kita sebagai pendenger, dan justru yang berbicara memaki, berteriak dengan suara keras, seolah-olah bahwa yang mendengerkan harus nurut dan tidak boleh membantah.

Diantara kedua pengalaman, tentu kalau secara jernih kita melihat, tentu ada rasa prihatin yang muncul. Gus Dur pernah mengatakan DPR itu seperti anak TK, kalau di tangkap sebenarnya itu adalah menunjukan rasa prihatin, karena Gus Dur mungkin pernah dalam situasi pertama yaitu adanya saling debat, cercam, maki, teriak, walaupun belum tentu Gus Dur belum tentu tidak melakukan kepada yang lain.

Namun dari pesan ini, bisa kita mengungkapkan bahwa pribadi diri, harga diri, sangat tercermin pada kata-kata yang kita ucapkan.. Pernah saya bertanya pada seorang bijak, kalau saya sudah baik, bagaimana saya meningkatkan kwalitas diri, beliau hanya pesankan “Jaga tata basa lan tata laku”.

Dari sana bisa kita merenungkan bahwa ternyata “tata basa” / berkata-kata/berbahasa/berkomunikasi merupakan petunjuk atau indikator bagi diri sendiri apakah kita sudah cukup baik kwalitas kita atau hanya anggapan-anggapan sendiri.

Kalau dalam dunia persilatan dikatakan, “Tajamnya pedang sakti, tidak setajam lidah”, artinya kata-kata bisa melukai orang lain, kata-kata bisa menjadi racun, dan bisa membunuh orang lain.

Kata-kata disini yang mencerminkan diri adalah kata-kata yang mengandung motif, kata-kata yang isinya “Berkemauan” atau “Karsa”, diantara pilihan pengertian inilah bisa sangat menjadi indikator kwalitas diri  yang baik atau justru sebaliknya.

Dalam Kehidupan berumah tangga, “Ajining Diri Dumunung Aneng Lathi”, menurut penelitian, bahwa sehari laki-laki menghabiskan 7.000 kata untuk berbicara, sedangkan wanita menghabiskan 20.000 kata. Sangat indah kalau misalnya kata-kata ini adalah saling untuk menghidupkan. Disini peran wanita sangat penting juga bahwa bahasanya sangat dinanti untuk bisa menjaga stabilitas keluarga, maka jangan heran ada istilah bahasa ibu, karena ibu memang lebih sebagai pembicara keluarga, lewat bahasalah ibu mendidik/membangun keluarga. Namun laki-laki harus secara serius memperhatikan, tidak boleh asal melempar kata-kata walau pengunaan katanya lebih sendikit. Intinya cara berkomunikasi mencerminkan kwalitas keluarga.

Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), cara penyampaian bahasa kasih sangat penting dalam hubungan orang tua dan anak… Guru juga demikian halnya, tahu tata basa yang akan dipakai untuk murid, namun repotnya murid sering suka untuk mengambil kesimpulan sendiri. Kadang guru tidak mengeluarkan suara dalam bertutur, tapi dari sikap itu juga mencerminkan bahasa tertentu. Ada istilah, kalau sudah sampai ditegur beberapa kali oleh guru, itu sudah berarti keterlaluan. Guru selalu akan berusaha memilih kata-kata, agar walaupun murid tidak jadipun, tapi murid setidaknya bisa baik dalam bertutur kata. Demikian halnya hendaknya semua orang tua demikian.

Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), mengendalikan diri dalam berkata-kata agar tidak memberikan efek negatif, tidaklah menyendiri dalam hal prinsip hidup. Berbahasa dan berkata mengandung energi, energi yang menunjukan diri kita, yang bisa membangun dan juga merusak, maka tercermin diri kita apakah sebagai pembangun (penuh welas asih) atau perusak (penuh kemauan jahat).

Related Post



Tidak ada komentar:

Postingan Populer