Memuat...
oleh:Dawam
Rumah besar di pinggir jalan raya itu, semua orang sudah tahu siapa pemiliknya. Orang-orang menyebut pemilik rumah lumayan bagus untuk ukuran desa itu mbah Dirgo. Entah itu sebutan atau nama asli sejak kecil. Yang jelas, mereka tahu bahwa mbah Dirgo adalah dukun kondang, yang pasiennya datang silih berganti, kebanyakan dari luar kota. Ada yang dari Blitar, Malang, Surabaya, Probolinggo, Trenggalek bahkan yang dari Jakarta dan luar Jawa ada juga yang datang minta bantuan mbah Dirgo.
Kemarin ada orang bertamu ke rumah mbah Dirgo. Dua orang, satu pria dan satunya lagi wanita. Mengendarai mobil merk terkenal dan keluaran tahun paling anyar. Pada salah seorang tetangga mbah Dirgo, keduanya mengaku berasal dari Semarang, Jawa Tengah.
“Benar ini kediaman mbah Dirgo?” Tanya tamu tadi kepada Lukman, tetangga dekat mbah Dirgo.
“Mbah Dirgo dukun serba bisa itu kan?” Lukman balik bertanya, ingin kepastian.
“Betul.”
“Kalau itu yang sampeyan cari, rumah mbah Dirgo memang ini,” Lukman menandaskan. Lelaki dua orang anak yang sehari-harinya pedagang buah di pasar Kalitalun itu lantas mempersilahkan tamunya masuk, karena Lukman telah membantu mengetukkan pintu rumah mbah Dirgo.
“Terima kasih, pak,” ujar si tamu sambil memarkirkan mobilnya di halaman Barat rumah bercat serba kemerahan itu.
Seperti biasanya, mbah Dirgo tak terlalu lama melayani tamu dari Semarang tersebut. Ada banyak orang yang antri untuk ditangani oleh mbah Dirgo. Otomatis masing-masing tamu tak terpuji bila terlalu lama berada dalam kamar praktik mbah Dirgo yang konon sangat menyeramkan.
Menurut desas-desus yang merebak beberapa hari sesudahnya, tamu dari ibukota Jawa Tengah tempo hari itu minta jasa baik mbah Dirgo untuk melenyapkan saingan bisnisnya. Tangan mbah Dirgo yang terlalu gampang untuk membunuh dengan bantuan gaib ilmunya tersebut memang tempat sangat idel untuk keperluan itu. Buktinya, lawan bisnis Karsono, orang Semarang tadi, meninggal dunia dengan cara mengenaskan. Dulaman, musuh usaha Karsono, tertimpa batu sebesar kerbau manakala Dulaman sedang mengawasi kerja anak buahnya di sebuah pabrik pemecahan batu tak jauh dari rumahnya.
Sudah puluhan tahun mbah Dirgo memang terkenal sebagai dukun tenung. Profesi yang digelutinya secara turun temurun, paling tidak, almarhum mbah Dakip, orang tuanya dulu juga kondang sebagai dukun tenung.
Nasib baik masih selalu berada di belakang keluarganya, sebab setiap ada pihak yang mau menghabisi mbah Dirgo, dengan berbagai cara, tak ada yang pernah berhasil. Termasuk saat ramai-ramainya penculikan dukun tenung beberapa tahun silam, mbah Dirgo bisa selamat. Ilmu yang dimilikinya memang cukup ampuh dalam membentengi dirinya dari serangan orang yang tidak menyukai sepak terjangnya. Tak aneh bila lelaki berambut gondrong mirip mbah Surip itu semakin merasa tak tertandingi. Enath sudah berapa orang yang mati secara gaib lewat tangannya, hanya dirinya dan Allah saja yang mengetahui jumlah pastinya.
Sebagai seorang dukun senior, materi yang dikumpulkan dari uang kasih para pasiennya lumayan banyak. Rumahnya bagus, sawah, ladang ada di berbagai tempat. Di dalam daerah tempat tinggalnya mau pun di luar daerah. Jumlahnya bisa puluhan hektar plus tabungan di bank yang cukup menggiurkan jika ditunjukkan kepada orang lain.
Pekerjaan mbah Dirgo yang lain adalah tukang servis dan pendongkrak daya tarik bagi wanita-wanita nakal. Bila seorang wanita yang terjun di dunia kelam telah kurang diminati tamu langganan dan dia datang ke tempat praktek mbah Dirgo, dijamin beberapa hari kemudian wanita tadi pasti kebanjiran order. Tubuh wanita itu yang sebelumnya kusam dan tak mendatangkan selera, bisa kelihatan bahenol, sintal, cantik dan sangat mengundang birahi. Langganannya kembali datang, uang mengalir lagi. Aliran duit tersebut sebagian tentu mengarah ke rumah mbah Dirgo sebagai balas budi. Balas budi yang klimaksnya membikin kekayaan lelaki dengan dua orang isteri dan tiga orang anak tadi makin menggunung.
Untuk membuat makin tajam dan cespleng ilmunya, mbah Dirgo harus mengadakan ritual dan persembahan kepada gaib pembantunya. Diantara ritual tadi adalah meminum darah binatang, utamanya ayam berbulu hitam, berkulit legam. Orang sering menyebutnya dengan ayam cemani. Darah ayam model inilah yang pada saat-saat tertentu harus diminum olehnya. Semakin tak lalai melakukan ritual semakin ampuh dan berjaya ilmunya. Ini diyakini betul oleh mbah Dirgo selama ini.
Manusia, bagaimana juga, ada kalanya di atas, ada saatnya di bawah. Keinginan dan harapan bisa melaju terus tanpa batas, namun umur tidak akan bisa dibendung. Dari muda menjadi tua, tidak bisa dihindari. Demikian juga yang dialami mbah Dirgo. Tanpa disadari, dia sudah makin tak lincah gerak tangan, hentakan kaki dan desah nafasnya pun sudah tak berirama sempurna lagi.
“Bila aku berjalan agak jauh, rasanya seperti mau berhenti nafas ini,” keluh mbah Dirgo suatu ketika pada seorang isterinya.
“Wajar. Usia bapak kan sudah lebih tujuh puluh tahun,” sahut si isteri yang bernama Wakini itu.
“Aku berencana untuk tidak memforsir diri lagi dalam bekerja,” ujarnya dengan wajah kusut masai.
“Lalu, ilmu bapak mau dikemanakan?” Tanya Wakini sambil duduk berjajar dengan suaminya, di bawah rindangnya pohon trembesi tak jauh dari rumahnya.
“Aku telah berusaha untuk sedikit demi sedikit membuang pengaruh ilmu itu dengan mantera-mantera yang telah kuhafal.”
“Hasilnya bagaimana, pak?”
“Karena aku mempunyai banyak ilmu, perlu waktu lama untuk membuangnya satu persatu.”
“Tidak ada yang diwariskan pak?”
“Anak-anak kita tak ada yang berminat,” kata mbah Dirgo setengah mengeluh.
“Kepada orang lain, bagaimana pak?”
“Hingga saat ini belum pernah kulihat orang datang kemari untuk keperluan itu.”
“Lalu?”
“Ya. Sudah resiko kita, Wakini.” Mbah Dirgo memandang ke alam lepas. Alam yang di atas sana bergulung-gulung awan kelabu, bahkan berubah menghitam, pertanda hujan akan segera mengguyur mayapada.
Beberapa hari kemudian, mbah Dirgo jatuh sakit. Awalnya hanya pusing-pusing biasa. Realitanya rasa pusing ini semakin parah dan berganti dengan munculnya bintik-bintik merah hampir di sekujur tubuhnya. Berbagai macam cara ditempuh untuk menghalau penyakit aneh ini. Obat modern, jamu-jamu herbal dan banyak usaha lain yang ditempuh, belum juga mampu mendatangkan hasil memuaskan. Bahkan keadaan dirinya makin parah dengan tekanan darahnya yang terus melonjak tinggi.
Orang-orang yang sebelumnya berusaha membantu dengan caranya masing-masing, mulai menjauh. Mereka sudah angkat tangan. Tanpa ingin mendahului kehendak Yang Maha Kuasa, dalam hati kecil mereka sudah tertanam keyakinan bahwa mbah Dirgo tinggal menghitung hari saja sebagai penghuni bumi ini.
“Kasihan dia,” bisik seseorang yang sempat berkunjung ke rumah mbah Dirgo.
“Sejak beberapa bulan sebelumnya, kabarnya mbah Dirgo lupa mengadakan ritual minum darah ayam. Benar demikian, kang?”
“Aku kurang tahu masalah itu, Dik. Itu urusan mbah Dirgo dan keluarganya. Kita sebaiknya hanya ikut berdoa, kalau pun tidak sembuh, mudah-mudahan ada jalan lapang saja bagi perjalanan hidup mbah Dirgo selanjutnya.”
“Ya, kang. Tak baik terlalu jauh menggunjingkan kekurangan orang lain.”
“Ya.”
Saat dua orang ini hendak beranjak pulang, karena sudah lama keduanya di dalam ruangan tempat mbah Dirgo berbaring, terdengar ada rintihan keluar dari mulut dukun itu.
“Uhhhh!” Hanya itu. Kemudian, “Potongkan aku ayam dan ambil darahnya,” ujar mbah Dirgo memelas.
Seorang anaknya yang sedang menunggu di situ segera menuruti kehendak bapaknya. Seekor ayam cemani yang mungkin sudah lama dipersiapkan langsung disembelih dan darah segarnya diberikan kepada bapaknya. Mbah Dirgo segera meneguk darah yang diwadahi cangkir kecil berwarna merah muda.
Baru saja beberapa tetes darah masuk rongga mulut, mbah Dirgo menyemprotkan kembali darah itu keluar. Darah memuncrat, berhamburan ke segala arah, hingga membasahi baju dan wajah beberapa orang yang sedang membesuknya.
Sebelum orang-orang tahu apa yang musti dilakukannya, mbah Dirgo berteriak lantang dan heweeerrrrrr. Crot. Darah kental keluar dari rongga tenggorokannya. Tubuh dukun itu berputar-putar seperti ayam baru dipotong. Sebentar membujur ke arah Utara, sebentar berbalik ke Selatan. Saking menderitanya, tubuh itu seakan terlonjak-lonjak ke atas, setengah berputar dan breg, terjerembab ke dipan kayu berukir di bawahnya.
Darah kental terus termuntahkan seakan tanpa henti. Semprotan darah ada di mana-mana. Di ranjang, selimut, sekujur tubuh mbah Dirgo dan lantai di bawahnya. Ada berliter-liter darah, mungkin, sudah terkuras dari tubuh mbah Dirgo. Tak perlu hitungan tiga detik selanjutnya, tubuh itu telah memutih kehabisan darah. Mereka yang duduk di kanan kiri ranjang hanya melonggo keheranan. Mbah Dirgo telah tiada. Dia meninggal dalam kondisi yang tersiksa dan sangat mengenaskan.
Itulah sebuah kisah nyata yang terjadi di Boyolangu, Tulungagung, Jawa Timur. Kisah seorang pemilik ilmu sesat untuk menumpuk harta. Kisah ini bersumber dari seorang sahabat penulis yang menyaksikan langsung peristiwa mengenaskan ini. Semoga apa yang terjadi pada mbah Dirgo bisa menjadi peringatan bagi kita. Amin.
Rumah besar di pinggir jalan raya itu, semua orang sudah tahu siapa pemiliknya. Orang-orang menyebut pemilik rumah lumayan bagus untuk ukuran desa itu mbah Dirgo. Entah itu sebutan atau nama asli sejak kecil. Yang jelas, mereka tahu bahwa mbah Dirgo adalah dukun kondang, yang pasiennya datang silih berganti, kebanyakan dari luar kota. Ada yang dari Blitar, Malang, Surabaya, Probolinggo, Trenggalek bahkan yang dari Jakarta dan luar Jawa ada juga yang datang minta bantuan mbah Dirgo.
Kemarin ada orang bertamu ke rumah mbah Dirgo. Dua orang, satu pria dan satunya lagi wanita. Mengendarai mobil merk terkenal dan keluaran tahun paling anyar. Pada salah seorang tetangga mbah Dirgo, keduanya mengaku berasal dari Semarang, Jawa Tengah.
“Benar ini kediaman mbah Dirgo?” Tanya tamu tadi kepada Lukman, tetangga dekat mbah Dirgo.
“Mbah Dirgo dukun serba bisa itu kan?” Lukman balik bertanya, ingin kepastian.
“Betul.”
“Kalau itu yang sampeyan cari, rumah mbah Dirgo memang ini,” Lukman menandaskan. Lelaki dua orang anak yang sehari-harinya pedagang buah di pasar Kalitalun itu lantas mempersilahkan tamunya masuk, karena Lukman telah membantu mengetukkan pintu rumah mbah Dirgo.
“Terima kasih, pak,” ujar si tamu sambil memarkirkan mobilnya di halaman Barat rumah bercat serba kemerahan itu.
Seperti biasanya, mbah Dirgo tak terlalu lama melayani tamu dari Semarang tersebut. Ada banyak orang yang antri untuk ditangani oleh mbah Dirgo. Otomatis masing-masing tamu tak terpuji bila terlalu lama berada dalam kamar praktik mbah Dirgo yang konon sangat menyeramkan.
Menurut desas-desus yang merebak beberapa hari sesudahnya, tamu dari ibukota Jawa Tengah tempo hari itu minta jasa baik mbah Dirgo untuk melenyapkan saingan bisnisnya. Tangan mbah Dirgo yang terlalu gampang untuk membunuh dengan bantuan gaib ilmunya tersebut memang tempat sangat idel untuk keperluan itu. Buktinya, lawan bisnis Karsono, orang Semarang tadi, meninggal dunia dengan cara mengenaskan. Dulaman, musuh usaha Karsono, tertimpa batu sebesar kerbau manakala Dulaman sedang mengawasi kerja anak buahnya di sebuah pabrik pemecahan batu tak jauh dari rumahnya.
Sudah puluhan tahun mbah Dirgo memang terkenal sebagai dukun tenung. Profesi yang digelutinya secara turun temurun, paling tidak, almarhum mbah Dakip, orang tuanya dulu juga kondang sebagai dukun tenung.
Nasib baik masih selalu berada di belakang keluarganya, sebab setiap ada pihak yang mau menghabisi mbah Dirgo, dengan berbagai cara, tak ada yang pernah berhasil. Termasuk saat ramai-ramainya penculikan dukun tenung beberapa tahun silam, mbah Dirgo bisa selamat. Ilmu yang dimilikinya memang cukup ampuh dalam membentengi dirinya dari serangan orang yang tidak menyukai sepak terjangnya. Tak aneh bila lelaki berambut gondrong mirip mbah Surip itu semakin merasa tak tertandingi. Enath sudah berapa orang yang mati secara gaib lewat tangannya, hanya dirinya dan Allah saja yang mengetahui jumlah pastinya.
Sebagai seorang dukun senior, materi yang dikumpulkan dari uang kasih para pasiennya lumayan banyak. Rumahnya bagus, sawah, ladang ada di berbagai tempat. Di dalam daerah tempat tinggalnya mau pun di luar daerah. Jumlahnya bisa puluhan hektar plus tabungan di bank yang cukup menggiurkan jika ditunjukkan kepada orang lain.
Pekerjaan mbah Dirgo yang lain adalah tukang servis dan pendongkrak daya tarik bagi wanita-wanita nakal. Bila seorang wanita yang terjun di dunia kelam telah kurang diminati tamu langganan dan dia datang ke tempat praktek mbah Dirgo, dijamin beberapa hari kemudian wanita tadi pasti kebanjiran order. Tubuh wanita itu yang sebelumnya kusam dan tak mendatangkan selera, bisa kelihatan bahenol, sintal, cantik dan sangat mengundang birahi. Langganannya kembali datang, uang mengalir lagi. Aliran duit tersebut sebagian tentu mengarah ke rumah mbah Dirgo sebagai balas budi. Balas budi yang klimaksnya membikin kekayaan lelaki dengan dua orang isteri dan tiga orang anak tadi makin menggunung.
Untuk membuat makin tajam dan cespleng ilmunya, mbah Dirgo harus mengadakan ritual dan persembahan kepada gaib pembantunya. Diantara ritual tadi adalah meminum darah binatang, utamanya ayam berbulu hitam, berkulit legam. Orang sering menyebutnya dengan ayam cemani. Darah ayam model inilah yang pada saat-saat tertentu harus diminum olehnya. Semakin tak lalai melakukan ritual semakin ampuh dan berjaya ilmunya. Ini diyakini betul oleh mbah Dirgo selama ini.
Manusia, bagaimana juga, ada kalanya di atas, ada saatnya di bawah. Keinginan dan harapan bisa melaju terus tanpa batas, namun umur tidak akan bisa dibendung. Dari muda menjadi tua, tidak bisa dihindari. Demikian juga yang dialami mbah Dirgo. Tanpa disadari, dia sudah makin tak lincah gerak tangan, hentakan kaki dan desah nafasnya pun sudah tak berirama sempurna lagi.
“Bila aku berjalan agak jauh, rasanya seperti mau berhenti nafas ini,” keluh mbah Dirgo suatu ketika pada seorang isterinya.
“Wajar. Usia bapak kan sudah lebih tujuh puluh tahun,” sahut si isteri yang bernama Wakini itu.
“Aku berencana untuk tidak memforsir diri lagi dalam bekerja,” ujarnya dengan wajah kusut masai.
“Lalu, ilmu bapak mau dikemanakan?” Tanya Wakini sambil duduk berjajar dengan suaminya, di bawah rindangnya pohon trembesi tak jauh dari rumahnya.
“Aku telah berusaha untuk sedikit demi sedikit membuang pengaruh ilmu itu dengan mantera-mantera yang telah kuhafal.”
“Hasilnya bagaimana, pak?”
“Karena aku mempunyai banyak ilmu, perlu waktu lama untuk membuangnya satu persatu.”
“Tidak ada yang diwariskan pak?”
“Anak-anak kita tak ada yang berminat,” kata mbah Dirgo setengah mengeluh.
“Kepada orang lain, bagaimana pak?”
“Hingga saat ini belum pernah kulihat orang datang kemari untuk keperluan itu.”
“Lalu?”
“Ya. Sudah resiko kita, Wakini.” Mbah Dirgo memandang ke alam lepas. Alam yang di atas sana bergulung-gulung awan kelabu, bahkan berubah menghitam, pertanda hujan akan segera mengguyur mayapada.
Beberapa hari kemudian, mbah Dirgo jatuh sakit. Awalnya hanya pusing-pusing biasa. Realitanya rasa pusing ini semakin parah dan berganti dengan munculnya bintik-bintik merah hampir di sekujur tubuhnya. Berbagai macam cara ditempuh untuk menghalau penyakit aneh ini. Obat modern, jamu-jamu herbal dan banyak usaha lain yang ditempuh, belum juga mampu mendatangkan hasil memuaskan. Bahkan keadaan dirinya makin parah dengan tekanan darahnya yang terus melonjak tinggi.
Orang-orang yang sebelumnya berusaha membantu dengan caranya masing-masing, mulai menjauh. Mereka sudah angkat tangan. Tanpa ingin mendahului kehendak Yang Maha Kuasa, dalam hati kecil mereka sudah tertanam keyakinan bahwa mbah Dirgo tinggal menghitung hari saja sebagai penghuni bumi ini.
“Kasihan dia,” bisik seseorang yang sempat berkunjung ke rumah mbah Dirgo.
“Sejak beberapa bulan sebelumnya, kabarnya mbah Dirgo lupa mengadakan ritual minum darah ayam. Benar demikian, kang?”
“Aku kurang tahu masalah itu, Dik. Itu urusan mbah Dirgo dan keluarganya. Kita sebaiknya hanya ikut berdoa, kalau pun tidak sembuh, mudah-mudahan ada jalan lapang saja bagi perjalanan hidup mbah Dirgo selanjutnya.”
“Ya, kang. Tak baik terlalu jauh menggunjingkan kekurangan orang lain.”
“Ya.”
Saat dua orang ini hendak beranjak pulang, karena sudah lama keduanya di dalam ruangan tempat mbah Dirgo berbaring, terdengar ada rintihan keluar dari mulut dukun itu.
“Uhhhh!” Hanya itu. Kemudian, “Potongkan aku ayam dan ambil darahnya,” ujar mbah Dirgo memelas.
Seorang anaknya yang sedang menunggu di situ segera menuruti kehendak bapaknya. Seekor ayam cemani yang mungkin sudah lama dipersiapkan langsung disembelih dan darah segarnya diberikan kepada bapaknya. Mbah Dirgo segera meneguk darah yang diwadahi cangkir kecil berwarna merah muda.
Baru saja beberapa tetes darah masuk rongga mulut, mbah Dirgo menyemprotkan kembali darah itu keluar. Darah memuncrat, berhamburan ke segala arah, hingga membasahi baju dan wajah beberapa orang yang sedang membesuknya.
Sebelum orang-orang tahu apa yang musti dilakukannya, mbah Dirgo berteriak lantang dan heweeerrrrrr. Crot. Darah kental keluar dari rongga tenggorokannya. Tubuh dukun itu berputar-putar seperti ayam baru dipotong. Sebentar membujur ke arah Utara, sebentar berbalik ke Selatan. Saking menderitanya, tubuh itu seakan terlonjak-lonjak ke atas, setengah berputar dan breg, terjerembab ke dipan kayu berukir di bawahnya.
Darah kental terus termuntahkan seakan tanpa henti. Semprotan darah ada di mana-mana. Di ranjang, selimut, sekujur tubuh mbah Dirgo dan lantai di bawahnya. Ada berliter-liter darah, mungkin, sudah terkuras dari tubuh mbah Dirgo. Tak perlu hitungan tiga detik selanjutnya, tubuh itu telah memutih kehabisan darah. Mereka yang duduk di kanan kiri ranjang hanya melonggo keheranan. Mbah Dirgo telah tiada. Dia meninggal dalam kondisi yang tersiksa dan sangat mengenaskan.
Itulah sebuah kisah nyata yang terjadi di Boyolangu, Tulungagung, Jawa Timur. Kisah seorang pemilik ilmu sesat untuk menumpuk harta. Kisah ini bersumber dari seorang sahabat penulis yang menyaksikan langsung peristiwa mengenaskan ini. Semoga apa yang terjadi pada mbah Dirgo bisa menjadi peringatan bagi kita. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar