Memuat...
Penulis : TRIA B. SANTOSO
Kisah mistis ini merupakan kisah nyata yang terjadi beberapa puluh tahun silam di sebuah desa pinggiran di wilayah Pantai Utara Banten. Untuk menghormati para pelaku peristiwa, kami sengaja telah menyamarkan mereka....
Hampir setahun ini Yudhis, sahabatku hanya mampu berbaring menyedihkan di tempat tidur. Sisa hidupnya sepertinya hanya akan dia habiskan dengan erangan kesakitan yang keluar dari mulutnya yang pencong, dan penuh luka menjijikan. Bahkan luka iyu juga menjalar di sekujur tubuhnya.
Bau anyir sangat menjijikkan menebar ke seluruh ruangan kamar tidur Yudhis. Dia hanya berteman kepedihan serta penderitaan yang seperti tak berujung.
Nyaris tak ada yang sudi mendekati Yudhis, kecuali hanya aku yang sesekali datang membawakan makanan dan minuman untuknya. Selebihnya, aku sendiri sangat jijik mendekatinya.
"Kau taruh saja makanan itu di depan pintu kamarku, Ilham! Biar nanti aku sendiri yang mengambilnya," kata Yudhis suatu ketika. Sepertinya dia pun sadar bahwa aku hanya berpura-pura tidak jijik melihat keadaannya.
Hidup sendiri penuh siksaan lahir bathin membuat Yudhis hanya bisa meratap dan menyesali nasibnya. Mungkin dia sadar penyebab semua ini, tapi mungkin juga tidak.
Aneh, kian hari tubuhnya dipenuhi koreng bernanah yang tak henti-hentinya merembeskan darah seperti keringat. Tentu saja sakit dan amat perih tiada terkira.
Isteri yang dia harapkan akan mampu mengurus penderitaannya telah berpulang mendahuluinya. Begitu juga anak. Dari ketiga kelahiran bayinya, tak seorangpun diberi umur panjang lebih dari setahun. Mungkin ini hukum karma. Hanya para tetangga yang iba saja yang selama ini membantunya. Itupun kalau dia sudah berteriak-teriak meminta tolong baru ada yang menyambanginya.
"Aku ingin mati, Ilham! Tapi mengapa Tuha tak juga mencabut nyawaku?" sesal Yudhis dengan tubuh gemetar menahan sakit yang terus menurus.
"Sabarlah, Yud! Tuhan tidak akan memberikan cobaan melibihi kekuatan yang kita miliki," hiburku.
Dengan sengit dia membalasnya, "Sudah ribuan kali aku mendengar kata-kata itu. Tapi coba kau lihat sendiri bagaimana keadaanku? Penyakit keparat ini tak pernah berhenti menyiksaku."
Aku hanya terdiam, merasakan betapa hancurnya perasaan sahabat yang kukenal beberapa puluh tahun silam itu.
Memang, sudah tak terhitung uang yang Yudhis keluarkan untuk mengobati sakitnya. Dia telah berobat mulai dari dokter sampai orang pintar, yang tak terhitung jumlahnya, hingga meludeskan semua harta bendanya. Menurut analis medis, Yudhistira menderita sakit gula yang sudah sangat parah hingga dokterpun angkat tangan. Paranormalpun geleng-geleng kepala, tak sanggup mengobatinya.
Tidak sampai disitu saja penderitaannya. Lewat teriakan keras, mulutnya menganga lebar dan mata melotot seolah ingin loncat dari kelopaknya. Seketika itu nyawa Yudhistira lepas seperti menahan sakit yang amat sangat. Aku tak kuasa menahan tangis melihat proses kematiannya yang sangat tragis itu. Tapi, itulah pilihan yang diinginkan oleh Yudhis. Dia telah pasrah melawan sakitnya, dan dia ingin segera mati.
Tapi, penderitaan Yudhis rupanya belum lagi sirna. Saat jenazahnya akan dimakamkan terjadi peristiwa yang sangat heboh. Hari itu, ketika jasad Yudhistira yang amis terbungkus kain kafan akan diturunkan ke liang lahat, entah kenapa tiba-tiba tubuh kaku itu seperti sangat berat ratusan kilo, sehingga menimpa dua orang di bawahnya. Begitu pula yang di atas ikut terjerembab ke lubang kubur yang sempit. Oleh karena itu akhirnya jasad Yudhis terinjak-injak oleh para penguburnya sendiri.
Aneh, padahal tubuh Yudhis kurus kering tinggal kulit pembalut tulang. Tak satupun para pengubur dan pelayat mengetahui penyebab apa yang terjadi dengan jasad itu. Setahu mereka, semasa hidup dan sebelum penyakit terkutuk itu menyiksanya Yudhistira adalah orang yang baik dan pemurah.
Tujuh hari setelah kematian Yudhistira yang menyedihkan itu, secara tak sengaja Ibu Hanna, tetanggaku melihat keanehan di sekitar makam Yudhistira yang kebetulan terletak di pinggir areal makam dekat jalan umum yang banyak di lalaui orang. Sebagai penjual kue basah, Ibu Hanna setiap hari memang melewati jalan itu. Berangkat subuh pulang siang dari pasar di kota Kecamatan. Ini dia lakukan demi membantu ekonomi keluarga karena sang suami hanya sebagai buruh tani yang tak tentu penghasilannya.
Pagi menjelang siang itu Ibu Hanna pulang sendiri dari pasar karena dagangannya paling duluan habis terjual dibanding sesama penjual lainnya. Namun, ketika sampai di sebarang TPU, Ibu Hanna berhenti sejenak mengamati sekitar makam Yudhistira yang nampak aneh.
Entah mengapa, pohon-pohon di sekitar makam itu nampak layu dan mati. Bahkan dua pohon Kamboja cukup besar di samping makam seperti layu dan sebagian daunnya jatuh berguguran, kering.
"Aneh, kenapa pohon-pohon di sekitar makam itu mati kering?" batin Ibu Hanna. Dia menjadi takut dan segera berlalu pulang. Sesampai di rumah Ibu Hanna mengadukan hal ini kepada suaminya, Pak Darto.
"Pak, aku heran kenapa pohon-pohon di dekat makan Pak Yudhis itu pada mati. Sekarang kan musin hujan, di tempat lain tak apa-apa," kata Ibu Hanna.
"Itukan wajar saja, tak perlu dipikirkan. Ya, mungkin maunya pohon itu mati, seperti juga si Yudhistira itu. Semua yang ada di dunia ini kan pasti mati, Bu!" jawab Pak darto, sekenanya.
***
Setelah melihat keganjilan itu, Ibu Hanna kerap kali mengalami mimpi yang sangat aneh. Beginilah cerita dalam mimpi yang berkali-kali hadir dalam tidurnya itu....
Pagi buta itu dia baru saja pulang dari pasar. Ketika lewat di dekat pemakanan, wanita yang agak tambun ini berlari sekuat tenaga di tengah hujan badai dan guntur menakutkan. Beberapa kali dia terjatuh. Dia juga menjerit-jerit meminta tolong karena dikejar mahluk-mahluk kecil seperti bocah dengan tampang beringas dan membawa cambuk yang terbuat dari api yang membara. Mahluk-mahluk kecil berjumlah belasan itu seolah menjadikan Ibu Hanna sebagai buruannya.
Aneh, ketika berlari tiba-tiba Ibu Hanna melihat sebuah pohon aneh yang akarnya berada di atas, sedang daunya di bawah. Setengah putus asa Bu Hanna berlindung di balik tembok pagar pemakaman itu. Aneh, dia melihat makhluk-makhluk kecil itu beramai-ramai menyerang pohon terbalik dengan cemetinya. Api dari cemeti-cemeti itu membakar hingga daun-daun pohon terbalik itu hancur menjadi api.
Bu Hanna tak menghiraukan keadaan dirinya. Namun yang membuatnya ngeri yaitu ternyata bocah-bocah aneh itu tak mengeroyok dirinya, melainkan pohon terbalik itu.
Anehnya laig, ternyata pohon itu menjerit-jerit menahan sakit dan memohon ampun seolah hidup seperti manusia. Sebagian daun itu mulai hancur menjadi api. Sedangkan batangnya berlumuran darah. Yang lebih mengejutkan lagi, suara jeritan itu seperti sudah dikenal Ibu Hanna. Ya, itu suara erangan tetangganya, Yudhistira.
Menyadari hal itu, Ibu Hanna ikut menjerit-jerit. Dia baru sadar ketika sebuah tepukan di pipinya mendarat yang tak lain tamparan suaminya. Ibu Hanna terbangun dengan nafas terengah-engah dan peluh membasahi badannya....
Begitulah mimipi aneh yang dialami oleh Bu Hanna selama beberapa malam. Dia menceritakan semua keanehan yang dialaminya itu padaku. Untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, aku mengajak Ibu Hanna ke rumah Kyai Kodir, tokoh tertua di desaku sekaligus ulama yang tempo hari memimpin penguburan Yudhistira.
"Saya cuma mau tanya, sebenarnya ada apa dengan makam Yudhistira, juga mimpi saya itu, Pak Kyai?" kata Ibu Hanna setelah menceritakan semua yang dialaminya itu.
"Dosa apa sebenarnya yang ditanggung Yudhistra hingga keadaannya seperti itu, Pak Kyai?" imbuhku.
Kyai Kodir hanya tersenyum kecil. Namun wajahnya menampakkan kegelisahan.
"Soal dosa, itu urusan Allah dan umatnya itu sendiri. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan Yudhistira. Soal pohon-pohon yang mati itu...aku juga sudah dengar. Ya sudah, kau pulang saja dulu. Jangan dipikirkan. Yang penting, rajin sholat dan bacalah wiridan yang aku berikan padamu!" jawab Kyai Kodir, bijak.
Ibu Hanna pulang lebih dulu, sedang aku tetap bertahan di rumah Kyai Kodir. Sepulang Ibu Hanna, Kyai Kodir tak urung gelisah juga. Rupanya, tanpa sepengetahuan siapapun dia sendiri tiga malam berturut-turut didatangi arwah Yudhistira yang nampak tersiksa minta agar kematiannya disempurnakan. Anehnya lagi dalam pertemuan di alam maya itu Kyai Kodir juga melihat wajah seorang perempuan yang tak dikenalnya. Maka diam-diam pula dia mulai menyelidiki dan berdzikir memohon petunjukNya. Dia ingin mengetahui ada apa dengan mendiang Yudhistira.
Seminggu berlalu, ternyata petunjuk Allah itupun datang. Tanpa disangka rumah Kyai Kodir kedatangan tiga orang tamu yaitu Pak Barnas, Ketua RW di kampungku, dan seorang perempuan setengah baya berdandan agak menor ditemani seorang anak berusia sembilan tahunan. Yang membuat Kyai Kodir sekaligus aku yang juga hadir di sana terkejut, perempuan menor itu menurut pengakuan Kyai Kodir ternyata raut wajahnya sama dengan yang hadir dalam mimpi yang dialami sang Kyai selama beberapa malam.
Ya, perempuan itu mengaku sebagai isteri muda Yudhistira. Dia menyebut namanya Lisa. Sebelumnya, Lisa datang ke rumah Pak Barnas selaku RW dengan tujuan ingin memastikan berita kematian Yudhistira, sekaligus mengurus prihal hak waris atas tanah mendiang Yudhistira. Menurt Lisa, anak kecil yang bersamanya itu adalah anak almarhum.
"Lalu...kenapa Pak Barnas datang ke tempatku. Apa yang bisa saya bantu?" tanya Kyai Kodir.
"Maaf, Pak Kyai. Kedatangan saya ini sebenarnya hanya ingin tahu silsilah Yudhistira, mengingat Pak Kyai adalah orang tertua di desa ini. Barangkali Pak Kyai mengetahui siapa sebenarnya pemilik warisan yang sah atas rumah dan tanah mendiang itu," ujar Pak Barnas. Sebidang tanah seluas sekitar 300 meter persegi yang di atasnya berdiri sebuah rumah kecil permanen memang satu-satunya harta peninggalan Yudhistira.
Kyai Kodir geleng-geleng kepala. "Akupun tak tahu keluarga Yudhistira sebenarnya. Yang saya tahu dia menetap di desa ini sudah puluhan tahun dan memiliki isteri tanpa anak. Itu saja keluarganya, dan sekarang aku tak tahu lagi keluarganya yang lain."
"Barang kali Mbak Lisa ini mengetahuinya?" tanyaku, coba menjernihkan suasana.
Yang ditanya justru menangis pilu, hingga membingungkan kami semua. Lalu dengan sesenggukan Lisa bercerita panjang lebar mengenai Yudhistira.
"Alarhum sesungguhnya punya dua isteri sah. Yang satu tinggal di desa ini dan yang satu adalah di Lampung. Yang di Lampung itu adalah saya sendiri. Saya awal mulanya hanyalah seorang pelacur langganan Mas Yudhis. Ketika saya diajak hidup serumah saya menurut dengan harapan dia mau mengawini saya. Dan ternyata dia menyanggupinya, bahkan berjanji akan menceraikan isterinya dan memberikan harta warisan kepada saya. Sebab saat itu saya sudah mengandung anak ini."
Lisa mengelus-elus kepala bocah di sampingnya. Lalu ia kembali melanjutkan ceritanya, "Setelah kandungan saya berumur lima bulan, saya baru tahu pekerjaan Mas Yudhis yang sebenarnya, hingga membuat saya diam-diam justru menjauhinya karena takut kualat. Ternyata almarhum itu bisa hidup enak dari....dari...membunuh banyak orang. Ya, dia adalah seorang pembunuh bayaran."
Cerita Lisa benar-benar menyentakkan kami. Sungguh sulit bagi kami untuk mrempercayainya.
Ketika kami berada dalam kebingungan, perempuan itu kembali melanjutkan kisahnya....
"Mas Yudhis itu sering menerima pesanan membunuh orang. Biasanya itu pesanan cukong-cukong kaya dari kota yang kebetulan mempunyai musuh. Menurut pengakuan almarhum, dia sudah dua belas kali membunuh, bahkan ada yang dipenggal dan diambil kepalanya. Begitu saya tahu siapa sebenarnya Almarhum, saya berusaha menghindar dan bersembunyi. Sejak itu, saya tak tahu lagi kabar Mas Yudhis hingga lahir anak saya ini. Begitu saya dengar dia sudah meninggal, saya baru berani kelaur dan bermaksud menagih ucapannya dulu. Tapi...tapi saya tak tahu siapa kini yang harus saya tagih. Saya sudah berhenti jadi pelacur dan ingin hidup layak dengan anak saya yang juga anak Mas Yudhis ini. Sebab kami sudah tak punya apa-apa lagi."
Aku, Kyai Kodir dan Pak Barnas kembali tercengang mendengar cerita perempuan bernama Lisa itu. Kami seolah tak percaya akan ucapannya. Kami juga hampir tak percaya dengan kebejatan mendiang Yudhistira. Namun aku sadar kalau selama ini mendiang memang penuh rahasia. Misalkan saja dia sering pergi meninggalkan rumah untuk waktu yang lama, lalu ketika datang selalu membawa penghasilan dalam jumlah besar.
"Setahu saya almarhum juga memiliki jimat yang tak mempan dibacok atau ditembak. Jimat itu katanya sudah dipendam di dalam rumahnya saat dia sakit parah," cetusku.
Kini terbukalah misteri Yudhistra. Dia ternyata menyimpan riwayat kelam yang hanya pantas dilakukan oleh Iblis. Dan kini terkuaklah apa yang sedang dijalani Yudhistira di alam kuburnya. Mungkin di sana dia sedang meraung-raung menerima siksa kubur yang amat pedih hingga keadaan sekitar makamnya pun nampak seperti terbakar oleh bias panasnya api alam kubur....belum lagi pertanggungjawabannya di hari kiamat kelak.
Kisah mistis ini merupakan kisah nyata yang terjadi beberapa puluh tahun silam di sebuah desa pinggiran di wilayah Pantai Utara Banten. Untuk menghormati para pelaku peristiwa, kami sengaja telah menyamarkan mereka....
Hampir setahun ini Yudhis, sahabatku hanya mampu berbaring menyedihkan di tempat tidur. Sisa hidupnya sepertinya hanya akan dia habiskan dengan erangan kesakitan yang keluar dari mulutnya yang pencong, dan penuh luka menjijikan. Bahkan luka iyu juga menjalar di sekujur tubuhnya.
Bau anyir sangat menjijikkan menebar ke seluruh ruangan kamar tidur Yudhis. Dia hanya berteman kepedihan serta penderitaan yang seperti tak berujung.
Nyaris tak ada yang sudi mendekati Yudhis, kecuali hanya aku yang sesekali datang membawakan makanan dan minuman untuknya. Selebihnya, aku sendiri sangat jijik mendekatinya.
"Kau taruh saja makanan itu di depan pintu kamarku, Ilham! Biar nanti aku sendiri yang mengambilnya," kata Yudhis suatu ketika. Sepertinya dia pun sadar bahwa aku hanya berpura-pura tidak jijik melihat keadaannya.
Hidup sendiri penuh siksaan lahir bathin membuat Yudhis hanya bisa meratap dan menyesali nasibnya. Mungkin dia sadar penyebab semua ini, tapi mungkin juga tidak.
Aneh, kian hari tubuhnya dipenuhi koreng bernanah yang tak henti-hentinya merembeskan darah seperti keringat. Tentu saja sakit dan amat perih tiada terkira.
Isteri yang dia harapkan akan mampu mengurus penderitaannya telah berpulang mendahuluinya. Begitu juga anak. Dari ketiga kelahiran bayinya, tak seorangpun diberi umur panjang lebih dari setahun. Mungkin ini hukum karma. Hanya para tetangga yang iba saja yang selama ini membantunya. Itupun kalau dia sudah berteriak-teriak meminta tolong baru ada yang menyambanginya.
"Aku ingin mati, Ilham! Tapi mengapa Tuha tak juga mencabut nyawaku?" sesal Yudhis dengan tubuh gemetar menahan sakit yang terus menurus.
"Sabarlah, Yud! Tuhan tidak akan memberikan cobaan melibihi kekuatan yang kita miliki," hiburku.
Dengan sengit dia membalasnya, "Sudah ribuan kali aku mendengar kata-kata itu. Tapi coba kau lihat sendiri bagaimana keadaanku? Penyakit keparat ini tak pernah berhenti menyiksaku."
Aku hanya terdiam, merasakan betapa hancurnya perasaan sahabat yang kukenal beberapa puluh tahun silam itu.
Memang, sudah tak terhitung uang yang Yudhis keluarkan untuk mengobati sakitnya. Dia telah berobat mulai dari dokter sampai orang pintar, yang tak terhitung jumlahnya, hingga meludeskan semua harta bendanya. Menurut analis medis, Yudhistira menderita sakit gula yang sudah sangat parah hingga dokterpun angkat tangan. Paranormalpun geleng-geleng kepala, tak sanggup mengobatinya.
Tidak sampai disitu saja penderitaannya. Lewat teriakan keras, mulutnya menganga lebar dan mata melotot seolah ingin loncat dari kelopaknya. Seketika itu nyawa Yudhistira lepas seperti menahan sakit yang amat sangat. Aku tak kuasa menahan tangis melihat proses kematiannya yang sangat tragis itu. Tapi, itulah pilihan yang diinginkan oleh Yudhis. Dia telah pasrah melawan sakitnya, dan dia ingin segera mati.
Tapi, penderitaan Yudhis rupanya belum lagi sirna. Saat jenazahnya akan dimakamkan terjadi peristiwa yang sangat heboh. Hari itu, ketika jasad Yudhistira yang amis terbungkus kain kafan akan diturunkan ke liang lahat, entah kenapa tiba-tiba tubuh kaku itu seperti sangat berat ratusan kilo, sehingga menimpa dua orang di bawahnya. Begitu pula yang di atas ikut terjerembab ke lubang kubur yang sempit. Oleh karena itu akhirnya jasad Yudhis terinjak-injak oleh para penguburnya sendiri.
Aneh, padahal tubuh Yudhis kurus kering tinggal kulit pembalut tulang. Tak satupun para pengubur dan pelayat mengetahui penyebab apa yang terjadi dengan jasad itu. Setahu mereka, semasa hidup dan sebelum penyakit terkutuk itu menyiksanya Yudhistira adalah orang yang baik dan pemurah.
Tujuh hari setelah kematian Yudhistira yang menyedihkan itu, secara tak sengaja Ibu Hanna, tetanggaku melihat keanehan di sekitar makam Yudhistira yang kebetulan terletak di pinggir areal makam dekat jalan umum yang banyak di lalaui orang. Sebagai penjual kue basah, Ibu Hanna setiap hari memang melewati jalan itu. Berangkat subuh pulang siang dari pasar di kota Kecamatan. Ini dia lakukan demi membantu ekonomi keluarga karena sang suami hanya sebagai buruh tani yang tak tentu penghasilannya.
Pagi menjelang siang itu Ibu Hanna pulang sendiri dari pasar karena dagangannya paling duluan habis terjual dibanding sesama penjual lainnya. Namun, ketika sampai di sebarang TPU, Ibu Hanna berhenti sejenak mengamati sekitar makam Yudhistira yang nampak aneh.
Entah mengapa, pohon-pohon di sekitar makam itu nampak layu dan mati. Bahkan dua pohon Kamboja cukup besar di samping makam seperti layu dan sebagian daunnya jatuh berguguran, kering.
"Aneh, kenapa pohon-pohon di sekitar makam itu mati kering?" batin Ibu Hanna. Dia menjadi takut dan segera berlalu pulang. Sesampai di rumah Ibu Hanna mengadukan hal ini kepada suaminya, Pak Darto.
"Pak, aku heran kenapa pohon-pohon di dekat makan Pak Yudhis itu pada mati. Sekarang kan musin hujan, di tempat lain tak apa-apa," kata Ibu Hanna.
"Itukan wajar saja, tak perlu dipikirkan. Ya, mungkin maunya pohon itu mati, seperti juga si Yudhistira itu. Semua yang ada di dunia ini kan pasti mati, Bu!" jawab Pak darto, sekenanya.
***
Setelah melihat keganjilan itu, Ibu Hanna kerap kali mengalami mimpi yang sangat aneh. Beginilah cerita dalam mimpi yang berkali-kali hadir dalam tidurnya itu....
Pagi buta itu dia baru saja pulang dari pasar. Ketika lewat di dekat pemakanan, wanita yang agak tambun ini berlari sekuat tenaga di tengah hujan badai dan guntur menakutkan. Beberapa kali dia terjatuh. Dia juga menjerit-jerit meminta tolong karena dikejar mahluk-mahluk kecil seperti bocah dengan tampang beringas dan membawa cambuk yang terbuat dari api yang membara. Mahluk-mahluk kecil berjumlah belasan itu seolah menjadikan Ibu Hanna sebagai buruannya.
Aneh, ketika berlari tiba-tiba Ibu Hanna melihat sebuah pohon aneh yang akarnya berada di atas, sedang daunya di bawah. Setengah putus asa Bu Hanna berlindung di balik tembok pagar pemakaman itu. Aneh, dia melihat makhluk-makhluk kecil itu beramai-ramai menyerang pohon terbalik dengan cemetinya. Api dari cemeti-cemeti itu membakar hingga daun-daun pohon terbalik itu hancur menjadi api.
Bu Hanna tak menghiraukan keadaan dirinya. Namun yang membuatnya ngeri yaitu ternyata bocah-bocah aneh itu tak mengeroyok dirinya, melainkan pohon terbalik itu.
Anehnya laig, ternyata pohon itu menjerit-jerit menahan sakit dan memohon ampun seolah hidup seperti manusia. Sebagian daun itu mulai hancur menjadi api. Sedangkan batangnya berlumuran darah. Yang lebih mengejutkan lagi, suara jeritan itu seperti sudah dikenal Ibu Hanna. Ya, itu suara erangan tetangganya, Yudhistira.
Menyadari hal itu, Ibu Hanna ikut menjerit-jerit. Dia baru sadar ketika sebuah tepukan di pipinya mendarat yang tak lain tamparan suaminya. Ibu Hanna terbangun dengan nafas terengah-engah dan peluh membasahi badannya....
Begitulah mimipi aneh yang dialami oleh Bu Hanna selama beberapa malam. Dia menceritakan semua keanehan yang dialaminya itu padaku. Untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, aku mengajak Ibu Hanna ke rumah Kyai Kodir, tokoh tertua di desaku sekaligus ulama yang tempo hari memimpin penguburan Yudhistira.
"Saya cuma mau tanya, sebenarnya ada apa dengan makam Yudhistira, juga mimpi saya itu, Pak Kyai?" kata Ibu Hanna setelah menceritakan semua yang dialaminya itu.
"Dosa apa sebenarnya yang ditanggung Yudhistra hingga keadaannya seperti itu, Pak Kyai?" imbuhku.
Kyai Kodir hanya tersenyum kecil. Namun wajahnya menampakkan kegelisahan.
"Soal dosa, itu urusan Allah dan umatnya itu sendiri. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan Yudhistira. Soal pohon-pohon yang mati itu...aku juga sudah dengar. Ya sudah, kau pulang saja dulu. Jangan dipikirkan. Yang penting, rajin sholat dan bacalah wiridan yang aku berikan padamu!" jawab Kyai Kodir, bijak.
Ibu Hanna pulang lebih dulu, sedang aku tetap bertahan di rumah Kyai Kodir. Sepulang Ibu Hanna, Kyai Kodir tak urung gelisah juga. Rupanya, tanpa sepengetahuan siapapun dia sendiri tiga malam berturut-turut didatangi arwah Yudhistira yang nampak tersiksa minta agar kematiannya disempurnakan. Anehnya lagi dalam pertemuan di alam maya itu Kyai Kodir juga melihat wajah seorang perempuan yang tak dikenalnya. Maka diam-diam pula dia mulai menyelidiki dan berdzikir memohon petunjukNya. Dia ingin mengetahui ada apa dengan mendiang Yudhistira.
Seminggu berlalu, ternyata petunjuk Allah itupun datang. Tanpa disangka rumah Kyai Kodir kedatangan tiga orang tamu yaitu Pak Barnas, Ketua RW di kampungku, dan seorang perempuan setengah baya berdandan agak menor ditemani seorang anak berusia sembilan tahunan. Yang membuat Kyai Kodir sekaligus aku yang juga hadir di sana terkejut, perempuan menor itu menurut pengakuan Kyai Kodir ternyata raut wajahnya sama dengan yang hadir dalam mimpi yang dialami sang Kyai selama beberapa malam.
Ya, perempuan itu mengaku sebagai isteri muda Yudhistira. Dia menyebut namanya Lisa. Sebelumnya, Lisa datang ke rumah Pak Barnas selaku RW dengan tujuan ingin memastikan berita kematian Yudhistira, sekaligus mengurus prihal hak waris atas tanah mendiang Yudhistira. Menurt Lisa, anak kecil yang bersamanya itu adalah anak almarhum.
"Lalu...kenapa Pak Barnas datang ke tempatku. Apa yang bisa saya bantu?" tanya Kyai Kodir.
"Maaf, Pak Kyai. Kedatangan saya ini sebenarnya hanya ingin tahu silsilah Yudhistira, mengingat Pak Kyai adalah orang tertua di desa ini. Barangkali Pak Kyai mengetahui siapa sebenarnya pemilik warisan yang sah atas rumah dan tanah mendiang itu," ujar Pak Barnas. Sebidang tanah seluas sekitar 300 meter persegi yang di atasnya berdiri sebuah rumah kecil permanen memang satu-satunya harta peninggalan Yudhistira.
Kyai Kodir geleng-geleng kepala. "Akupun tak tahu keluarga Yudhistira sebenarnya. Yang saya tahu dia menetap di desa ini sudah puluhan tahun dan memiliki isteri tanpa anak. Itu saja keluarganya, dan sekarang aku tak tahu lagi keluarganya yang lain."
"Barang kali Mbak Lisa ini mengetahuinya?" tanyaku, coba menjernihkan suasana.
Yang ditanya justru menangis pilu, hingga membingungkan kami semua. Lalu dengan sesenggukan Lisa bercerita panjang lebar mengenai Yudhistira.
"Alarhum sesungguhnya punya dua isteri sah. Yang satu tinggal di desa ini dan yang satu adalah di Lampung. Yang di Lampung itu adalah saya sendiri. Saya awal mulanya hanyalah seorang pelacur langganan Mas Yudhis. Ketika saya diajak hidup serumah saya menurut dengan harapan dia mau mengawini saya. Dan ternyata dia menyanggupinya, bahkan berjanji akan menceraikan isterinya dan memberikan harta warisan kepada saya. Sebab saat itu saya sudah mengandung anak ini."
Lisa mengelus-elus kepala bocah di sampingnya. Lalu ia kembali melanjutkan ceritanya, "Setelah kandungan saya berumur lima bulan, saya baru tahu pekerjaan Mas Yudhis yang sebenarnya, hingga membuat saya diam-diam justru menjauhinya karena takut kualat. Ternyata almarhum itu bisa hidup enak dari....dari...membunuh banyak orang. Ya, dia adalah seorang pembunuh bayaran."
Cerita Lisa benar-benar menyentakkan kami. Sungguh sulit bagi kami untuk mrempercayainya.
Ketika kami berada dalam kebingungan, perempuan itu kembali melanjutkan kisahnya....
"Mas Yudhis itu sering menerima pesanan membunuh orang. Biasanya itu pesanan cukong-cukong kaya dari kota yang kebetulan mempunyai musuh. Menurut pengakuan almarhum, dia sudah dua belas kali membunuh, bahkan ada yang dipenggal dan diambil kepalanya. Begitu saya tahu siapa sebenarnya Almarhum, saya berusaha menghindar dan bersembunyi. Sejak itu, saya tak tahu lagi kabar Mas Yudhis hingga lahir anak saya ini. Begitu saya dengar dia sudah meninggal, saya baru berani kelaur dan bermaksud menagih ucapannya dulu. Tapi...tapi saya tak tahu siapa kini yang harus saya tagih. Saya sudah berhenti jadi pelacur dan ingin hidup layak dengan anak saya yang juga anak Mas Yudhis ini. Sebab kami sudah tak punya apa-apa lagi."
Aku, Kyai Kodir dan Pak Barnas kembali tercengang mendengar cerita perempuan bernama Lisa itu. Kami seolah tak percaya akan ucapannya. Kami juga hampir tak percaya dengan kebejatan mendiang Yudhistira. Namun aku sadar kalau selama ini mendiang memang penuh rahasia. Misalkan saja dia sering pergi meninggalkan rumah untuk waktu yang lama, lalu ketika datang selalu membawa penghasilan dalam jumlah besar.
"Setahu saya almarhum juga memiliki jimat yang tak mempan dibacok atau ditembak. Jimat itu katanya sudah dipendam di dalam rumahnya saat dia sakit parah," cetusku.
Kini terbukalah misteri Yudhistra. Dia ternyata menyimpan riwayat kelam yang hanya pantas dilakukan oleh Iblis. Dan kini terkuaklah apa yang sedang dijalani Yudhistira di alam kuburnya. Mungkin di sana dia sedang meraung-raung menerima siksa kubur yang amat pedih hingga keadaan sekitar makamnya pun nampak seperti terbakar oleh bias panasnya api alam kubur....belum lagi pertanggungjawabannya di hari kiamat kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar