H. AbdulKarim Oei (Oei Tjen Hien) tokoh Muhammadiyah, pendiri Persatuan Tionghoa Indonesia

Melongok Masjid Lautze Pasar Baru, Masjidnya Warga Tionghoa
Ia dikenal dengan nama Haji Abdurkarim, seorang tokoh Muhammadiyah mantan anggota Parlemen RI dan mendirikan organisasi etnis Tionghoa Islam dengan nama Persatuan Islam Tionghoa Indonesia/PITI. Pada tahun 1967-1974 ia menjadi anggota Pimpinan Harian Masjid Istiqlal Jakarta yang diangkat oleh Presiden RI, menjadi anggota Dewan Panyantun BAKOM PKAB, dan anggota Pengurus Majelis Ulama Indonesia Pusat.

Ia lahir tahun 1905 di Padang Panjang dengan nama Oei Tjen Hien. Setelah lulus sekolah dasar kemudian mengikuti berbagai kursus, lalu bekerja sebagai pedagang hasil bumi. Disamping itu ia juga sebagai pandai emas, lalu ia pindah ke Bengkulu. Mula-mula ia mempelajari berbagai agama melalui bacaan buku, majalah dan suka bergaul dengan para pemeluk agama. Setelah mendapatkan pengetahuan dan keyakinan yang mantap, akhirnya dia yakin benar dan penuh kesadaran pada umur 20 tahun lalu masuk Islam.

Ia aktif di Muhammadiyah sampai tahun 1932 dan dalam kegiatan ini lalu kenal dengan Prof. Dr. HAMKA. Pergaulannya semakin luas dan pengalamannyapun semakin tambah lalu pada tahun 1961 beliau membentuk organisasi Islam bernama Persatuan Islam Tionghoa Indonesia/PITI. Organisasi ini sebenarnya merupakan gabungan dari dua organisasi yang sejenis sebelumnya yakni Persatuan Islam Tionghoa dan Persatuan Tionghoa Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, maka organisasi PITI ini berubah menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.

Dalam dunia bisnis, dia dikenal sebagai seorang etnis yang ulet dan memegang berbagai jabatan penting antara lain; Komisaris Utama BCA, Direktur Utama Asuransi Central Asia, Direktur PT Mega, Direktur Utama Pabrik Kaos Aseli 777, dan Direktur Utama Sumber Bengawan Mas. Sebagai seorang muslim yang taat dia selalu menghitung dengan teliti jumlah kekayaannya untuk dikeluarkan zakatnya. Pak Oei dikenal pula dengan si Baba (atau Babadek menurut orang Bengkulu) juga akrab dengan Bung Karno (Presiden I RI). Suatu ketika di Bengkulu, Pak Oei akan melakukan kunjungan ke cabang-cabang Muhammadiyah dengan mobil yang dikemudikan oleh seorang sopir. Mobil itu berjalan pelan-pelan karena di belakang ada Bung Karno yang sedang bersepeda sambil berbincang-bincang dengan Pak Oei. Sesampai di atas kota kedua sahabat karib itu berpisah, dan Bung Karno bersepeda kembali ke kota dan Pak Oei melanjutkan perjalanan ke daerah-daerah.

Haji Abdulkarim Oei sebagai salah seorang pionir keturunan Tionghoa yang aktif dalam upaya pembauran. Hal ini dia buktikan dengan kesadarannya menjadi warganegara Indonesia yang otomatis harus keluar dari hidup menyendiri di lingkungan etniknya. Ke Islamannya membawa Oei otomatius ke pola hidup baru ini. Dan keakrabannya dengan sejumlah tokoh seperti Buya Hamka akan lebih memotivasi Pak Oei dalam menggerakkan Muhammadiyah dan memperkuat upaya pembauran. Buya Hamka sendiri pernah menyatakan tentang diri Pak Oei ini dalam brosur "Dakwah dan Asimilasi" tahun 1979 "Dalam tahun 1929 mulailah saya berkenalan dekat dengan seorang muslim yang membaurkan dirinya ke dalam gerakan Muhammadiyah dan langsung diangkat oleh masyarakat Muhammadiyah di tempat tinggalnya, yaitu Bengkulu.

Ia menjadi Konsul Muhammadiyah Daerah tersebut sekarang namanya lebih terkenal dengan sebutan Bapak Haji Abdulkarim Oei. Telah 50 tahun kami berkenalan, sama faham, sama pendirian dan sama-sama bersahabat karib dengan Bung Karno. Persahabatan Saudara H. Abdulkarim dengan Bung Karno itu sangatlah menguntungkan bagi jiwa H. Abdulkarim sendiri". Di samping dia menjadi seorang muslim yang taat, diapun dipupuk, diasuh dan akhirnya menjadi Nasionalis Indonesia sejati. Semasa pendudukan Jepang H. Abdulkarim diangkat sebagai Dewan Penasehat Jepang (Chuo Sangi Kai). Pada masa kemerdekaan ia diangkat sebagai KNI Bengkulu dan sebagai anggota DPR mewakili golongan minoritas. Dalam kepartaian dia memilih Partai Muslimin Indonesia/PARMUS sebagai wadah perjuangannya.

Pada tahun 1982 riwayat hidupnya yang berjudul "Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa" terbitan PT Gunung Agung Jakarta itu ditarik dari peredaran karena dinilai merugikan pihak-pihak tertentu. Bersama dengan Yunus Yahya, Oei melakukan pembinaan agama Islam kepada warga keturunan. Yunus Yahya nama aslinya adalah Lauw Chuan Tho termasuk tokoh pembaruan dari kalangan Cina Muslim di Indonesia dan pernah sekolah di Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam Belanda. Ia masuk Islam tahun 1979 dan diangkat sebagai Pengurus Majelis Ulama Indonesia tingkat nasional sejak 1980-1985.

Haji Abdulkarim Oei Tjen Hien meninggal dunia pada hari Jum`at dini hari tanggal 14 Oktober 1988 dalam usia 83 tahun karena sakit tua dengan beberapa komplikasi. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta dekat makam isterinya Maimunah Mukhtar yang meninggal tahun 1984 dengan meninggalkan 5(lima) putra-putri dan beberapa cucu


Masjid Lautze, Masjidnya Warga Tionghoa

Masjid Lautze didirikan oleh Yayasan Abdul Karim Oei dan diresmikan pada tahun 1994. Dalam waktu dekat fisik bangunan Masjid Lautze akan dipugar, namun masalah biaya menjadi ganjalan.

Liputan6.com, Jakarta: Masjid Lautze yang berlokasi di daerah Pecinan, Pasar Baru, Jakarta Pusat adalah sebuah masjid yang didirikan komunitas Tionghoa muslim di ibu kota. Dengan segala keterbatasan, masjid yang didirikan Yayasan Abdul Karim Oei dan diresmikan 1994 ini terus menjalankan fungsinya sebagai tempat syiar Islam.

Sepintas memang tak ada yang unik dari masjid yang berbentuk rumah toko layaknya ruko-ruko lain yang ada di sekitarnya. Bentuk bangunan Masjid Lautze pun bisa dibilang sangat sederhana. Namun kesan pertama yang tertangkap segera sirna bila Anda memasuki ruang masjid seperti yang dialami SCTV, baru-baru ini.

Ciri-ciri sebuah masjid begitu terasa di ruang dalam gedung berlantai empat itu. Lantai pertama dan kedua biasa digunakan untuk salat berjemaah. Sedangkan lantai tiga dan empat berfungsi sebagai kantor sekretariat Yayasan Abdul Karim Oei.

Warna merah yang disapukan pada beberapa bagian dinding bangunan menjadi satu-satunya sentuhan Tionghoa di Masjid Lautze. Selain itu tak terlihat lagi ornamen tradisional Cina lainnya. Namun di dalam ruang masjid tergantung pula beberapa foto Abdul Karim Oei.

Muhammad Ali Karim Oei, anak almarhum Abdul Karim Oei mengatakan, dalam waktu dekat fisik bangunan Masjid Lautze akan dipugar. Dia mengaku sudah memiliki gambaran masjid setelah dipugar nanti. Namun masalah biaya masih menjadi ganjalan.(ICH/Ariyo Ardi dan Budi Sukma)


Melongok Masjid Lautze di Yayasan Haji Karim Oei, Pasar Baru
Masjid ngontrak, pernahkah anda dengar? Mungkin Masjid Lautze masjid pertama di Indonesia yang pernah terpaksa mengontrak gedung demi tegaknya syi’ar agama Islam di kalangan etnis Cina. Karena sebagian besar jama’ah masjid adalah mu’alaf (orang yang baru masuk Islam), di saat bulan ramadhan pengajian mingguan banyak dilakukan di rumah-rumah pejabat. Apa sih uniknya mereka?

Berdiri di tengah-tengah daerah perdagangan, gedung berlantai empat di jalan Lautze No 87-89, Pasar Baru, Jakarta ini seperti layaknya ruko (rumah toko). Papan nama berwarna merah. Pintu-pintunya pun berwarna merah. Warna khas etnis Cina. Namun ada nuansa lain dalam bentuk bingkai pintunya yang melengkung.

Lengkungan itu seperti gaya bangunan seni Islam. Gambarannya pun serupa masjid. Ternyata, lantai bawah bangunan yang bertuliskan nama Yayasan Haji Karim Oei (baca: Karim Ui) memang berfungsi sebagai masjid, yaitu Masjid Lautze.

Yayasan Haji Karim Oei didirikan 9 April 1991. Nama Karim Oei diambil dari nama seorang tokoh Islam keturunan Tionghoa yang akrab dengan Bung Karno, Bung Hatta dan tokoh-tokoh nasional lain saat itu. Nama yang terdengar bernuansa Cina ini dipilih untuk menyesuaikan diri dengan misi yayasan yang berupaya menyebarkan Islam di kalangan etnis Tionghoa.

Selain dikenal sebagai konsul Muhammadiyah karena ketaatannya menjalankan syari’at Islam dengan baik, H Karim Oei juga seorang bisnismen yang sukses. Ia merupakan salah satu pendiri Bank Central Asia (BCA), Preskom BCA dan pemilik berbagai perusahaan yang sukses, khususnya di bidang industri. “Karena itu, setelah bapak meninggal, Pak Yunus Yahya (tokoh pembauran) dan kawan-kawan mendirikan yayasan ini untuk mengenang almarhum. Tujuannya, agar lahir Karim Oei-Karim Oei baru yang Islamnya kuat, nasionalis tulen dan bisnismen sukses,” tutur H Ali Karim, SH, salah satu anak H Karim Oei dan menjadi Wakil Ketua Umum Yayasan Haji Karim Oei.

Lokasi gedung memang terletak di area Pecinan (China town). Sehingga, memudahkan warga keturunan memperoleh informasi tentang Islam. “Mungkin sebenarnya banyak orang Tionghoa ingin tahu tentang Islam.

Tetapi kebanyak mereka takut atau ragu untuk masuk masjid. Dengan melihat papan nama yang mencantumkan jelas nama Haji Karim Oei, tentu orang sudah tahu bahwa ini yayasan Islam yang ada hubungannya dengan etnis Cina. Sehingga, kalau ada orang Tionghoa lewat sini dan ingin masuk Islam, tidak akan sungkan lagi,” papar Ali.

Meski sarat nuansa Cina, Ali menegaskan, keberadaan yayasan terbuka untuk setiap orang. ”Salah, kalau ada yang mengatakan yayasan ini adalah perkumpulan cina muslim. Misinya memang untuk orang Cina, tapi kegiatannya siapa saja boleh ikut. Bahkan, kita pun tidak menutup kemungkinan bagi non muslim untuk berpartisipasi membantu yayasan atau mengikuti berbagai forum kegiatan di sini.”


Cina kaya
Stereotipe orang Cina pasti kaya, juga dialami oleh yayasan. Itu terlihat dari banyaknya permohonan bantuan pada yayasan. Padahal, pada awal berdirinya, untuk menebus akte pendirian sebesar Rp 100.000 saja pihak yayasan tidak mampu. Beruntung, yayasan mendapat tugas mengurus jama’ah haji dengan ONH Plus. Uang komisi dari tugas itulah yang digunakan untuk membayar akte.

Setelah yayasan berdiri, kendala lain muncul. Yayasan belum mempunyai tempat. Maka, mau tak mau harus mengontrak gedung di lantai bawah di jalan Lautze untuk kantor. Ide lain kemudian muncul dari ketua umum Yayasan yaitu Drs H Junus Jahja untuk membangun masjid. “Tidak ada jalan lain, kita hanya punya satu lantai digunakan untuk masjid. Sedang kantor kita pakai ruangan pak Yunus yang berada di lantai dua,” ungkap Ali seraya menambahkan, “jadilah masjid ini masjid pertama di Indonesia yang ngontrak.

Masjid Lautze baru dinyatakan milik yayasan, setelah Prof DR Ing Habibie melalui ketua ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) saat itu yaitu H Ahmad Tirtosudiro (sekarang ketua DPA), membayar harga gedung berlantai empat secara keseluruhan. Yaitu, sekitar 1998 yayasan telah memiliki gedung sendiri dan digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan umat Islam.


Dakwah Ramadhan melalui Media Elektronik

Ramadhanan ala Masjid Lautze tak ubahnya pengajian keliling yang digelar dari rumah ke rumah. Tak kalah menariknya, rumah yang dikunjungi adalah rumah para pejabat. Mereka tidak perlu menunggu undangan, justru para pejabat itulah yang banyak mengundang.

Jama’ah Masjid Lautze ini memang tergolong unik. Mengapa? Karena sebagian besar di antara mereka adalah mu’allaf yang pastinya telah mendapat hidayah dari Allah untuk memeluk agama Islam, meski melalui proses pengislaman berbeda. Misalnya, karena pergaulan atau menjelang menikah.

Menurut HM Syarif Tanudjaya, bendahara umum yang juga salah seorang pengurus harian yayasan, sebelum terjadi krisis, hampir setiap hari ada orang Tionghoa yang ingin masuk Islam. Mereka kemudian dikumpulkan untuk diyakinkan terlebih dahulu kesungguhannya pindah agama. Namun setelah krisis, kira-kira tiga hari sekali ada yang masuk Islam. Jumlahnya tiap tahun ada 100 sampai 120 orang yang baru masuk Islam.

Upaya menegakkan syi’ar Islam di lingkungan etnis Cina ini, diakui H Ali Karim, SH, Wakil Ketua Umum Yayasan Haji Karim Oei, tidak mudah. Oleh karena itu, kegiatan pengajian dilaksanakan setiap minggu pukul 11.00 WIB, hingga dilanjutkan setelah dzuhur dengan memanfaatkan beragam kegiatan. Seperti, diskusi, les bahasa Inggris, bahasa Cina, musik dan lainnya

Mengapa dipilih hari Minggu? “Karena keturunan Cina banyak pedagang, hari Minggu mereka tidak kerja.

Terutama, jama’ah di sini banyak pula yang datang dari tempat jauh, seperti Bogor, Tangerang, Cirebon dan lain-lain. Tapi, hari Senin sampai Jum’at pun mereka bisa datang. Bagi warga sekitar sini yang mau belajar ngaji atau tanya-tanya persoalan agama ada ustdz-ustdzah yang siap membantu,” ungkap Ali.


Pengajian keliling

Khusus di bulan Ramadhan, biasanya dilakukan pengajian keliling dari rumah ke rumah tiap minggu. Uniknya, rumah yang dikunjungi adalah rumah salah seorang pejabat atas undangannya. Sebelum reformasi, beberapa nama seperti Mar’ie Muhammad, BJ Habibie, Amin Rais, R Hartono, pernah mengundang jama’ah masjid untuk berbuka puasa, tarawih dan mendengar ceramah.

Selain itu, Yayasan Haji Karim Oei juga selalu berupaya untuk mensyi’arkan dakwah bulan Ramadhan melalui media elektronik. Contohnya, pada bulan Ramadhan tahun lalu mengadakan kerja sama dengan (almarhum) Anton Indracaya tentang masalah haji. “Niat untuk membuat acara seperti itu lagi tetap ada. Tetapi, untuk membuat pesantren kilat di bulan Ramadhan belum terpikir. Dulu, pernah kita programkan tapi terbentur pada
pemilahan kelas. Jama’ahnya kan ada yang hanya tamat SMP, SMA, kuliah, sehingga cara berpikirnya beda. Mau bikin kelas awalnya dari mana, bingung,” tukasnya.


English Club
Jama’ah remaja Masjid Lautze pun terbilang cukup aktif. Meski sebagian besar di antara mereka adalah mua’alaf awal (baru masuk Islam), mereka mampu menerapkan ajaran Islam dalam seluruh sendi-sendi kehidupannya. Hal ini terlihat dari kegiatan mereka yang tergabung dalam English Club Remaja Masjid Lautze. Pada Ramadhan ini, mereka menggelar Learning English Fast with games. Adanya games ini, ungkap Endang, salah seorang anggota English Club, tujuannya untuk memancing kreatifitas peserta kursus agar tidak cepat bosan. “Ini berlaku untuk umum, non muslim juga boleh,” ujar mua’alaf yang pada usia lima tahun ingin belajar mengaji, namun mulai terketuk masuk Islam sejak SMA.

Bentuk kegiatan ini pun, menurut Wina, cucu almarhum Karim Oei, tidak seperti les. “Kalau materinya terlalu banyak, bisa jadi beban mental. Kita mulai dari yang disukai. Tidak seluruhnya bicara tentang Islam, tetapi pada akhirnya basic to Al- Qur’an,” ucapnya penuh antusias.

(dari berbagai sumber/video liputan6)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar