Memuat...
Penulis : RITA SIANIPAR
Ini adalah kisah mistis seorang pemuda bernama Alamsyah. Suatu ketika, dia dibawa orang Bunian mengarungi perjalanan gaib dengan naik pesawat. Perjalanan antara Medan menuju Jakarta. Bagaimana kisah mistisnya...?
Rumah itu agak terpencil dari rumah-rumah penduduk lainnya. Walaupun halamannya luas, namun pekarangannya tidak terawat. Rumput liar dan sampah daun kering memenuhi halaman itu. Pepohonan rindang seperti jambu air, jambu biji, bahkan mangga yang berbuah lebat dibiarkan tumbuh begitu saja, seolah tidak ada yang mengurusnya.
Aku sempat heran bila melewati rumah tersebut yang selalu sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Tapi setiap melewati rumah itu, aku merasa ada sepasang mata yang selalu memperhatikan langkahku.
Mulanya aku tidak memperdulikan hal tersebut. Maklumlah, sebagai warga baru di kampung itu, aku sedang dalam tahap perkenalan.
Sebagai seorang penyuluh pertanian yang ditempatkan pemerintah, aku harus bisa bersosialisasi dengan penduduk kampung tempatku bertugas. Aku pun mulai hafal satu persatu nama penduduk serta rumahnya.
Tak jarang, bila berpapasan dengan warga, aku yang duluan tersenyum dan mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri dan keluargaku. Ya, namanya tinggal di perkampungan, tentu haruslah pandai membawa diri. Lain dengan hidup di kota, karena kesibukan masing-masing, antar warga satu kompleks saja tidak saling mengenal.
Siang itu, usai menghadiri pertemuan di Balai Desa, aku berjalan melewati rumah besar yang di mataku sepertinya menyimpan keanehan itu. Tiba-tiba, dari rerimbungan pohon jambu air di pekarangan rumah itu, keluar seorang laki-laki setengah baya bertubuh kurus, rambutnya memutih dengan potongan yang tak beraturan.
Baju kaos dan celana komprang yang dikenakan si lelaki sudah memudar warnanya di makan usia. Saat itu, dia hanya memandangiku. Aku tersenyum dan mencoba berkomunikasi dengannya.
Namun dia hanya diam saja. Dua jari tangannya didekatkan ke arah bibirnya. Aku mencoba memahami isyaratnya itu dengan menjulurkan sebungkus rokok kepadanya.
Tangan lelaki tua itu meraih rokok yang kusodorkan, lalu mengambil sebatang. Aku segera menyodorkan mancis yang sudah kuhidupkan ke arah rokok yang terlelip di bibirnya. Lelaki itu lalu menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Bibirnya bergerak-gerak, namun tak ada terdengar suara yang keluar dari sana.
Sebelum berlalu, aku memberikan bungkusan rokok yang kumiliki padanya. Namun dia menolak dan hanya mengambil sebatang saja, setelah itu dia berjalan ke arah rumah tuanya.
Sore harinya, karena penasaran dengan sosok lelaki tua itu, aku mendatangi rumah Pak Umar, kepala dusun. Tujuanku ingin bersilaturahmi sekaligus mengetahui siapa sosok misterius penghuni rumah berhalaman luas, yang di mataku juga terkesan misterius itu.
Saat kuceritakan pada Pak Umar tentang pertemuanku dengan lelaki itu, Pak Umar terkejut dan berkata, "Kenapa, apakah Pak Iwan diganggu oleh Alamsyah?"
"Tidak, Pak, hanya saja ketika saya lewat siang tadi, dia berdiri di pingir halamannya, lalu saya menyodorkan rokok padanya. Namun anehnya, dia hanya mengambil sebatang saja, padahal saya sudah ikhlas bila dia mengambil sebungkus rokok tersebut," ceritaku pada Pak Umar.
Pak Umar menarik nafas berat. "Ya, begitu dia. Alamsyah memang selalu demikian. Dia selalu minta rokok pada setiap orang yang dijumpainya. Tapi bila disodori sebungkus, dia hanya mengambil sebatang saja, setelah itu dia berlalu," jelasnya.
Pak Umar melanjutkan bahwa, dulunya Alamsyah adalah pemuda yang rajin bekerja. Tapi sejak dia dibawa pergi orang Bunian naik pesawat terbang dan menghilang beberapa lama, dia jadi lupa ingatan, lupa pada dirinya sendiri.
"Orang Bunian itu dari suku apa, Pak?" Tanyaku.
"Nak Iwan, orang Bunian itu adalah sebangsa makhluk halus." jelas pak Umar.
Selanjutnya Pak Umar menceritakan tentang laki-laki bernama Alamsyah itu padaku. Inilah ceritanya....
Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1970-an. Pada masa itu, bepergian dengan pesawat merupakan pengalaman istimewa. Hanya para pejabat dan orang kaya sajalah yang dapat melakukan perjalanan udara tersebut.
Kala itu, Alamsyah baru berumur 20 tahun. Sebagai pemuda miskin, Alamsyah ingin merubah nasib keluarganya. Dia sudah bosan tinggal di desanya. Apalagi kehidupan keluarganya yang miskin mengharuskannya bekerja keras sebagai petani penggarap.
Rasanya, Alamsyah sudah membanting tulang seharian, namun hasil yang diperoleh tidaklah memadai, hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Merasakan keadaan hidup yang sedemikian, Alamsyah suka melamun sendirian, terutama bila dia melihat pesawat terbang yang melintas di atas pematang sawahnya. Dia mengkhayal, apakah dirinya dapat menikmati duduk di dalam pesawat itu. Dan impiannya naik pesawat terbang selalu diceritakan pada para tetangganya.
Bagi penduduk desa tempatnya tinggal, jangankan untuk naik pesawat, melihat besarnya pesawat itu dari dekat saja mereka tidak pernah. Sehingga bila Alamsyah menceritakan impiannya, mereka selalu menertawakan dan mengolok-oloknya.
Tapi Alamsyah tidak pantang menyerah. Suatu ketika, ada tetangga dusun sebelah yang akan berangkat haji. Dia pun ikut rombongan mengantar ke kota Medan. Tujuannya hanya ingin ke Bandara Polonia dan melihat dari dekat badan pesawat terbang.
Alangkah kagumnya dia, tatkala melihat ukuran pesawat yang sedemikian besarnya. Apalagi saat pesawat itu mulai lepas landas, tanpa sadar tangan Alamsyah melambai-lambai.
Sepulangnya ke rumah, keinginan Alamsyah untuk naik pesawat terbang semakin menggebu-gebu. Untuk mewujudkan impiannya itu, Alamsyah semakin rajin bekerja. Kadang, seharian dia mencangkul di ladangnya dan baru pulang bila malam menjelang.
Seperti yang terjadi hari itu. Saat matahari sudah condong ke barat, para petani yang bekerja, satu-persatu mulai meninggalkan ladangnya. Namun Alamsyah belum beranjak jua. Tanpa disadarinya, malam sudah menjelang. Dan hanya Alamsyah sendiri yang masih mencangkul di ladangnya.
Saat itulah, entah dari mana asalnya, Alamsyah mendengar suara keramaian. Dia menghentikan pekerjaannya. Tatkala diperhatikan, di sekelilingnya bukan lagi persawahan, namun telah menjelma menjadi sebuah kota yang sangat indah.
Lampu-lampu terang benderang menghiasi setiap sudut kota itu. Alamsyah melihat orang-orang hilir mudik dengan pakaian yang indah. Ada yang berjalan dengan membawa belanjaan, tapi ada juga yang menaiki kuda.
Dalam keheranannya, Alamsyah merasa bahunya ditepuk seseorang. Saat dia melihat ke belakang, kagetlah dia karena yang menepuk bahunya adalah seorang gadis yang sangat cantik. Gadis itu tersenyum padanya.
"Apakah Abang penghuni baru kota ini, karena saya tidak pernah melihat Abang sebelumnya?" Tanya gadis itu.
"Kamu siapa? Dan aneh, saya berada di mana sekarang? Kalau tidak salah tadi saya sedang mencangkul di sawah. Tapi kenapa saat ini saya sudah berada di kota ini?" Alamsyah keheranan.
Gadis itu kembali tersenyum. Dan senyumnya kali ini seakan telah membius kesadaran Alamsyah, sehingga dia mendadak lupa pada keheranannya sendiri.
Namun, gadis itu kemudian berujar dengan suara teramat lembut, "Perkenalkan, saya Laila, salah seorang warga penghuni kota ini, Bang. Benar kata Abang tadi, bila matahari bersinar, tempat ini merupakan persawahan. Tapi bila hari senja, disini adalah tempat tinggal kami. Perkampungan orang Bunian."
Alamsyah melongo. Dia sungguh-sungguh sulit percaya dengan apa yang baru saja dikatakan gadis yang menyebut dirinya sebagai Laila itu.
"Ah, sudahlah, Bang!" Cetus Laila melihat lawan bicaranya yang tampak seperti orang linglung. Dia lalu melanjutkan, "Saya lihat Abang lelah dan belum makan. Sebaiknya Abang istirahat di rumah saya."
Laila, gadis Bunian itu kemudian membimbing Alamsyah berjalan. Bagai orang dihipnotis, Alamsyah menuruti saja langkah Laila. Dengan bingung Alamsyah melihat di sisi kanan kiri jalan bangunan-bangunan kuno tertata apik dan rapi. Sesekali juga mereka berpapasan dengan penduduk kota tersebut, dan terlihat memperhatikan kehadiran Alamsyah.
Mereka akhirnya sampai di depan sebuah pintu gerbang rumah yang dijaga oleh pengawal. Dengan isyarat tangan Laila, Alamsyah dan gadis itu masuk ke dalam ruangan yang ternyata merupakan sebuah istana.
Alamsyah kagum melihat perabotan rumah yang begitu indah. Meja dan kursi serta hiasan dindingnya berukiran indah. Sementara itu perabotan makannya terbuat dari perak.
Puas mengagumi keindahan istana itu, Laila membawa Alamsyah ke sebuah kamar dan menyodorkan pakaian padanya.
"Abang mandilah dahulu dan berganti pakaian yang ada di lemari ini. Usai itu, kita makan dan jalan-jalan berkeliling kota menikmati malam. Karena saat ini keramaian dan pertunjukan pasar malam," kata Laila.
Pemuda itu menuruti perkataan Laila. Dia mandi dan berganti pakaian. Setelah itu mereka menuju ruang makan. Alamsyah dipersilahkan tuan rumah untuk mencicipi hidangan yang tersedia di atas meja. Karena seharian mencangkul di sawahnya, Alamsyah sangat lapar, dan dia menikmati makanan dengan lahap.
Setelah makan, mereka berkeliling kota dengan menaiki kuda. Sepanjang perjalanan Alamsyah tak henti-hentinya mengagumi keindahan kota tersebut.
Ketika istirahat di sebuah bangku taman, Laila bertanya pada Alamsyah. "Kalau saya perhatikan, Abang sangat gembira. Sepertinya Abang belum pernah menikmati kegembiraan seperti ini?" Tanyanya.
"Ya, baru inilah saya menikmati perjalanan yang menyenangkan. Sehari-hari saya hanya bekerja membanting tulang di ladang. Semua itu Abang lakukan untuk menghidupi keluarga dan demi mewujudkan impian Abang," jelas Alamsyah.
"Memangnya apa impian Abang itu? Ya, siapa tahu Laila bisa membantu," Laila menatap lelaki di depannya.
"Abang pernah bermimpi memiliki rumah yang bagus dengan isteri cantik. Tapi mimpi Abang yang paling menganggu adalah ingin menikmati perjalanan dengan pesawat terbang. Abang ingin merasakan terbang di antara awan dan melihat keindahan kota Jakarta," jelas Alamsyah panjang lebar.
"Di alam orang Bunian, impian Abang bisa aku wujudkan. Sekarang pegang tanganku dan pejamkan mata Abang, dan jangan buka sebelum aku perintahkan!" Kata Laila sambil merapatkan lima jarinya ke jari Alamsyah.
Bagai dihipnotis, Alamsyah menuruti permintaan Laila. Perlahan, dia memejamkan matanya. Agak lama berlalu, kemudian terdengar suara lembut Laila, "Bukalah matamu, Bang, dan perhatikan di sekeliling kita!"
Saat membuka matanya, Alamsyah terkejut, karena dia sudah berada di Bandara Polonia, dan sedang berjalan dengan Laila menuju ke sebuah pesawat. Perlahan tapi pasti, Laila membimbing langkah Alamsyah menaiki satu-persatu anak tangga pesawat.
Alamsyah tidak mengerti bagaimana dia dan Laila bisa sampai di sana? Padahal jarak dari kampungnya ke Bandara yang ada di kota Medan itu bisa memakan waktu satu hari perjalanan.
Alamsyah juga heran, sepertinya tidak ada orang yang peduli dan memperhatikan kehadiran mereka di sana. Setiap orang masing-masing sibuk dengan urusan dan bawaannya sendiri, saat akan menaiki badan pesawat.
Sampai di dalam pesawat, Laila membawa Alamsyah ke ruangan pilot. Dari sana mereka melihat bagaimana pesawat itu mulai melakukan penerbangan. Saat itu perasaan Alamsyah sangat senang, karena dia dapat merasakan berada di dalam pesawat terbang.
Dari atas pesawat, Alamsyah memperhatikan rumah-rumah di bawah yang sudah tampak setitik, dan selanjutnya hilang di balik awan. Dan pemandangan hanya seputih awan saja. Dari pengeras suara, Alamsyah mendengar pengumuman bahwa sesaat lagi pesawat akan mendarat di Ibukota Negara Jakarta, tepatnya di banda Halim Perdanakusumah, ketika itu. Alamsyah pun bersiap-siap hendak turun.
Tapi dia juga heran, sebab Laila yang membawanya naik pesawat tidak berada di sisinya lagi. Alamsyah berjalan mencari-cari di dalam pesawat tersebut. Hingga, akhirnya pesawat mendarat, dan satu persatu penumpang turun, Alamsyah tak menemukan Laila.
Dalam kegalauannya mencari Laila, Alamsyah melangkahkan kakinya menuruni anak tangga pesawat. Saat kakinya menjejak di tanah, cahaya matahari menyengat kulit tubuhnya, dan menyilaukan matanya. Nah, ketika itulah keanehan terjadi.
Alamsyah yang sebelumnya berpakaian bagus, ketika itu berubah berpakaian lusuh, seperti akan ke sawah. Dua orang petugas Banda yang melihat penampilannya tersebut heran pada kehadiran Alamsyah di bandara, sebab dengan pakaian seperti orang yang akan berangkat ke sawah; celana komprang, baju lusuh, dan topi caping bertengger di kepalanya, Namun, orang berpenampilan lusuh itu baru saja turun dari pesawat. Padahal di zaman itu, orang yang bepergian dengan pesawat, hanyalah para pejabat ataupun orang kaya saja. Mereka sudah tentu berpakaian bagus.
Ketika petugas menanyakan tiketnya, Alamsyah tidak tahu, karena menurut pengakuannya dia menaiki pesawat dengan sebab diajak seorang gadis cantik bernama Laila.
Petugas yang memeriksa Alamsyah semakin kebingungan, bahkan kemudian menganggap Alamsyah orang gila. Bayangkan saja, setiap kali ditanya petugas, Alamsyah hanya bisa menyebut-nyebut nama Laila yang telah membawanya. Ketika ditanyai nama, alamat dan darimana sia berasal, Alamsyah sudah tidak tahu lagi, yang keluar dari bibirnya hanya nama Laila saja.
Setelah ditahan selama satu minggu oleh petugas, dan terbukti tak membawa benda-benda berbahaya, saat pesawat akan berangkat ke Medan, Alamsyah dititipkan untuk diperiksa di Medan, karena menurut dugaan petugas dia berasal dari sana.
"Namun, Tuhan berkehendak lain, sejak itu Alamsyah menjadi bisu dan tidak tahu siapa dirinya lagi. Hingga aparat keamanan melepaskannya. Beberapa orang warga desa ini menemukan Alamsyah di jalanan setelah enam bulan dia menghilang, dan dalam kondisi seperti yang Nak Iwan lihat tadi, dia bisu dan kurang ingatan," jelas Pak Umar di akhir ceritanya.
Aku pun terdiam. Ah, betapa sulit diterima akal sehat kisah mistis yang dialami oleh Alamsyah ini. Wallahu'alam!
Ini adalah kisah mistis seorang pemuda bernama Alamsyah. Suatu ketika, dia dibawa orang Bunian mengarungi perjalanan gaib dengan naik pesawat. Perjalanan antara Medan menuju Jakarta. Bagaimana kisah mistisnya...?
Rumah itu agak terpencil dari rumah-rumah penduduk lainnya. Walaupun halamannya luas, namun pekarangannya tidak terawat. Rumput liar dan sampah daun kering memenuhi halaman itu. Pepohonan rindang seperti jambu air, jambu biji, bahkan mangga yang berbuah lebat dibiarkan tumbuh begitu saja, seolah tidak ada yang mengurusnya.
Aku sempat heran bila melewati rumah tersebut yang selalu sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Tapi setiap melewati rumah itu, aku merasa ada sepasang mata yang selalu memperhatikan langkahku.
Mulanya aku tidak memperdulikan hal tersebut. Maklumlah, sebagai warga baru di kampung itu, aku sedang dalam tahap perkenalan.
Sebagai seorang penyuluh pertanian yang ditempatkan pemerintah, aku harus bisa bersosialisasi dengan penduduk kampung tempatku bertugas. Aku pun mulai hafal satu persatu nama penduduk serta rumahnya.
Tak jarang, bila berpapasan dengan warga, aku yang duluan tersenyum dan mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri dan keluargaku. Ya, namanya tinggal di perkampungan, tentu haruslah pandai membawa diri. Lain dengan hidup di kota, karena kesibukan masing-masing, antar warga satu kompleks saja tidak saling mengenal.
Siang itu, usai menghadiri pertemuan di Balai Desa, aku berjalan melewati rumah besar yang di mataku sepertinya menyimpan keanehan itu. Tiba-tiba, dari rerimbungan pohon jambu air di pekarangan rumah itu, keluar seorang laki-laki setengah baya bertubuh kurus, rambutnya memutih dengan potongan yang tak beraturan.
Baju kaos dan celana komprang yang dikenakan si lelaki sudah memudar warnanya di makan usia. Saat itu, dia hanya memandangiku. Aku tersenyum dan mencoba berkomunikasi dengannya.
Namun dia hanya diam saja. Dua jari tangannya didekatkan ke arah bibirnya. Aku mencoba memahami isyaratnya itu dengan menjulurkan sebungkus rokok kepadanya.
Tangan lelaki tua itu meraih rokok yang kusodorkan, lalu mengambil sebatang. Aku segera menyodorkan mancis yang sudah kuhidupkan ke arah rokok yang terlelip di bibirnya. Lelaki itu lalu menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Bibirnya bergerak-gerak, namun tak ada terdengar suara yang keluar dari sana.
Sebelum berlalu, aku memberikan bungkusan rokok yang kumiliki padanya. Namun dia menolak dan hanya mengambil sebatang saja, setelah itu dia berjalan ke arah rumah tuanya.
Sore harinya, karena penasaran dengan sosok lelaki tua itu, aku mendatangi rumah Pak Umar, kepala dusun. Tujuanku ingin bersilaturahmi sekaligus mengetahui siapa sosok misterius penghuni rumah berhalaman luas, yang di mataku juga terkesan misterius itu.
Saat kuceritakan pada Pak Umar tentang pertemuanku dengan lelaki itu, Pak Umar terkejut dan berkata, "Kenapa, apakah Pak Iwan diganggu oleh Alamsyah?"
"Tidak, Pak, hanya saja ketika saya lewat siang tadi, dia berdiri di pingir halamannya, lalu saya menyodorkan rokok padanya. Namun anehnya, dia hanya mengambil sebatang saja, padahal saya sudah ikhlas bila dia mengambil sebungkus rokok tersebut," ceritaku pada Pak Umar.
Pak Umar menarik nafas berat. "Ya, begitu dia. Alamsyah memang selalu demikian. Dia selalu minta rokok pada setiap orang yang dijumpainya. Tapi bila disodori sebungkus, dia hanya mengambil sebatang saja, setelah itu dia berlalu," jelasnya.
Pak Umar melanjutkan bahwa, dulunya Alamsyah adalah pemuda yang rajin bekerja. Tapi sejak dia dibawa pergi orang Bunian naik pesawat terbang dan menghilang beberapa lama, dia jadi lupa ingatan, lupa pada dirinya sendiri.
"Orang Bunian itu dari suku apa, Pak?" Tanyaku.
"Nak Iwan, orang Bunian itu adalah sebangsa makhluk halus." jelas pak Umar.
Selanjutnya Pak Umar menceritakan tentang laki-laki bernama Alamsyah itu padaku. Inilah ceritanya....
Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1970-an. Pada masa itu, bepergian dengan pesawat merupakan pengalaman istimewa. Hanya para pejabat dan orang kaya sajalah yang dapat melakukan perjalanan udara tersebut.
Kala itu, Alamsyah baru berumur 20 tahun. Sebagai pemuda miskin, Alamsyah ingin merubah nasib keluarganya. Dia sudah bosan tinggal di desanya. Apalagi kehidupan keluarganya yang miskin mengharuskannya bekerja keras sebagai petani penggarap.
Rasanya, Alamsyah sudah membanting tulang seharian, namun hasil yang diperoleh tidaklah memadai, hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Merasakan keadaan hidup yang sedemikian, Alamsyah suka melamun sendirian, terutama bila dia melihat pesawat terbang yang melintas di atas pematang sawahnya. Dia mengkhayal, apakah dirinya dapat menikmati duduk di dalam pesawat itu. Dan impiannya naik pesawat terbang selalu diceritakan pada para tetangganya.
Bagi penduduk desa tempatnya tinggal, jangankan untuk naik pesawat, melihat besarnya pesawat itu dari dekat saja mereka tidak pernah. Sehingga bila Alamsyah menceritakan impiannya, mereka selalu menertawakan dan mengolok-oloknya.
Tapi Alamsyah tidak pantang menyerah. Suatu ketika, ada tetangga dusun sebelah yang akan berangkat haji. Dia pun ikut rombongan mengantar ke kota Medan. Tujuannya hanya ingin ke Bandara Polonia dan melihat dari dekat badan pesawat terbang.
Alangkah kagumnya dia, tatkala melihat ukuran pesawat yang sedemikian besarnya. Apalagi saat pesawat itu mulai lepas landas, tanpa sadar tangan Alamsyah melambai-lambai.
Sepulangnya ke rumah, keinginan Alamsyah untuk naik pesawat terbang semakin menggebu-gebu. Untuk mewujudkan impiannya itu, Alamsyah semakin rajin bekerja. Kadang, seharian dia mencangkul di ladangnya dan baru pulang bila malam menjelang.
Seperti yang terjadi hari itu. Saat matahari sudah condong ke barat, para petani yang bekerja, satu-persatu mulai meninggalkan ladangnya. Namun Alamsyah belum beranjak jua. Tanpa disadarinya, malam sudah menjelang. Dan hanya Alamsyah sendiri yang masih mencangkul di ladangnya.
Saat itulah, entah dari mana asalnya, Alamsyah mendengar suara keramaian. Dia menghentikan pekerjaannya. Tatkala diperhatikan, di sekelilingnya bukan lagi persawahan, namun telah menjelma menjadi sebuah kota yang sangat indah.
Lampu-lampu terang benderang menghiasi setiap sudut kota itu. Alamsyah melihat orang-orang hilir mudik dengan pakaian yang indah. Ada yang berjalan dengan membawa belanjaan, tapi ada juga yang menaiki kuda.
Dalam keheranannya, Alamsyah merasa bahunya ditepuk seseorang. Saat dia melihat ke belakang, kagetlah dia karena yang menepuk bahunya adalah seorang gadis yang sangat cantik. Gadis itu tersenyum padanya.
"Apakah Abang penghuni baru kota ini, karena saya tidak pernah melihat Abang sebelumnya?" Tanya gadis itu.
"Kamu siapa? Dan aneh, saya berada di mana sekarang? Kalau tidak salah tadi saya sedang mencangkul di sawah. Tapi kenapa saat ini saya sudah berada di kota ini?" Alamsyah keheranan.
Gadis itu kembali tersenyum. Dan senyumnya kali ini seakan telah membius kesadaran Alamsyah, sehingga dia mendadak lupa pada keheranannya sendiri.
Namun, gadis itu kemudian berujar dengan suara teramat lembut, "Perkenalkan, saya Laila, salah seorang warga penghuni kota ini, Bang. Benar kata Abang tadi, bila matahari bersinar, tempat ini merupakan persawahan. Tapi bila hari senja, disini adalah tempat tinggal kami. Perkampungan orang Bunian."
Alamsyah melongo. Dia sungguh-sungguh sulit percaya dengan apa yang baru saja dikatakan gadis yang menyebut dirinya sebagai Laila itu.
"Ah, sudahlah, Bang!" Cetus Laila melihat lawan bicaranya yang tampak seperti orang linglung. Dia lalu melanjutkan, "Saya lihat Abang lelah dan belum makan. Sebaiknya Abang istirahat di rumah saya."
Laila, gadis Bunian itu kemudian membimbing Alamsyah berjalan. Bagai orang dihipnotis, Alamsyah menuruti saja langkah Laila. Dengan bingung Alamsyah melihat di sisi kanan kiri jalan bangunan-bangunan kuno tertata apik dan rapi. Sesekali juga mereka berpapasan dengan penduduk kota tersebut, dan terlihat memperhatikan kehadiran Alamsyah.
Mereka akhirnya sampai di depan sebuah pintu gerbang rumah yang dijaga oleh pengawal. Dengan isyarat tangan Laila, Alamsyah dan gadis itu masuk ke dalam ruangan yang ternyata merupakan sebuah istana.
Alamsyah kagum melihat perabotan rumah yang begitu indah. Meja dan kursi serta hiasan dindingnya berukiran indah. Sementara itu perabotan makannya terbuat dari perak.
Puas mengagumi keindahan istana itu, Laila membawa Alamsyah ke sebuah kamar dan menyodorkan pakaian padanya.
"Abang mandilah dahulu dan berganti pakaian yang ada di lemari ini. Usai itu, kita makan dan jalan-jalan berkeliling kota menikmati malam. Karena saat ini keramaian dan pertunjukan pasar malam," kata Laila.
Pemuda itu menuruti perkataan Laila. Dia mandi dan berganti pakaian. Setelah itu mereka menuju ruang makan. Alamsyah dipersilahkan tuan rumah untuk mencicipi hidangan yang tersedia di atas meja. Karena seharian mencangkul di sawahnya, Alamsyah sangat lapar, dan dia menikmati makanan dengan lahap.
Setelah makan, mereka berkeliling kota dengan menaiki kuda. Sepanjang perjalanan Alamsyah tak henti-hentinya mengagumi keindahan kota tersebut.
Ketika istirahat di sebuah bangku taman, Laila bertanya pada Alamsyah. "Kalau saya perhatikan, Abang sangat gembira. Sepertinya Abang belum pernah menikmati kegembiraan seperti ini?" Tanyanya.
"Ya, baru inilah saya menikmati perjalanan yang menyenangkan. Sehari-hari saya hanya bekerja membanting tulang di ladang. Semua itu Abang lakukan untuk menghidupi keluarga dan demi mewujudkan impian Abang," jelas Alamsyah.
"Memangnya apa impian Abang itu? Ya, siapa tahu Laila bisa membantu," Laila menatap lelaki di depannya.
"Abang pernah bermimpi memiliki rumah yang bagus dengan isteri cantik. Tapi mimpi Abang yang paling menganggu adalah ingin menikmati perjalanan dengan pesawat terbang. Abang ingin merasakan terbang di antara awan dan melihat keindahan kota Jakarta," jelas Alamsyah panjang lebar.
"Di alam orang Bunian, impian Abang bisa aku wujudkan. Sekarang pegang tanganku dan pejamkan mata Abang, dan jangan buka sebelum aku perintahkan!" Kata Laila sambil merapatkan lima jarinya ke jari Alamsyah.
Bagai dihipnotis, Alamsyah menuruti permintaan Laila. Perlahan, dia memejamkan matanya. Agak lama berlalu, kemudian terdengar suara lembut Laila, "Bukalah matamu, Bang, dan perhatikan di sekeliling kita!"
Saat membuka matanya, Alamsyah terkejut, karena dia sudah berada di Bandara Polonia, dan sedang berjalan dengan Laila menuju ke sebuah pesawat. Perlahan tapi pasti, Laila membimbing langkah Alamsyah menaiki satu-persatu anak tangga pesawat.
Alamsyah tidak mengerti bagaimana dia dan Laila bisa sampai di sana? Padahal jarak dari kampungnya ke Bandara yang ada di kota Medan itu bisa memakan waktu satu hari perjalanan.
Alamsyah juga heran, sepertinya tidak ada orang yang peduli dan memperhatikan kehadiran mereka di sana. Setiap orang masing-masing sibuk dengan urusan dan bawaannya sendiri, saat akan menaiki badan pesawat.
Sampai di dalam pesawat, Laila membawa Alamsyah ke ruangan pilot. Dari sana mereka melihat bagaimana pesawat itu mulai melakukan penerbangan. Saat itu perasaan Alamsyah sangat senang, karena dia dapat merasakan berada di dalam pesawat terbang.
Dari atas pesawat, Alamsyah memperhatikan rumah-rumah di bawah yang sudah tampak setitik, dan selanjutnya hilang di balik awan. Dan pemandangan hanya seputih awan saja. Dari pengeras suara, Alamsyah mendengar pengumuman bahwa sesaat lagi pesawat akan mendarat di Ibukota Negara Jakarta, tepatnya di banda Halim Perdanakusumah, ketika itu. Alamsyah pun bersiap-siap hendak turun.
Tapi dia juga heran, sebab Laila yang membawanya naik pesawat tidak berada di sisinya lagi. Alamsyah berjalan mencari-cari di dalam pesawat tersebut. Hingga, akhirnya pesawat mendarat, dan satu persatu penumpang turun, Alamsyah tak menemukan Laila.
Dalam kegalauannya mencari Laila, Alamsyah melangkahkan kakinya menuruni anak tangga pesawat. Saat kakinya menjejak di tanah, cahaya matahari menyengat kulit tubuhnya, dan menyilaukan matanya. Nah, ketika itulah keanehan terjadi.
Alamsyah yang sebelumnya berpakaian bagus, ketika itu berubah berpakaian lusuh, seperti akan ke sawah. Dua orang petugas Banda yang melihat penampilannya tersebut heran pada kehadiran Alamsyah di bandara, sebab dengan pakaian seperti orang yang akan berangkat ke sawah; celana komprang, baju lusuh, dan topi caping bertengger di kepalanya, Namun, orang berpenampilan lusuh itu baru saja turun dari pesawat. Padahal di zaman itu, orang yang bepergian dengan pesawat, hanyalah para pejabat ataupun orang kaya saja. Mereka sudah tentu berpakaian bagus.
Ketika petugas menanyakan tiketnya, Alamsyah tidak tahu, karena menurut pengakuannya dia menaiki pesawat dengan sebab diajak seorang gadis cantik bernama Laila.
Petugas yang memeriksa Alamsyah semakin kebingungan, bahkan kemudian menganggap Alamsyah orang gila. Bayangkan saja, setiap kali ditanya petugas, Alamsyah hanya bisa menyebut-nyebut nama Laila yang telah membawanya. Ketika ditanyai nama, alamat dan darimana sia berasal, Alamsyah sudah tidak tahu lagi, yang keluar dari bibirnya hanya nama Laila saja.
Setelah ditahan selama satu minggu oleh petugas, dan terbukti tak membawa benda-benda berbahaya, saat pesawat akan berangkat ke Medan, Alamsyah dititipkan untuk diperiksa di Medan, karena menurut dugaan petugas dia berasal dari sana.
"Namun, Tuhan berkehendak lain, sejak itu Alamsyah menjadi bisu dan tidak tahu siapa dirinya lagi. Hingga aparat keamanan melepaskannya. Beberapa orang warga desa ini menemukan Alamsyah di jalanan setelah enam bulan dia menghilang, dan dalam kondisi seperti yang Nak Iwan lihat tadi, dia bisu dan kurang ingatan," jelas Pak Umar di akhir ceritanya.
Aku pun terdiam. Ah, betapa sulit diterima akal sehat kisah mistis yang dialami oleh Alamsyah ini. Wallahu'alam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar