Memuat...
Penulis : DEWI WULANDARI
Kisah mistis ini ditulis berdasarkan penuturan Achmad Busyairi, saksi mata kejadian....
Nama Mbok Maunah, penduduk Desa Bonsari Kidul, Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang, cukup terkenal pada bilangan tahun 1984 - 1990. Terutama oleh masyarakat di daerah setempat, bahkan banyak dikenal oleh penduduk Kabupaten Lumajang umumnya. Wanita dusun ini terkenal karena kemampuan supranatural yang dimilikinya.
Kemampuan supranatural yang membuat namanya sedemikian kondang adalah karena Mbok Maunah dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tapi, apakah sebenarnya rahasia yang dimiliki oleh sosok yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan ini? Perempuan buta ini memiliki ilmu yang sedemikian ampuh berkat bantuan jin muslim yang menikahinya.
Achmad Busyairi, saksi hidup yang merekam perjalanan hidup Mbok Maunah menuturkannya kepada Penulis, untuk kemudian diceritakannya kembali kepada pembaca, dengan harapan bisa diambil hikmahnya.
Maunah, perawan tua yang buta kedua matanya sejak kecil itu hidup sebatang kara. Tanpa orang tua dan saudara, membuat hidupnya terlunta-lunta. Berulangkali dia pindah tempat tinggal. Mencari tumpangan pada saudara-saudara jauh yang mau menerima kehadirannya.
Jangankan ada pria yang mau menikahinya, untuk mendekatinya saja mereka umumnya emoh. Hingga usianya menginjak kepala empat, Maunah masih hidup sendiri dan belum pernah menikah. Untuk menyambung hidupnya, Maunah kerap menjadi tukang pijat dan menerima kebaikan dari tetangga dekatnya.
Walaupun hidupnya sangat sengsara, namun Maunah sangat rajin menjalankan sholat. Suatu ketika ia pernah menyebut, dengan sholat dirinya merasa masih pantas hidup di dunia nan fana ini.
Aku (Achmad Busyairi-Pen) kenal dekat dengannya ketika Maunah tinggal di belakang rumah salah seorang tetanggaku yang sebut saja dengan inisial SM. Ia menempati sebuah kamar kecil yang sebelumnya dipakai untuk gudang penyimpanan barang.
Kedekatanku dengan Maunah disebabkan dua hal; pertama kalau ditelusuri dia masih terhitung saudara jauh denganku. Kedua, karena aku meresa iba melihatnya selalu sendiri hampir di setiap waktu.
Dia baru ada yang menemani bila kebetulan ada tetangga kanan kiri yang datang minta dipijat. Kepandaiannya memijat sebenarnya kurang begitu mumpuni. Kalaupun ada tetangga yang memanfaatkan jasanya, disebabkan karena mereka merasa iba dan ingin berbagi sedikit rejeki dengan perempuan buta ini.
Ketika pertama kali kenal dekat dengan Maunah, aku tidak melihat ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Cerita-cerita yang keluar dari mulutnyapun tidak jauh dari seputar perjalanan hidup serta penderitaan-penderitaan yang dialaminya.
Baru setelah tiga bulan kemudian, kejanggalan-kejanggalan mulai tampak pada diri perempuan buta itu. Dia kerap bercerita tentang diri laki-laki yang selalu dipanggilanya "Om". Menurut penuturannya, dia sering diajak jalan-jalan oleh Om ke puncak Gunung Semeru, ke Alas Purwo, ke Pantai Parangtritis, juga mandi di Ranu Pane.
"Pekerjaan Om memberi makan burung perkutut milik Mbah Gimbal di Puncak Gunung Semeru. Jadi aku sering diajaknya kesana," tuturnya suatu ketika dengan wajah bercahaya layaknya orang yang sedang jatuh cinta.
Mendengar penuturannya yang aku anggap ngelantur itu, aku semakin bertambah iba. Menurut dugaanku dia terobsesi dicintai oleh seorang laki-laki, sehingga menciptakan sosok imajiner di dalam kehidupannya. Bahkan aku sempat menduga, perempuan buta itu sudah mulai gila. Apalagi ketika pada suatu hari dia menyampaikan rencananya untuk menikah.
Menikah? Tentu saja aku sempat tertawa dalam hati mendengar cerita Mauna ini.
"Sehabis Isya nanti Om datang bersama penghulu. Kamu maukan menjadi wali nikahku?" pinta Maunah yang sekali lagi membuatku menahan senyum.
"Tolonglah, aku sudah tidak punya orang tua dan saudara. Di sini hanya kamu orang yang dekat denganku," katanya setelah mendapatkan diriku tidak berkomentar apa-apa atas perkataannya barusan. Kata-katanya yang terakhir ini terus terang membuatku sangat terenyuh.
"Baiklah. Kalu kau pasrahkan wali nikah kepadaku, aku bersedia," jawabku sekedar untuk menghibur hatinya.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Achmad!" ujarnya dengan wajah berseri-seri.
Meski aku masih sangsi dengan rencana pernikahan yang disampaikan Maunah itu, tak urung sebelum Isya aku datang ke tempat tinggalnya yang sempit itu. Ini kulakukan tak lebih agar tidak membuatnya kecewa.
Malam itu, kami menghabiskan waktu dengan membicarakan calon pengantin pria. Entah bagaimana, Maunah begitu yakin dengan sosok yang disebutnya Om itu. Aku yang lebih sering menjadi pendengar sempat merasa geli menyimak penuturan Maunah yang seolah tidak ada habisnya bercerita tentang diri calon suaminya itu. Perasaan geli yang bercampur dengan iba.
Kurang dari setengah jam setelah adzan Isya berkumandang, pintu diketuk dari luar, disusul suara uluk salam yang terdengar berat dan dalam. Aku membalas salam itu sambil beranjak dari tempat duduk dan membuka pintu.
Anehnya, ketika pintu terbuka, aku lihat di luar tidak ada orang. Tentu saja aku jengkel, karena kuanggap ada seseorang yang sengaja usil menggoda kami. Tapi, sebelum rasa jengkel itu sempat hilang, suara yang tadi mengucapkan salam sudah terdengar lagi di dalam ruangan.
"Tutup saja pintunya. Saya sudah berada di dalam," kata suara itu, membuatku terkejut. Aku semakin terkejut ketika mengetahui di dalam ruangan tidak ada siapa-siapa, kecuali Maunah. Lalu, suara siapa sebenarnya yang kudengar barusan itu?
"Duduklah, dan tidak perlu takut. Aku calon suami Maunah. Aku dari bangsa Jin dan beragama Islam. Aku datang kesini bersama penghulu dari bangsa kami, dan meminta bantuanmu untuk bersedia menjadi wali nikah bagi Maunah," kata suara itu menjelaskan jati dirinya juga keperluannya.
Aku yang masih terbawa oleh perasaan takut, hanya mengiyakan semua perkataannya, dengan tubuh gemetar. Ketika prosesi pernikahan berjalan, tubuhku bersimbuh keringat dingin. Kesadaranku seolah hilang dari awal hingga akhir acara. Bahkan ketika pulang ke rumah, kejadian yang aneh itu terbayang terus di pelupuk mataku. Bagaimana mungkin hal yang sangat musykil itu sungguh-sungguh terjadi?
Esok harinya aku jatuh sakit. Mungkin karena terbawa oleh perasaan takut yang teramat sangat. Tapi entah kenapa, aku tidak mempunyai keberanian untuk bercerita kepada siapapun juga tentang pernikahan Maunah dengan bangsa Jin Muslim itu. Aku bahkan sengaja menghindar dengan pergi ke rumah saudara di luar kota, dua minggu lamanya.
Pulang dari luar kota, kabar tentang pernikahan Maunah sudah menjadi rahasia umum. Beberapa tetangga malah sempat memintaku bercerita tentang peristiwa pernikahan itu. Dan yang membuatku mengembangkan senyum, kabarnya kini Maunah setiap hari kebanjiran tamu. Mereka datang untuk berobat. Karena sejak pernikahan itu, Maunah dipercaya memiliki kemampuan supranatural yang dapat menyembuhan segala macam penyakit. Tentu saja kemampuan yang didapatkannya dari Jin Muslim suaminya.
Untuk membuktikannya, kau berkunjung ke tempat tinggal Maunah. Ternyata benar. Sebelum bisa bertemu dengan perempuan buta itu, aku harus antri terlebih dahulu. Tapi aku bersyukur, sifat Maunah tidak berubah meski hidupnya tidak lagi kekurangan. Dia tetap menerimaku dengan ramah, dan menuturkan banyak cerita sebagaimana hari-hari sebelumnya.
Tidak hanya Maunah. Suaminyapun juga baik. Bila tidak sedang ada tamu, jin yang lebih suka dipanggi Om itu, selalu mengajakku bercengkrama. Tentu saja aku hanya bisa mendengar suaranya, sedang wujudnya tak pernah aku lihat. Aku tidak lagi takut sebagaimana saat akad nikah dulu, meski makhluk yang aku ajak berbicara tidak terlihat dengan mata. Aku bahkan merasa senang, karena dari perbincangan kami, banyak pengetahuan yang bisa aku serap, terutama pengetahuan tentang dunia gaib.
Satu hal yang membuatku merasa dihargai, Maunah dan suaminya masih suka meminta saran dan pendapatku bila sedang menghadapi masalah. Sebagaimana yang terjadi pada malam itu.
"Pak SM mau mencalonkan diri dalam pemilihan Kepala Desa bulan depan nanti. Dan dia memintaku untuk membujuk Om agar bersedia membantu Pak SM dalam pelaksanaan pemilihan nanti," tutur Maunah.
"Membantu bagaimana?" tanyaku.
"Membantu mempengaruhi kesadaran para pemilih, agar menjatuhkan pilihan mereka pada Pak SM."
"Wah, itu namanya curang!"
"Aku juga punya pikiran seperti itu," kata Om dengan wujud yang tak terlihat.
"Karena itu, tadi sebelum kamu datang, aku sempat bicara pada Maunah agar menolak permintaan Pak SM. Sebenarnya bisa saja aku melakukan perbuatan curang seperti itu. Tapi aku takut dosa. Kau tahu sendiri, selama ini aku hanya mau membantu tamu-tamu yang niat dan tujuannya baik. Bila niat dan tujuannya jelek, aku tidak pernah bersedia membantu mereka. Malahan Maunah aku suruh menasehati tamu itu. Hal itu aku lakukan tidak lain karena kau takut dosa," panjang lebar Jin Muslim itu berbicara.
"Aku sendiri sebenarnya juga tidak setuju dengan niat Pak SM. Tapi untuk menolak rasanya sulit. Selama ini dia telah banyak menolongku, utamanya memberikan tempat ini untuk aku pakai. Bila aku menolak, dia pasti akan mengusirku dari sini," Maunah berkata setengah mengeluh.
"Tidak usah takut bila Pak SM mengusirmu dari sini. Bumi Allah masih terbentang luas untuk kamu tempati," nasehat suaminya.
Akhirnya Maunah memang menolak permintaan Pak SM, dan kursi kepala desa yang diperebutkan jatuh ke tangan Parman. Sebagaimana dugaan semula, begitu gagal dalam pemilihan kepala desa, Pak SM langsung menyuruh Maunah pergi dari bekas bangunan gudang miliknya itu. Maunah tentu saja tak bisa melawan kehendak sang pemilik tempat.
Setelah meninggalkan tempat tinggalnya yang lama, Maunah ditampung untuk tinggal bersama keluarga Pak Dulalim. Pada saat itu rumah keluarga Pak Dulalim boleh dikatakan sangat berantakan. Rencana untuk memperbaiki rumah terhenti di tengah jalan karena kehabisan biaya.
Tapi beberapa bulan setelah Maunah tinggal bersama mereka, pembangunan rumah diteruskan kembali. Bahkan ketika jadi, rumah itu jauh lebih megah dari rencana sebelumnya. Apakah biaya pembangunan rumah dibantu oleh Maunah dan suaminya, ataukah hasil kerja keras dari pak Dulalim sendiri, aku kurang tahu. Karena sebulan setelah Maunah pindah, aku pergi dan tinggal di lain kota.
Berita terakhir yang aku dengar tentang diri Maunah, dia tinggal bersama saudara jauhnya bernama Asiyah di Jatiroto. Di tempat itu pula perempuan buta yang bersuamikan Jin Muslim itu meninggal dan dimakamkan.
Kisah mistis ini ditulis berdasarkan penuturan Achmad Busyairi, saksi mata kejadian....
Nama Mbok Maunah, penduduk Desa Bonsari Kidul, Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang, cukup terkenal pada bilangan tahun 1984 - 1990. Terutama oleh masyarakat di daerah setempat, bahkan banyak dikenal oleh penduduk Kabupaten Lumajang umumnya. Wanita dusun ini terkenal karena kemampuan supranatural yang dimilikinya.
Kemampuan supranatural yang membuat namanya sedemikian kondang adalah karena Mbok Maunah dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tapi, apakah sebenarnya rahasia yang dimiliki oleh sosok yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan ini? Perempuan buta ini memiliki ilmu yang sedemikian ampuh berkat bantuan jin muslim yang menikahinya.
Achmad Busyairi, saksi hidup yang merekam perjalanan hidup Mbok Maunah menuturkannya kepada Penulis, untuk kemudian diceritakannya kembali kepada pembaca, dengan harapan bisa diambil hikmahnya.
Maunah, perawan tua yang buta kedua matanya sejak kecil itu hidup sebatang kara. Tanpa orang tua dan saudara, membuat hidupnya terlunta-lunta. Berulangkali dia pindah tempat tinggal. Mencari tumpangan pada saudara-saudara jauh yang mau menerima kehadirannya.
Jangankan ada pria yang mau menikahinya, untuk mendekatinya saja mereka umumnya emoh. Hingga usianya menginjak kepala empat, Maunah masih hidup sendiri dan belum pernah menikah. Untuk menyambung hidupnya, Maunah kerap menjadi tukang pijat dan menerima kebaikan dari tetangga dekatnya.
Walaupun hidupnya sangat sengsara, namun Maunah sangat rajin menjalankan sholat. Suatu ketika ia pernah menyebut, dengan sholat dirinya merasa masih pantas hidup di dunia nan fana ini.
Aku (Achmad Busyairi-Pen) kenal dekat dengannya ketika Maunah tinggal di belakang rumah salah seorang tetanggaku yang sebut saja dengan inisial SM. Ia menempati sebuah kamar kecil yang sebelumnya dipakai untuk gudang penyimpanan barang.
Kedekatanku dengan Maunah disebabkan dua hal; pertama kalau ditelusuri dia masih terhitung saudara jauh denganku. Kedua, karena aku meresa iba melihatnya selalu sendiri hampir di setiap waktu.
Dia baru ada yang menemani bila kebetulan ada tetangga kanan kiri yang datang minta dipijat. Kepandaiannya memijat sebenarnya kurang begitu mumpuni. Kalaupun ada tetangga yang memanfaatkan jasanya, disebabkan karena mereka merasa iba dan ingin berbagi sedikit rejeki dengan perempuan buta ini.
Ketika pertama kali kenal dekat dengan Maunah, aku tidak melihat ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Cerita-cerita yang keluar dari mulutnyapun tidak jauh dari seputar perjalanan hidup serta penderitaan-penderitaan yang dialaminya.
Baru setelah tiga bulan kemudian, kejanggalan-kejanggalan mulai tampak pada diri perempuan buta itu. Dia kerap bercerita tentang diri laki-laki yang selalu dipanggilanya "Om". Menurut penuturannya, dia sering diajak jalan-jalan oleh Om ke puncak Gunung Semeru, ke Alas Purwo, ke Pantai Parangtritis, juga mandi di Ranu Pane.
"Pekerjaan Om memberi makan burung perkutut milik Mbah Gimbal di Puncak Gunung Semeru. Jadi aku sering diajaknya kesana," tuturnya suatu ketika dengan wajah bercahaya layaknya orang yang sedang jatuh cinta.
Mendengar penuturannya yang aku anggap ngelantur itu, aku semakin bertambah iba. Menurut dugaanku dia terobsesi dicintai oleh seorang laki-laki, sehingga menciptakan sosok imajiner di dalam kehidupannya. Bahkan aku sempat menduga, perempuan buta itu sudah mulai gila. Apalagi ketika pada suatu hari dia menyampaikan rencananya untuk menikah.
Menikah? Tentu saja aku sempat tertawa dalam hati mendengar cerita Mauna ini.
"Sehabis Isya nanti Om datang bersama penghulu. Kamu maukan menjadi wali nikahku?" pinta Maunah yang sekali lagi membuatku menahan senyum.
"Tolonglah, aku sudah tidak punya orang tua dan saudara. Di sini hanya kamu orang yang dekat denganku," katanya setelah mendapatkan diriku tidak berkomentar apa-apa atas perkataannya barusan. Kata-katanya yang terakhir ini terus terang membuatku sangat terenyuh.
"Baiklah. Kalu kau pasrahkan wali nikah kepadaku, aku bersedia," jawabku sekedar untuk menghibur hatinya.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Achmad!" ujarnya dengan wajah berseri-seri.
Meski aku masih sangsi dengan rencana pernikahan yang disampaikan Maunah itu, tak urung sebelum Isya aku datang ke tempat tinggalnya yang sempit itu. Ini kulakukan tak lebih agar tidak membuatnya kecewa.
Malam itu, kami menghabiskan waktu dengan membicarakan calon pengantin pria. Entah bagaimana, Maunah begitu yakin dengan sosok yang disebutnya Om itu. Aku yang lebih sering menjadi pendengar sempat merasa geli menyimak penuturan Maunah yang seolah tidak ada habisnya bercerita tentang diri calon suaminya itu. Perasaan geli yang bercampur dengan iba.
Kurang dari setengah jam setelah adzan Isya berkumandang, pintu diketuk dari luar, disusul suara uluk salam yang terdengar berat dan dalam. Aku membalas salam itu sambil beranjak dari tempat duduk dan membuka pintu.
Anehnya, ketika pintu terbuka, aku lihat di luar tidak ada orang. Tentu saja aku jengkel, karena kuanggap ada seseorang yang sengaja usil menggoda kami. Tapi, sebelum rasa jengkel itu sempat hilang, suara yang tadi mengucapkan salam sudah terdengar lagi di dalam ruangan.
"Tutup saja pintunya. Saya sudah berada di dalam," kata suara itu, membuatku terkejut. Aku semakin terkejut ketika mengetahui di dalam ruangan tidak ada siapa-siapa, kecuali Maunah. Lalu, suara siapa sebenarnya yang kudengar barusan itu?
"Duduklah, dan tidak perlu takut. Aku calon suami Maunah. Aku dari bangsa Jin dan beragama Islam. Aku datang kesini bersama penghulu dari bangsa kami, dan meminta bantuanmu untuk bersedia menjadi wali nikah bagi Maunah," kata suara itu menjelaskan jati dirinya juga keperluannya.
Aku yang masih terbawa oleh perasaan takut, hanya mengiyakan semua perkataannya, dengan tubuh gemetar. Ketika prosesi pernikahan berjalan, tubuhku bersimbuh keringat dingin. Kesadaranku seolah hilang dari awal hingga akhir acara. Bahkan ketika pulang ke rumah, kejadian yang aneh itu terbayang terus di pelupuk mataku. Bagaimana mungkin hal yang sangat musykil itu sungguh-sungguh terjadi?
Esok harinya aku jatuh sakit. Mungkin karena terbawa oleh perasaan takut yang teramat sangat. Tapi entah kenapa, aku tidak mempunyai keberanian untuk bercerita kepada siapapun juga tentang pernikahan Maunah dengan bangsa Jin Muslim itu. Aku bahkan sengaja menghindar dengan pergi ke rumah saudara di luar kota, dua minggu lamanya.
Pulang dari luar kota, kabar tentang pernikahan Maunah sudah menjadi rahasia umum. Beberapa tetangga malah sempat memintaku bercerita tentang peristiwa pernikahan itu. Dan yang membuatku mengembangkan senyum, kabarnya kini Maunah setiap hari kebanjiran tamu. Mereka datang untuk berobat. Karena sejak pernikahan itu, Maunah dipercaya memiliki kemampuan supranatural yang dapat menyembuhan segala macam penyakit. Tentu saja kemampuan yang didapatkannya dari Jin Muslim suaminya.
Untuk membuktikannya, kau berkunjung ke tempat tinggal Maunah. Ternyata benar. Sebelum bisa bertemu dengan perempuan buta itu, aku harus antri terlebih dahulu. Tapi aku bersyukur, sifat Maunah tidak berubah meski hidupnya tidak lagi kekurangan. Dia tetap menerimaku dengan ramah, dan menuturkan banyak cerita sebagaimana hari-hari sebelumnya.
Tidak hanya Maunah. Suaminyapun juga baik. Bila tidak sedang ada tamu, jin yang lebih suka dipanggi Om itu, selalu mengajakku bercengkrama. Tentu saja aku hanya bisa mendengar suaranya, sedang wujudnya tak pernah aku lihat. Aku tidak lagi takut sebagaimana saat akad nikah dulu, meski makhluk yang aku ajak berbicara tidak terlihat dengan mata. Aku bahkan merasa senang, karena dari perbincangan kami, banyak pengetahuan yang bisa aku serap, terutama pengetahuan tentang dunia gaib.
Satu hal yang membuatku merasa dihargai, Maunah dan suaminya masih suka meminta saran dan pendapatku bila sedang menghadapi masalah. Sebagaimana yang terjadi pada malam itu.
"Pak SM mau mencalonkan diri dalam pemilihan Kepala Desa bulan depan nanti. Dan dia memintaku untuk membujuk Om agar bersedia membantu Pak SM dalam pelaksanaan pemilihan nanti," tutur Maunah.
"Membantu bagaimana?" tanyaku.
"Membantu mempengaruhi kesadaran para pemilih, agar menjatuhkan pilihan mereka pada Pak SM."
"Wah, itu namanya curang!"
"Aku juga punya pikiran seperti itu," kata Om dengan wujud yang tak terlihat.
"Karena itu, tadi sebelum kamu datang, aku sempat bicara pada Maunah agar menolak permintaan Pak SM. Sebenarnya bisa saja aku melakukan perbuatan curang seperti itu. Tapi aku takut dosa. Kau tahu sendiri, selama ini aku hanya mau membantu tamu-tamu yang niat dan tujuannya baik. Bila niat dan tujuannya jelek, aku tidak pernah bersedia membantu mereka. Malahan Maunah aku suruh menasehati tamu itu. Hal itu aku lakukan tidak lain karena kau takut dosa," panjang lebar Jin Muslim itu berbicara.
"Aku sendiri sebenarnya juga tidak setuju dengan niat Pak SM. Tapi untuk menolak rasanya sulit. Selama ini dia telah banyak menolongku, utamanya memberikan tempat ini untuk aku pakai. Bila aku menolak, dia pasti akan mengusirku dari sini," Maunah berkata setengah mengeluh.
"Tidak usah takut bila Pak SM mengusirmu dari sini. Bumi Allah masih terbentang luas untuk kamu tempati," nasehat suaminya.
Akhirnya Maunah memang menolak permintaan Pak SM, dan kursi kepala desa yang diperebutkan jatuh ke tangan Parman. Sebagaimana dugaan semula, begitu gagal dalam pemilihan kepala desa, Pak SM langsung menyuruh Maunah pergi dari bekas bangunan gudang miliknya itu. Maunah tentu saja tak bisa melawan kehendak sang pemilik tempat.
Setelah meninggalkan tempat tinggalnya yang lama, Maunah ditampung untuk tinggal bersama keluarga Pak Dulalim. Pada saat itu rumah keluarga Pak Dulalim boleh dikatakan sangat berantakan. Rencana untuk memperbaiki rumah terhenti di tengah jalan karena kehabisan biaya.
Tapi beberapa bulan setelah Maunah tinggal bersama mereka, pembangunan rumah diteruskan kembali. Bahkan ketika jadi, rumah itu jauh lebih megah dari rencana sebelumnya. Apakah biaya pembangunan rumah dibantu oleh Maunah dan suaminya, ataukah hasil kerja keras dari pak Dulalim sendiri, aku kurang tahu. Karena sebulan setelah Maunah pindah, aku pergi dan tinggal di lain kota.
Berita terakhir yang aku dengar tentang diri Maunah, dia tinggal bersama saudara jauhnya bernama Asiyah di Jatiroto. Di tempat itu pula perempuan buta yang bersuamikan Jin Muslim itu meninggal dan dimakamkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar