Memuat...
Penulis : AGUS SISWANTO
Kedua orang tua Wardiman mati secara bersamaan dengan sebab yang tak jelas. Nyatanya, mereka pulang ke Laut Selatan untuk melunasi perjanjian. Bagaimana kisah mistis selanjutnya….
Rasa rindunya yang sudah tak terbendung lagi untuk dapat bertemu dengan kedua orang tuanya, meskipun cuma sebatas mimpi, telah menghantarkan Wardi di batas keheningan. Desah nafas melankolik yang paling lemah sekalipun terdengar sangat nyaring. Semua hampa! Kosong! Dan kekosongan itu terasa semakin lama semakin menyempit. Hatinya yang gelisah tak menentu, dapat diumpamakan sebuah panggung teater yang kosong tanpa pemain.
Keterkejutan yang luar biasa melanda Wardi. Entah bagaimana ceritanya, di hadapannya telah berdiri seorang laki-laki tua. Dalam pada itu Wardi ingin menjerit sekuat-kuatnya. Namun apa daya, mulutnya memang terbuka, akan tetapi suaranya seperti tersekat di tenggorokan. Dan suara itu hanya bergaung di dalam dadanya sendiri.
Tidak tahu persis apa yang menyebabkan semua itu terjadi, tiba-tiba saja suhu badan Wardi meninggi. Tetapi apa daya, badannya lunglai dan suhu tubuhnya mendingin. Dua menit, tiga menit, hingga lima menit, Wardi tidak bergerak dan detak nadinya sama sekali tidak terasa. Apakah dia telah mati?
"Siapapun adanya dirimu, kumohon jangan ganggu aku. Pergi...!!" Wardi menjadi semakin panik ketika kakek misterius itu menatapnya dengan pandangan aneh. Tapi hardikannya itu hanya menggema di dalam dadanya.
"Cukup!" Kakek misterius itu menggeram dan suaranya laksana guruh tanda sangkala kiamat telah datang. "Aku bukan yang membunuh kedua orang tuamu, tapi kedua orang tuamu sendirilah yang telah membunuh hidupnya sendiri. Sekarang ikutlah bersamaku. Kita lihat apa yang terjadi dengan kedua orang tuamu!"
Wardi tak tahu apa yang dimaksudkan kakek itu. Dan bukankah dia tak pernah menuduh siapapun atas kematian kedua orang tuanya? Wardi semakin menggigil. Laki-laki tua yang berpakaian serba putih itu mengulurkan tangannya dan siap membimbing Wardi untuk jalan berbarengan bersamanya. Wardi hanya bisa bersikap pasrah. Dia tak kuasa menolak ajakan lelaki misterius itu.
Melihat sikap yang ditunjukkan Wardi, laki-laki yang berjenggot panjang itu tertawa sangat keras. Tawa itu membuat Wardi semakin menggigil ketakutan. Dia merasa tawa itu seolah-olah tawa kemenangan iblis yang telah berhasil menjurumuskan Adam dan Hawa untuk memakan Buah Terlarang, sehingga mereka terusir dari taman sorga.
Sambil terus berjalan entah kemana dirinya dibawa pergi, Wardi perlahan-lahan mulai peka dengan lingkungannya yang baru. Dia mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Hatinya berdebar-debar tanpa sebab yang jelas.
Sesuai pesan laki-laki yang menuntunnya, Wardi terus berpegangan tangan, namun tak berani bertanya walau sepatah katapun. Sesekali dia melihat kakek itu menempelkan jari telunjuknya persis di bibirnya, memberi isyarat supaya dirinya tidaklah bicara sepatah katapun, meski Wardi merasa sangat heran dengan perjalanan yang dilaluinya. Ya, dia merasa tubuhnya begitu ringan, seringan kapas. Tak hanya itu, dia juga menyaksikan tempat di sekelilingnya yang sangat asing. Seumur hidup Wardi tak pernah melihat tempat seperti itu.
Manakala langkah-langkah mereka telah sampai di sebuah perkampungan baru yang suasananya sangat sunyi, Wardi memejamkan matanya. Ya. perasaannya mengatakan ada yang ganjil. Tak lama kemudian dia membuka matanya dan matanya menjadi liar memandang sekelilingnya. Dia kemudian dihadapkan pada kenyataan yang selama ini belum pernah dilihatnya. Entah bagaimana ini bisa terjadi, dia melihat makhluk yang berwarna hijau campur warna biru, tingginya setinggi tumpukan buah kiwi, kepalanya bundar, mempunyai buntut mungil dan tiga jari kaki dan jari tangan. Apakah jenis makhluk itu? Wardi terheran-heran.
Untuk yang kesekian kalinya, Wardi hampir-hampir tak mempercayai akan penglihatannya sendiri. Setelah melihat makhluk aneh berwarna campuran hijau dan biru itu, kini dia dihadapkan pada kenyataan yang lebih seru. Dia melihat rombongan katak yang berjejer, berbaris rapi. Pasukan katak itu seperti tengah memberikan penghormatan kepada laki-laki tua misterius yang mengajak Wardi. Sementara itu, Wardi hanya mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dengan sekujur tubuh menggigil hebat.
Pikiran Wardi semakin berkecamuk tak karuan. Dia merasakan saat ini dirinya tidak lagi berada di bumi yang hanya akan bertemu dengan manusia, tapi seperti di dalam Station of Babylon 5 dalam serial Star Trek yang penuh dengan makhluk-makhluk angkasa luar.
Suasana ganjil benar-benar menyelimutinya. Wardi tak tahu harus bagaimana lagi. Hampir-hampir saja dia tak percaya pada penglihatannya sendiri. Dalam hati dia terus bertanya-tanya, bagaimana ini bisa terjadi? Apalagi ketika dia melihat seekor katak tengah mengayuh kendaraan mirip sepeda kumbang.
Benar-benar edan!
Keganjilan-keganjilan yang ditemuinya menggelitik pikiran dan nuraninya. Biarpun begitu, mulutnya tetap bungkam. Keinginan dan harapannya untuk dapat bertemu dengan kedua orang tuanya mendorongnya untuk bersikap tut wuri handayani. Ya, dia menurut saja!
Benar adanya. Harapannya untuk dapat bertemu dengan kedua orang tuanya akhirnya menjadi kenyataan juga. Dalam pada itu pikirannya menyusuri masa kecil, di saat dirinya bermain pluturan daun jambe bersama kedua orang tuanya.Wardi tersenyum kecut. Tiba-tiba saja lahirlah kembali kekosongan. Mendadak ada sesuatu yang tampak dari sorot mata kedua orangtuanya itu seperti kosong, karena seolah-olah harapan telah hilang. Kekosongan, itu menyiratkan kesedihan dan penderitaan yang sangat panjang.
"Benarkah itu Bapak dan Ibuku...?" Wardi menggumam.
Dia lalu termangu-mangu. Persoalan kodrat telah menggelitik nuraninya. Gejolak jiwa yang berpendar merata yang akan menuju ketidakterbatasan, menjadi kondisi yang teramat menyedihkan. Wardi mempunyai pemikiran bahwa kedua orang tuanya tidak mampu menemukan suatu tempat peristirahatan dalam kondisi kosong. Wardi merasakan keheningan yang teramat liar! Kekosongan itu telah berubah maknanya. Segala sesuatnya berkahir dengan tragis. Teramat menyedihkan!
Kekosongan itu telah berubah makna, bukan lagi sebuah kematian, akan tetapi sebuah penantian kedua orang tuanya. Dan kematian kedua orang tuanya ternyata bukanlah akhir kehidupan. Dugaannya bahwa arwah kedua orang tuanya menemukan kedamaian abadi di sisi Tuhan, meleset jauh. Dan gambaran yang tergelar di hadapannya saat ini adalah realitas.
Semasa hidupnya dulu, orang tua Wardi adalah orang terkaya di Kecamatan Trowulan. Juragan sapi yang sukses, sawahnya ada dimana-mana. Tapi kini, semua telah berubah jauh. Di ruang dan waktu yang telah menjadi momen miliknya, kedua orang tuanya menjadi budak! Budak alam lelembut! Dulu semasa hidupnya orang tuanya yang berkuasa atas setan-setan itu. Kini sebaliknya, penghuni alam lelembut itu yang berkuasa atas orang tuanya.
Mereka tengah memetik buah. Kedua orang tuanya menjadi budak, tukang angon sapi di alam lelembut sampai kiamat datang.
"Segala perbuatan itu harus ada bayarannya," laki-laki tua yang menuntun Wardi tertawa keras sekali.
"Bapak...Ibuuu...!" jerit panjang Wardi ketika melihat kedua orang tuanya menerima cambukan yang bertubi-tubi. Benar-benar tak ada rasa perikeiblisan.
Bersama jerit panjang itu, semuanya menjadi gelap. Pegangan tangan si kakek terlepas. Bersamaan dengan itu juga laki-laki misterius yang berpakaian serba putih yang telah membawanya bertemu dengan kedua orang tuannya yang sekarang telah menjadi budak di Laut Kidul, tiba-tiba lenyap tanpa bekas.
***
Keluarga Wardi benar-benar pasrah, demikian para tetangga yang telah berkumpul di rumahnya, juga yakin kalau Wardi telah meninggal. Orang-orang sudah mulai membaca surat Yasin sebagian lagi mempersiapkan perlengkapan (ubo rampen) upacara pemakaman. Sepuluh menit kemudian, orang-orang yang ada di rumah itu dikejutkan suara erangan dari mulut Wardi. Lelaki anak tunggal Pak Karso dan Bu Karso itu tidak jadi meninggal. Dia kemudian menangis sesunggukan sambil berpelukan pada Lek Sugiman, adik dari ayahnya.
"Bapak…Ibu, Lek! Mereka…mereka!" Geragap Wardi. Dia merasa sulit menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Dan dia merasa hal itu memang tak pantas diceritakan di tengah suasana tetangga yang sedang ramai. Dia tak sanggup membongkar aib itu.
Kuasa Tuhan memang teramat besar. Yang dianggap tidak masuk akal oleh manusia, bisa terjadi demikian mudahnya. Persiapan-persiapan upacara pemakaman kembali dibatalkan. Wardi benar-benar hidup kembali.
Mata Wardi yang sebelumnya terpejam, kini terbuka lebar. Tapi pandangannya serasa hampa. Bayangan kedua orag tuanya yang kini telah menjadi budak di Laut Kidul terus bermain-main di pelupuk matanya. Dia kembali tenggelam dalam pikirannya yang kalut. Barangkali kedua orang tuanya harus di Laut Kidul untuk membayar perjanjian yang telah disepakati antara kedua orang tuanya dengan penguasa Laut Kidul.
Kedua orang tua Wardiman mati secara bersamaan dengan sebab yang tak jelas. Nyatanya, mereka pulang ke Laut Selatan untuk melunasi perjanjian. Bagaimana kisah mistis selanjutnya….
Rasa rindunya yang sudah tak terbendung lagi untuk dapat bertemu dengan kedua orang tuanya, meskipun cuma sebatas mimpi, telah menghantarkan Wardi di batas keheningan. Desah nafas melankolik yang paling lemah sekalipun terdengar sangat nyaring. Semua hampa! Kosong! Dan kekosongan itu terasa semakin lama semakin menyempit. Hatinya yang gelisah tak menentu, dapat diumpamakan sebuah panggung teater yang kosong tanpa pemain.
Keterkejutan yang luar biasa melanda Wardi. Entah bagaimana ceritanya, di hadapannya telah berdiri seorang laki-laki tua. Dalam pada itu Wardi ingin menjerit sekuat-kuatnya. Namun apa daya, mulutnya memang terbuka, akan tetapi suaranya seperti tersekat di tenggorokan. Dan suara itu hanya bergaung di dalam dadanya sendiri.
Tidak tahu persis apa yang menyebabkan semua itu terjadi, tiba-tiba saja suhu badan Wardi meninggi. Tetapi apa daya, badannya lunglai dan suhu tubuhnya mendingin. Dua menit, tiga menit, hingga lima menit, Wardi tidak bergerak dan detak nadinya sama sekali tidak terasa. Apakah dia telah mati?
"Siapapun adanya dirimu, kumohon jangan ganggu aku. Pergi...!!" Wardi menjadi semakin panik ketika kakek misterius itu menatapnya dengan pandangan aneh. Tapi hardikannya itu hanya menggema di dalam dadanya.
"Cukup!" Kakek misterius itu menggeram dan suaranya laksana guruh tanda sangkala kiamat telah datang. "Aku bukan yang membunuh kedua orang tuamu, tapi kedua orang tuamu sendirilah yang telah membunuh hidupnya sendiri. Sekarang ikutlah bersamaku. Kita lihat apa yang terjadi dengan kedua orang tuamu!"
Wardi tak tahu apa yang dimaksudkan kakek itu. Dan bukankah dia tak pernah menuduh siapapun atas kematian kedua orang tuanya? Wardi semakin menggigil. Laki-laki tua yang berpakaian serba putih itu mengulurkan tangannya dan siap membimbing Wardi untuk jalan berbarengan bersamanya. Wardi hanya bisa bersikap pasrah. Dia tak kuasa menolak ajakan lelaki misterius itu.
Melihat sikap yang ditunjukkan Wardi, laki-laki yang berjenggot panjang itu tertawa sangat keras. Tawa itu membuat Wardi semakin menggigil ketakutan. Dia merasa tawa itu seolah-olah tawa kemenangan iblis yang telah berhasil menjurumuskan Adam dan Hawa untuk memakan Buah Terlarang, sehingga mereka terusir dari taman sorga.
Sambil terus berjalan entah kemana dirinya dibawa pergi, Wardi perlahan-lahan mulai peka dengan lingkungannya yang baru. Dia mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Hatinya berdebar-debar tanpa sebab yang jelas.
Sesuai pesan laki-laki yang menuntunnya, Wardi terus berpegangan tangan, namun tak berani bertanya walau sepatah katapun. Sesekali dia melihat kakek itu menempelkan jari telunjuknya persis di bibirnya, memberi isyarat supaya dirinya tidaklah bicara sepatah katapun, meski Wardi merasa sangat heran dengan perjalanan yang dilaluinya. Ya, dia merasa tubuhnya begitu ringan, seringan kapas. Tak hanya itu, dia juga menyaksikan tempat di sekelilingnya yang sangat asing. Seumur hidup Wardi tak pernah melihat tempat seperti itu.
Manakala langkah-langkah mereka telah sampai di sebuah perkampungan baru yang suasananya sangat sunyi, Wardi memejamkan matanya. Ya. perasaannya mengatakan ada yang ganjil. Tak lama kemudian dia membuka matanya dan matanya menjadi liar memandang sekelilingnya. Dia kemudian dihadapkan pada kenyataan yang selama ini belum pernah dilihatnya. Entah bagaimana ini bisa terjadi, dia melihat makhluk yang berwarna hijau campur warna biru, tingginya setinggi tumpukan buah kiwi, kepalanya bundar, mempunyai buntut mungil dan tiga jari kaki dan jari tangan. Apakah jenis makhluk itu? Wardi terheran-heran.
Untuk yang kesekian kalinya, Wardi hampir-hampir tak mempercayai akan penglihatannya sendiri. Setelah melihat makhluk aneh berwarna campuran hijau dan biru itu, kini dia dihadapkan pada kenyataan yang lebih seru. Dia melihat rombongan katak yang berjejer, berbaris rapi. Pasukan katak itu seperti tengah memberikan penghormatan kepada laki-laki tua misterius yang mengajak Wardi. Sementara itu, Wardi hanya mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dengan sekujur tubuh menggigil hebat.
Pikiran Wardi semakin berkecamuk tak karuan. Dia merasakan saat ini dirinya tidak lagi berada di bumi yang hanya akan bertemu dengan manusia, tapi seperti di dalam Station of Babylon 5 dalam serial Star Trek yang penuh dengan makhluk-makhluk angkasa luar.
Suasana ganjil benar-benar menyelimutinya. Wardi tak tahu harus bagaimana lagi. Hampir-hampir saja dia tak percaya pada penglihatannya sendiri. Dalam hati dia terus bertanya-tanya, bagaimana ini bisa terjadi? Apalagi ketika dia melihat seekor katak tengah mengayuh kendaraan mirip sepeda kumbang.
Benar-benar edan!
Keganjilan-keganjilan yang ditemuinya menggelitik pikiran dan nuraninya. Biarpun begitu, mulutnya tetap bungkam. Keinginan dan harapannya untuk dapat bertemu dengan kedua orang tuanya mendorongnya untuk bersikap tut wuri handayani. Ya, dia menurut saja!
Benar adanya. Harapannya untuk dapat bertemu dengan kedua orang tuanya akhirnya menjadi kenyataan juga. Dalam pada itu pikirannya menyusuri masa kecil, di saat dirinya bermain pluturan daun jambe bersama kedua orang tuanya.Wardi tersenyum kecut. Tiba-tiba saja lahirlah kembali kekosongan. Mendadak ada sesuatu yang tampak dari sorot mata kedua orangtuanya itu seperti kosong, karena seolah-olah harapan telah hilang. Kekosongan, itu menyiratkan kesedihan dan penderitaan yang sangat panjang.
"Benarkah itu Bapak dan Ibuku...?" Wardi menggumam.
Dia lalu termangu-mangu. Persoalan kodrat telah menggelitik nuraninya. Gejolak jiwa yang berpendar merata yang akan menuju ketidakterbatasan, menjadi kondisi yang teramat menyedihkan. Wardi mempunyai pemikiran bahwa kedua orang tuanya tidak mampu menemukan suatu tempat peristirahatan dalam kondisi kosong. Wardi merasakan keheningan yang teramat liar! Kekosongan itu telah berubah maknanya. Segala sesuatnya berkahir dengan tragis. Teramat menyedihkan!
Kekosongan itu telah berubah makna, bukan lagi sebuah kematian, akan tetapi sebuah penantian kedua orang tuanya. Dan kematian kedua orang tuanya ternyata bukanlah akhir kehidupan. Dugaannya bahwa arwah kedua orang tuanya menemukan kedamaian abadi di sisi Tuhan, meleset jauh. Dan gambaran yang tergelar di hadapannya saat ini adalah realitas.
Semasa hidupnya dulu, orang tua Wardi adalah orang terkaya di Kecamatan Trowulan. Juragan sapi yang sukses, sawahnya ada dimana-mana. Tapi kini, semua telah berubah jauh. Di ruang dan waktu yang telah menjadi momen miliknya, kedua orang tuanya menjadi budak! Budak alam lelembut! Dulu semasa hidupnya orang tuanya yang berkuasa atas setan-setan itu. Kini sebaliknya, penghuni alam lelembut itu yang berkuasa atas orang tuanya.
Mereka tengah memetik buah. Kedua orang tuanya menjadi budak, tukang angon sapi di alam lelembut sampai kiamat datang.
"Segala perbuatan itu harus ada bayarannya," laki-laki tua yang menuntun Wardi tertawa keras sekali.
"Bapak...Ibuuu...!" jerit panjang Wardi ketika melihat kedua orang tuanya menerima cambukan yang bertubi-tubi. Benar-benar tak ada rasa perikeiblisan.
Bersama jerit panjang itu, semuanya menjadi gelap. Pegangan tangan si kakek terlepas. Bersamaan dengan itu juga laki-laki misterius yang berpakaian serba putih yang telah membawanya bertemu dengan kedua orang tuannya yang sekarang telah menjadi budak di Laut Kidul, tiba-tiba lenyap tanpa bekas.
***
Keluarga Wardi benar-benar pasrah, demikian para tetangga yang telah berkumpul di rumahnya, juga yakin kalau Wardi telah meninggal. Orang-orang sudah mulai membaca surat Yasin sebagian lagi mempersiapkan perlengkapan (ubo rampen) upacara pemakaman. Sepuluh menit kemudian, orang-orang yang ada di rumah itu dikejutkan suara erangan dari mulut Wardi. Lelaki anak tunggal Pak Karso dan Bu Karso itu tidak jadi meninggal. Dia kemudian menangis sesunggukan sambil berpelukan pada Lek Sugiman, adik dari ayahnya.
"Bapak…Ibu, Lek! Mereka…mereka!" Geragap Wardi. Dia merasa sulit menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Dan dia merasa hal itu memang tak pantas diceritakan di tengah suasana tetangga yang sedang ramai. Dia tak sanggup membongkar aib itu.
Kuasa Tuhan memang teramat besar. Yang dianggap tidak masuk akal oleh manusia, bisa terjadi demikian mudahnya. Persiapan-persiapan upacara pemakaman kembali dibatalkan. Wardi benar-benar hidup kembali.
Mata Wardi yang sebelumnya terpejam, kini terbuka lebar. Tapi pandangannya serasa hampa. Bayangan kedua orag tuanya yang kini telah menjadi budak di Laut Kidul terus bermain-main di pelupuk matanya. Dia kembali tenggelam dalam pikirannya yang kalut. Barangkali kedua orang tuanya harus di Laut Kidul untuk membayar perjanjian yang telah disepakati antara kedua orang tuanya dengan penguasa Laut Kidul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar