Dua Orang Anakku Mati Di Makan siluman Ular

Memuat...
Oleh: Prihatin Handayani
Peristiwa mengerikan ini dialami oleh suami isteri Mumun (40) dan Mugiyono (43), yang kini tinggal di daerah Sidoarjo, Jawa Timur. Misteri menceritakan kembali kenyataan pahit yang mereka alami dengan bahasa aku. Dengan pengungkapan kisah penuh misteri ini, semoga bisa memberikan hikmah bagi para pembaca majalah kesayangan ini. Berikut kisah selengkapnya….
Namaku Mumun. Aku lahir dan besar di Jakarta. Selepas SMA tahun 1980-an aku sempat bekerja di sebuah instansi swasta di Kuningan, Jakarta. Pada saat bekerja itulah, aku mengenal Mas Mugi yang masih memiliki hubungan saudara dengan salah satu rekan kantorku.
Dua tahun menjalani masa pacaran, kami memutuskan menikah pada awal tahun 1990. Aku merasa mantap dengan Mas Mugi yang begitu pengertian dan ngemong. Terlebih lagi ia juga telah memilki pekerjaan tetap sebagai PNS di instansi angkatan laut yang berdinas di Surabaya.
Setelah menikah kami tinggal di rumah dinas yang disediakan oleh kantor suamiku. Rumah dinas yang kami tempati sangat sederhana, terletak paling ujung dan tampak seperti bangunan yang telah lama tak dihuni. Saat kami datang kondisinya sangat mengerikan. Terlihat suram dan di sekitar rumah tampak rumput liar yang tumbuh dengan subur. Di pekarangan banyak tanaman buah seperti pisang dan mangga.
Sebenarnya aku telah merasakan nuansa mistis yang membuat bulu kuduk meremang, namun aku merasa tak enak hati untuk mengatakannya pada Mas Mugi, mengingat suamiku belum mampu menyediakan rumah yang lebih baik lagi untukku.
Setahun setelah pernikanah, aku melahirkan seorang putra yang kami beri nama Danu Eko Juniarto. Sejak kelahiran Eko, aku merasakan nuansa mistik yang kian menyeramkan di rumahku, terlebih di kamar tidur. Aku sering kali melihat bayangan dua ekor ular besar yang melingkar di teralis besi ranjangku. Setiap kali kudekati, kedua ular besar itu lenyap.
Yang tak kalah aneh, hampir setiap malam, dari bawah ranjangku sering terdengar suara desisan ular yang membuat bulu kudukku berdiri meremang. Namun sensasi gaib itu tak kuceritakan pada Mas Mugi. Walau aku merasa yakin sekali dengan apa yang kulihat dan kudengar itu. Aku takut suamiku menganggapku hanya berhalusinasi, karena Mas Mugi tak sekalipun mengeluhkan hal yang sama denganku.
Anehnya, si Eko selalu rewel bila berada di kamar. Bayiku ini sering menangis saat malam tiba, terlebih bila Mas Mugi sedang tidak berada di rumah.
Wajah anakku pun tampak aneh. Ia tak ceria seperti bayi pada umumnya. Wajahnya tampak tegang seperti ketakutan. Tak sekalipun Eko bisa tersenyum ataupun tertawa bila diajak bercanda oleh siapapun. Ia sering sakit-sakitan. Dengan kondisi yang demikian pertumbuhannnya menjadi sangat lambat sekali, wajahnya kurus seperti bayi kekurangan gizi akut.
Saat Eko berusia lima bulan, suhu badannya tiba-tiba meninggi. Malam itu juga kami membawa Eko ke rumah sakit terdekat. Anehnya, suhu tubuh Eko yang saat kami bawa begitu tinggi, saat tiba di rumah sakit suhu tubuhnya menjadi normal kembali. Setelah diberi obat penurun panas, dokter menyarankan Eko dibawa pulang dan dirawat di rumah saja. Kamipun terpaksa menuruti saran dokter tersebut.
Sampai di rumah, Eko aku baringkan dalam boksnya yang terletak di sisi ranjang kami. Tak lama kemudian, Eko tiba-tiba menangis dengan kencang. Kedua matanya melotot ke atas seolah melihat sesuatu yang menakutkan. Aku merasakan tangisnya itu lain dari biasanya. Naluriku sebagai ibu mengatakan buah hatiku nampak menahan sakit yang luar biasa. Namun aku tak tahu penyebabnya. Ketika tubuh mungilnya kudekap dalam pelukan, aku merasakan nafasnya mulai tersengal dan seiring dengan menghilangnya suara tangis Eko, berhenti pula detak jantung buah hatiku itu. Eko pergi meninggalkan kami dengan kondisi yang sangat mengenaskan.
Kepergian Eko selama-lamanya tidak menimbulkan kecurigaan bagi kami, bahwa di balik kematiannya yang tragis disebabkan oleh keganasan dua siluman ular yang berdiam di bawah ranjangku. Sat itu kami berpikir kematian Eko adalah hanya dengan sebab kehendakNya.
Belum genap dua tahu kepergian Eko, aku telah melahirkan seorang putra yang memiliki ketampanan seperti almarhum anakku yang pertama. Kami memberinya nama Pratama Wijaya.
Namun apa yang dialami oleh Eko terulang pada diri Pratama. Ia sering sakit-sakitan, wajahnya selalu tampak tegang seperti ketakutan dan badannya kurus kering. Kalaupun ada yang membedakan keduanya soal waktu kematiannya. Jika Eko meninggal dalam usia lima bulan, Pratama meningalkan kami saat usianya menginjak dua tahun.
Sebelum meninggal, aku sempat membawa Pratama pulang ke rumah orang tuaku di Jakarta, karena ayahku akan menunaikan ibadah haji. Semua kerabat yang melihat kondisi Pratama merasa aneh. Anakku hanya menampakkan wajah tegang, tak bisa senyum apalagi tertawa. Salah seorang adikku bahkan menawarkan hadiah uang seratus ribu kepada siapapun yang bisa mampu membuat anakku tersenyum. Namun tak seorangpun mampu melakukannya.
Salah seorang tetangga di rumah orang tuaku yang memilki ilmu supranatural menyadarkan kami tentang keanehan yang dialami oleh Pratama. Menurut Om Indrawan (55), anakku diganggu makhluk halus sejenis ular yang sangat ganas dan gemar memangsa manusia, terlebih anak kecil yang darahnya terasa manis dan wangi bagi makhluk-makhluk gaib. Beliau juga menyarankan agar kami mencari orang pintar untuk menetralisir siluman ular tersebut dalam diri Pratama.
Setelah ayahku berangkat ke tanah suci, maka kami pun kembali ke Surabaya. Kami mulai mencari orang pintar yang mumpuni untuk mengatasi gangguan siluman ular tersebut. Sayangnya, dari puluhan orang pintar yang kami panggil, tak seorang pun mampu menaklukkan siluman ular yang mendiami bawah ranjang kami, yang ternyata sepasang itu. Bahkan beberapa orang pintar yang kami panggil tersebut ada yang terluka parah ketika melakukan pertarungan melawan sepasang siluman ular tersebut. Ada pula yang langsung mundur begitu mengetahui keganasan dan kesaktian sepasang sliuman ular itu.
Dari orang pintar yang kami panggil, mereka memberikan pendapat yang sama, bahwa sepasang siluman ular yang berumah di bawah ranjang kami adalah sejenis siluman yang haus darah manusia dan memilki kekuatan yang sulit untuk ditaklukkan. Kedua siluman ular tersebut telah puluhan tahun mendiami tempat itu, bahkan jauh sebelum perumahan itu ada, dan kawasan tersebut dulunya adalah areal persawahan. Tak jauh dari lokasi ada pantai Kanjeran, yang juga dihuni oleh banyak makhluk halus.
Belum juga kutemukan orang pintar yang mampu menaklukkan sepasang siluman ular itu, ketika Pratama meningalkan kami dengan kondisi yang mengenaskan. Kedua mataya melotot ke atas seolah melihat sesuatu yang menakutkan. Ketika kukabarkan berita duka itu pada ayahku yang masih berada di Tanah Suci, anehnya ayahku mangatakan bahwa beliau sudah mengetahuinya sebelum aku mengabarkannya. Menurut ayahku, beliau mendapat firasat kematian anakku lewat mimpi dan kejadian ganjil saat ayahku berdoa di depan Ka’bah. Saat berdoa untuk Pratama, entah mengapa ayahku tiba-tiba menangis. Malamnya ayah bermimpi anakku di mangsa dua ekor ular raksasa. Mimpi itu terulang hingga dua kali.
Kematian dua anakku dengan cara yang tragis menimbulkan dendam di hatiku. Aku mencari orang pintar hingga menyeberang ke Pulau Madura. Di Pulau garam, tepatnya di Kabupaten Bangkalan, aku menemukan seorang ustadz yang mumpuni. Ustadz Solihin, namanya. Beliau sangat mumpuni dalam ilmu supranatural.
Ritual yang dilakukan oleh Uztadz Solihin untuk menaklukkan sepasang siluman ular tersebut memakan waktu hampir sepekan. Dalam prosesi tersebut, beliau dibantu oleh puluhan santrinya.
Setelah sepasang siluman ular itu ditaklukkan, aku memilih untuk meninggalkan rumah dinas tersebut. Aku memutuskan mencari tempat tinggal di luar kota Surabaya.
Hingga kini, sulit sekali menghapus kenangan dalam kehidupan saat kedua anakku harus mati dimangsa siluman ular yang bersarang di dalam rumah tempat tinggalku. Semuanya seolah baru saja terjadi dan teramat mengguncang jiwaku. Andai aku tak kuat, mungkin aku sudah gila.
Setiap kali menginjakkan kaki di Surabaya, terlebih di kawasan Kanjeran, aku tak kuasa menahan tangis. Bayangan tentang Eko dan Pratama yang menjadi korban keganasan sepasang siluman ular itu sangat sulit untuk kulupakan walaupun kejadian tersebut telah lama berlalu. Hingga kini aku telah memiliki dua orang putra yang juga berwajah tampan seperti mendiang kedua anakku terdahulu.
Sejak kepergian kedua anakku akibat dimangsa oleh siluman ular, aku seperti orang kurang waras bila melihat ular, baik melalui gambar maupun wujud aslinya. Aku bisa langsung menjerit, memaki dan kemudian selalu diakhiri dengan tangis yang berkepanjangan.
Seiring sang waktu, dalam hatiku yang terdalam senantiasa berdoa agar Allah memberiku kebesaran hati agar mampu mengikhlakskan semua yang telah terjadi dan menempatkan dua buah hatiku di tempat yang layak disisiNya. Amiin…!

Related Post



Tidak ada komentar:

Postingan Populer