Memuat...
Kalau berada di Bukit Mugas, akan Anda lihat Kota Semarang bawah terhampar luas hingga ke laut Jawa, di tempat yang tinggi inilah Ki Ageng Pandanarang (kadang dilafalkan Pandanaran), bupati pertama Semarang dimakamkan. Meski sudah meninggal seakan-akan beliau masih ingin mengawasi kota Semarang yang telah didirikannya sejak awal abad ke 16.
Makam wali yang terletak di tengah kota ini sering di ziarahi para birokrat, pedagang, serta santri dan kiai di sekitar Semarang. Malah setiap menjelang ulang tahun kota Semarang, pada 2 Mei, hampir semua pejabat kota Semarang, dari Walikota hingga Lurah berziarah ke makamnya, di lanjutkan ke makam Sunan Tembayat, anak Ki Ageng Pandanarang di Klaten. Sunan Tembayat dikenal sebagai Ki Ageng Pandanarang II, sekaligus sebagai Bupati Semarang kedua.
Asem Arang
Menurut buku Ki Ageng Pandanarang, Pendiri Kota Semarang, karya H. Sukardiyono, BA, juru kunci makam, Bukit Mugas dulu dikenal sebagai Pulau Tirang, sebab kala itu Kota Semarang bawah masih berupa lautan, dan Mugas termasuk pantai laut Jawa. Karena tempatnya agak tinggi dan menjorok ke laut, disebut Pulau Tirang atau Tirang Ngampar.
Di kawasan itu sebelum Ki Ageng Pandanarang datang, sudah ada beberapa Ajar, Pendeta Hindu, seperti Ajar Pragota yang berdiam di tanah pemakaman Bergota sekarang. Menurut serat Kandaning Ringgit Purwa Naskah kbg Nr 7, setelah menetap di Tirang Ampar, Ki Pandanarang berhasil mengislamkan sejumlah penduduk yang bertempat tinggal di sana. Berapa jumlahnya tidak disebutkan, mereka menjadi santri-santrinya. Malah di antara Endang, sebutan murid wanita dalam sekolah agama Hindu, yang bernama Sejanila bersedia masuk Islam dan kemudian menjadi istrinya.
Karena muridnya semakin banyak, Ki Ageng Pandanarang memindahkan pesantrennya ke daerah Pengisikan, dekat pantai yang landai, yang sekarang disebut Bubakan. Bubak, artinya membuka sebidang tanah yang dijadikan tempat kediaman. Selain banyak ikannya, daerah sekitar pantai itu juga dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.
Di pemukiman baru itulah, Ki Ageng Pandanarang mendirikan masjid, komplek pesantren, pasar serta lahan pertanian. Karena diakui sebagai cikal-bakal tempat tersebut, beliau diberi gelar “Jurunata”. Gelar ini sekaligus jabatan yang bobotnya setingkat dengan Bupati sekarang. Disebelah Bubakan ada kampung bernama Jumatan, disinilah letak persis kediamannya, tempat Jurunata.
Kabupaten Semarang di bawah kekuasaan Kerajaan Demak, ini terjadi karena Ki Ageng Pandanarang ada hubungan keluarga dengan Kerajaan Demak. Konon, Ki Ageng Pandanarang sendiri datang ke Semarang karena diutus Raden Patah untuk menyiarkan Islam.
Sebetulnya Islam sudah berkembang di Semarang sejak Laksamana Cheng Ho mendarat di pantai Simongan Semarang tahun 1405 M, namun seabad kemudian, Kiai dan masyarakat yang dibina Cheng Ho sudah meninggal dunia, banyak penduduk yang kembali beragama Hindu. Untuk itulah Ki Ageng Pandanarang di utus ke Semarang untuk membina lagi masyarakat Islam yang telah berganti kepercayaannya.
Sementara nama kota Semarang berasal dari ujarannya. Ketika di bubakan, ia melihat lahan yang jarang terdapat pohon Asam, berbeda dengan tempatnya dulu di Pulau Tirang, yang bergunung, sehingga pohon Asam tumbuh subur. Oleh masyarakat kemudian tempat tersebut dinamakan Semarang, kependekan dari Asem Arang (pohon Asem yang jarang).
Menurut buku Ki Ageng Pandanarang, Pendiri Kota Semarang, Ki Ageng adalah cucu Pangeran Sabrang Lor, anak tertua Raden Patah. Raja Demak pertama itu mempunyai putra tertua yang berdiam di sebelah utara sungai yang mengalir di Demak, dan oleh karena itu dia di beri nama Pangeran Sabrang Lor.
Pangeran Sabrang Lor mati muda dan memiliki anak yang bernama Pangeran Madiyo Pandan. Ia lebih senang hidup sebagai Sufi, di masa tuanya kemudian pindah ke Pulau Tirang. Anaknya yang bernama Kanjeng Pangeran Mande Pandan yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Pandanarang, meneruskan perjuangan ayahnya membina masyarakat Islam disekitar pulau itu, sebagaimana diceritakan diatas.
Kisah lain, kelurga Pangeran Mande Pandan memang ditugasi menyebarkan agama Islam di daerah Semarang. Namun karena usianya sudah tua, tugas itu diteruska anaknya, Ki Ageng Pandanarang, hingga berdiri Kabupaten Semarang.
Kapan Ki Ageng Pandanarang hidup? Sampai sekarang tidak ada catatan yang pasti. Ada beberapa tanggal yang menjdi perkiraan. Kota Semarang menetapkan hari lahirnya pada 2 Mei 1547 M. ini adalah tanggal dikukuhkannya Ki Ageng Pandanarang II alias Sunan Tembayat sebagai Bupati Semarang II.
Jadi, bisa diperkirakan, Ki Ageng dilahirkan sekitar 50 tahun sebelum tahun 1547. Beliau dimakamkan di Bukit Mugas. Atau sekarang beralamatkan di jalan Mugas Dalam II/4 Semarang, bersebelahan dengan Gedung SMP negeri 10 Semarang. Peninggalan yang ada , antara lain komplek makam, masjid dan bangunan yang dulu pernah digunakan sebagai peantren Pandanarang.
(http://www.sufiz.com/jejak-wali/ki-ageng-pandanarang.html)
Makam wali yang terletak di tengah kota ini sering di ziarahi para birokrat, pedagang, serta santri dan kiai di sekitar Semarang. Malah setiap menjelang ulang tahun kota Semarang, pada 2 Mei, hampir semua pejabat kota Semarang, dari Walikota hingga Lurah berziarah ke makamnya, di lanjutkan ke makam Sunan Tembayat, anak Ki Ageng Pandanarang di Klaten. Sunan Tembayat dikenal sebagai Ki Ageng Pandanarang II, sekaligus sebagai Bupati Semarang kedua.
Asem Arang
Menurut buku Ki Ageng Pandanarang, Pendiri Kota Semarang, karya H. Sukardiyono, BA, juru kunci makam, Bukit Mugas dulu dikenal sebagai Pulau Tirang, sebab kala itu Kota Semarang bawah masih berupa lautan, dan Mugas termasuk pantai laut Jawa. Karena tempatnya agak tinggi dan menjorok ke laut, disebut Pulau Tirang atau Tirang Ngampar.
Di kawasan itu sebelum Ki Ageng Pandanarang datang, sudah ada beberapa Ajar, Pendeta Hindu, seperti Ajar Pragota yang berdiam di tanah pemakaman Bergota sekarang. Menurut serat Kandaning Ringgit Purwa Naskah kbg Nr 7, setelah menetap di Tirang Ampar, Ki Pandanarang berhasil mengislamkan sejumlah penduduk yang bertempat tinggal di sana. Berapa jumlahnya tidak disebutkan, mereka menjadi santri-santrinya. Malah di antara Endang, sebutan murid wanita dalam sekolah agama Hindu, yang bernama Sejanila bersedia masuk Islam dan kemudian menjadi istrinya.
Karena muridnya semakin banyak, Ki Ageng Pandanarang memindahkan pesantrennya ke daerah Pengisikan, dekat pantai yang landai, yang sekarang disebut Bubakan. Bubak, artinya membuka sebidang tanah yang dijadikan tempat kediaman. Selain banyak ikannya, daerah sekitar pantai itu juga dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.
Di pemukiman baru itulah, Ki Ageng Pandanarang mendirikan masjid, komplek pesantren, pasar serta lahan pertanian. Karena diakui sebagai cikal-bakal tempat tersebut, beliau diberi gelar “Jurunata”. Gelar ini sekaligus jabatan yang bobotnya setingkat dengan Bupati sekarang. Disebelah Bubakan ada kampung bernama Jumatan, disinilah letak persis kediamannya, tempat Jurunata.
Kabupaten Semarang di bawah kekuasaan Kerajaan Demak, ini terjadi karena Ki Ageng Pandanarang ada hubungan keluarga dengan Kerajaan Demak. Konon, Ki Ageng Pandanarang sendiri datang ke Semarang karena diutus Raden Patah untuk menyiarkan Islam.
Sebetulnya Islam sudah berkembang di Semarang sejak Laksamana Cheng Ho mendarat di pantai Simongan Semarang tahun 1405 M, namun seabad kemudian, Kiai dan masyarakat yang dibina Cheng Ho sudah meninggal dunia, banyak penduduk yang kembali beragama Hindu. Untuk itulah Ki Ageng Pandanarang di utus ke Semarang untuk membina lagi masyarakat Islam yang telah berganti kepercayaannya.
Sementara nama kota Semarang berasal dari ujarannya. Ketika di bubakan, ia melihat lahan yang jarang terdapat pohon Asam, berbeda dengan tempatnya dulu di Pulau Tirang, yang bergunung, sehingga pohon Asam tumbuh subur. Oleh masyarakat kemudian tempat tersebut dinamakan Semarang, kependekan dari Asem Arang (pohon Asem yang jarang).
Menurut buku Ki Ageng Pandanarang, Pendiri Kota Semarang, Ki Ageng adalah cucu Pangeran Sabrang Lor, anak tertua Raden Patah. Raja Demak pertama itu mempunyai putra tertua yang berdiam di sebelah utara sungai yang mengalir di Demak, dan oleh karena itu dia di beri nama Pangeran Sabrang Lor.
Pangeran Sabrang Lor mati muda dan memiliki anak yang bernama Pangeran Madiyo Pandan. Ia lebih senang hidup sebagai Sufi, di masa tuanya kemudian pindah ke Pulau Tirang. Anaknya yang bernama Kanjeng Pangeran Mande Pandan yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Pandanarang, meneruskan perjuangan ayahnya membina masyarakat Islam disekitar pulau itu, sebagaimana diceritakan diatas.
Kisah lain, kelurga Pangeran Mande Pandan memang ditugasi menyebarkan agama Islam di daerah Semarang. Namun karena usianya sudah tua, tugas itu diteruska anaknya, Ki Ageng Pandanarang, hingga berdiri Kabupaten Semarang.
Kapan Ki Ageng Pandanarang hidup? Sampai sekarang tidak ada catatan yang pasti. Ada beberapa tanggal yang menjdi perkiraan. Kota Semarang menetapkan hari lahirnya pada 2 Mei 1547 M. ini adalah tanggal dikukuhkannya Ki Ageng Pandanarang II alias Sunan Tembayat sebagai Bupati Semarang II.
Jadi, bisa diperkirakan, Ki Ageng dilahirkan sekitar 50 tahun sebelum tahun 1547. Beliau dimakamkan di Bukit Mugas. Atau sekarang beralamatkan di jalan Mugas Dalam II/4 Semarang, bersebelahan dengan Gedung SMP negeri 10 Semarang. Peninggalan yang ada , antara lain komplek makam, masjid dan bangunan yang dulu pernah digunakan sebagai peantren Pandanarang.
(http://www.sufiz.com/jejak-wali/ki-ageng-pandanarang.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar