Memuat...
Tanah kuburan Panguragan yang terletak di Desa Panguragan, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, memang sudah lama tersohor di seantoro Jawa Barat (Jabar) dapat menjadi media ilmu gaib. Banyak kalangan dukun aliran sesat menggunakan tanah kuburan Panguragan sebagai media guna-guna untuk menghancurkan usaha seseorang. Benarkah…?
Guna-guna tanah kuburan Panguragan terkenal ganas serta sangat jarang ada pengusaha yang sanggup bertahan. Setiap pengusaha yang tempat usahanya ditanami tanah kuburan Panguragan dalam waktu singkat dijamin bangkrut. Bukan hanya bangkrut, bahkan pengusaha bersangkutan dililit hutang dalam jumlah besar hingga menjual bangunan tempat usahanya.
Sejumlah pakar kebathinan di Kota Cirebon yang sempat dimintai komentarnya seputar keganasan guna-guna tanah kuburan Panguragan, rata-rata mereka mengaku sudah mendengar kabar tersebut sejak lama, bahkan mulai kakek-buyutnya. Dengan demikian, tanah kuburan Panguragan termasuk guna-guna cukup tua di Tatar Jawa Barat. Karena ganasnya guna-guna tanah kuburan Panguragan, tidak aneh jika jadi momok menakutkan bagi kalangan pengusaha, terutama pedagang.
Ki Anomjati Sanggabumi, seorang supranaturalis muda cukup tersohor di Kota Cirebon, sewaktu dihubungi Penulis di Villa Kecapi Mas, Kelurahan Harjamukti, Kota Cirebon membenarkan kabar seputar penyalahgunaan tanah kuburan Panguragan untuk media guna-guna penghancur usaha.
“Penyalahgunaan tanah kuburan Panguragan jelas menyalahi syariat Islam, sehingga dukun dan pihak yang menyuruhnya sangat berdosa secara habluminallah maupun hablumminanas dan sebaiknya hindari cara-cara sesat semacam itu,” kata Ki Anomjati Sanggabumi.
Ken Nagasi, seorang budayawan sekaligus pemerhati dunia gaib cukup terkenal di Kabupaten Cirebon mengaku prihatin atas praktik kotor semacam itu. Sewaktu dihubungi di Sanggar Budaya “Nyi Mas Gandasari” yang berlokasi di sekitar Stadion Bima, pria tampan warga Desa/Kecamatan Sindanglaut, Kabupaten Cirebon ini kerap mengurut dada tiap kali dia mendengar keluhan para mantan pengusaha kenalannya yang bangkrut akibat praktik dukun sesat menggunakan media tanah kuburan Panguragan.
“Astaghfirullah, kenapa mesti menyengsarakan orang lain demi kepuasan diri sendiri? Kenapa tidak bersaing secara sehat melalui pemantapan manajemen?” Seal Ken Nagasi.
Ibarat pepatah, tak ada penyakit yang tak ada obatnya. Jika diibaratkan penyakit, guna-guna tanah kuburan Panguragan ternyata punya tandingan. Jika belum gulung tikar, kondisi tempat usaha atau perusahaan yang ditanami tanah kuburan Panguragan dapat dinetralisir dengan ditaburi pada keempat sudut bangunan itu menggunakan pasir kali Bayalangu.
H. Sator, seorang pakar supranaturalis terkenal di Desa Bayalangu, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, mengaku sudah sering menolong pengusaha yang terkena guna-guna tanah kuburan Panguragan. Melalui media pasir kali Bayalangu yang sudah dirituali, secara alamiah dapat menetralisir pengaruh negatif tanah kuburan Panguragan. Kecuali ada penanaman ulang dari pihak yang melakukannya, maka mesti dilakukan penaburan ulang pasir kali Bayalangu.
“Tanah kuburan itu pun tidak bisa asal ambil oleh sembarang orang, melainkan hanya bisa diaktifkan aura negatifnya oleh orang yang ahli di bidang itu. Begitu pula pasir kali Bayalangu, dan secara kebetulan saya mewarisi ritual pasir kali Bayalangu dari ayah saya,” terang H. Sator.
Konon, dampak yang ditimbulkan bagi korban guna-guna tanah kuburan Panguragan bukan hanya mengalami kebangkrutan usaha, namun sepanjang malam mendapatkan teror gaib sangat mengerikan. Salah satunya seperti dialami Udi bin Ujang, warga Kelurahan Karangmalang, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, Jabar. Dia bukan saja kehilangan kios kue kering miliknya di “Pasar Baru” Tanjungpura karena dijual dan menanggung hutang sekitar 20 jutaan namun, namun dia kini mesti mengais rezeki di Arab Saudi sebagai driver.
Berikut ini adalah kisah nyata yang dituturkan oleh Udin bin Ujang kepada Penulis.…
Sejak Jumat Kliwon hingga Sabtu Legi (18 – 19 Januari 2008), Ujang duduk termenung di teras gedung pertemuan kompleks “Kinasih” di Jalan Tapos, Kecamatan Cimanggis, Kabupaten Depok. Saat itu dia bersama tiga rekannya masing-masing Toto, Sutejo dan Hendi mengantar Drs. Khairuddin yang tengah mengikuti Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dengan Presdir PT. Guswara Intertaint, Agus Winarko,MSc.
Pria yang usianya beranjak senja dan berbadan subur itu memisahkan diri dari hiruk-pikuk ratusan orang pengantar para peserta Rakernas. Wajah yang sudah dipenuhi kerutan itu tampak kuyu seakan menyimpan duka nestapa teramat berat.
Ujang duduk di atas tikar di bawah rindangnya pohon beringin hingga memasuki dinihari. Pemandangan semacam itu, tentu saja sangat kontras dan sangat tak lazim. Kepada Misteri, dia seperti berupaya memuntahkan kegalauan hatinya seputar perjalanan usaha putra sulungnya yang kini bangkrut dan gulung tikar.
Padahal, sejak “Pasar Lama” yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Lemah Abang, Kecamatan/Kabupaten Indramayu itu terbakar pada Selasa (11 Juli 1995) pukul 09.00 WIB dan para pedagang direlokasi ke pasar baru yang terletak di Jalan Tanjungpura, Kelurahan Karanganyar, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, secara bertahap kios kue kering milik Udi, anaknya, mengalami kemajuan. Setidaknya hingga 2005 silam, kios kue itu sangat populer dan setiap harinya selalu dijejali pembeli.
Menyaksikan kemajuan usaha Udi, sejumlah kios yang semula menjual dagangan lain diganti menjadi kios kue kering. Akibatnya, persaingan pun semakin ketat sehingga calon pembeli kue kering tersebar ke berbagai kios yang ada di Pasar Baru. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu, jumlah pembeli ke kios Udi terus berkurang. Tetapi, bagi Udi hal itu dianggap sesuatu yang lumrah sesuai dengan hukum pasar.
Sekitar awal 2006, naluri Udi menangkap ada hal yang tidak wajar, terutama setelah mendapatkan kiosnya benar-benar sepi. Bayangkan, omzet dalam sehari hanya cukup buat menutupi kebutuhan dapur keluarga.
Tragisnya, puluhan orang pelanggan kabur sambil membawa utang dalam jumlah besar. Hal ini membuat Udi kalang kabut mencari dana pinjaman buat menambal modal yang berkurang akibat ulah para pelanggan yang nakal itu.
“Bukan itu saja, pada bulan ke tiga 2006, Udi anak saya dan keluarganya merasakan suatu gangguan gaib yang menciptakan rasa takut,” kisah Ujang dengan pandangan menerawang jauh.
Masih dalam bulan yang sama, sejumlah pedagang skoteng, bakso dan lainnya yang biasa mangkal malam hari di sekitar Pasar Baru Tanjungpura sempat menggunjingkan peristiwa gaib di sekitar kios kue milik Udi. Mereka kerap menyaksikan sosok pocong alias mayat hidup berkeliaran di teras kios kue milik Udi.
Gunjingan itupun akhirnya masuk ke telinga Udi. Untuk membuktikannya, pada dinihari sekitar pukul satuan, seorang diri Udi menyelinap ke lorong (los) Pasar Baru Tanjungpura yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Karena sudah dinihari, suasana pasar sangat sepi. Kalau pun ada aktivitas hanya di sisi jalan alternatif penghubung Polsekta dengan Markas Polres Indramayu, dimana terdapat warung nasi yang buka 24 jam.
Malam itu, berselang dua kios dalam posisi berseberangan, Udi mengambil tempat pengintaian yang dirasa aman. Untuk bersembunyi, dia duduk di balik tumpukan bekas kotak gula yang sudah kosong.
Berkat losion anti nyamuk, dia terbebas dari serangan serangan haus darah itu. Lewat bantuan cahaya dari sudut kios, diliriknya jarum jam tangan, saat itu sudah menunjuk pukul 1.15 menit. Sepasang matanya menatap lurus ke arah kiosnya yang sengaja tidak diberi penerangan sehingga suasana temaram sisa lampu dari kios lain di sebelahnya.
Dia meragukan gunjingan para pedagang ketika merasakan pantatnya mulai penat akibat terlalu lama duduk di atas lembaran kardus bekas. Ketika terlintas niat untuk pulang, detak jantung Udi mendadak terpacu. Pandangannya lebih dipertajam. Ternyata benar, samar-samar dia menyaksikan sosok mayat terbungkus kafan muncul dari balik tumpukan kardus bekas snack yang disimpan di teras kios.
Pocong itu bergerak lembut dan makin lama makin jelas setelah terkena sisa cahaya lampu dari kios sebelah. Rasa takut pun mulai merasuk ketika pocong itu terlihat gelisah. Kepala pocong menoleh ke berbagai arah diikuti gerakan tubuhnya. Udi yakin, keberadaannya sudah diketahui mahluk alam gaib itu, sehingga sepasang sandal jepit pelan-pelan dia lepas.
Nalurinya memang tepat. Pocong itu melompat-lompat tertuju ke tumpukan bekas kotak gula di mana Udi bersembunyi. Ketika jaraknya tinggal beberapa meter lagi, sekuat tenaga Udi melompat dari balik tumpukan bekas kotak gula lantas lari menjauhi arah datangnya pocong.
Udi lari secepat yang dia mampu menuju ke arah warung nasi. Tanpa perduli terhadap tiga tukang becak yang duduk santai di bangku kayu, Udi menerobos memasuki warung dan disambut pekikan kaget pelayan yang tengah terkantuk-kantuk.
Keesokan paginya, peristiwa itu dia ceritakan kepada istrinya lalu kepada ayahnya. Ujang yang awam soal mahluk gaib, hanya memberi saran supaya anaknya lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memperbanyak wirid.
Dari kios kue, teror itupun berpindah ke rumah Udi. Nyaris tiap malam, isteri dan dua anaknya diteror suara-suara aneh dari serambi rumah bahkan terkadang disertai bau busuk menerobos melalui celah daun jendela.
Atas desakan isteri dan anak-anaknya, Udi minta izin kepada ayahnya untuk numpang tidur sambil mencari jalan keluar. Ujang tidak bisa menolak permintaan putranya, sehingga merelakan kamar depan yang bersisian dengan ruang tamu ditempati Udi bersama keluarganya. Sedangkan siang harinya, Udi membawa keluarganya kembali ke rumahnya yang hanya beda gang dengan rumah orangtuanya itu.
Malam Selasa Kliwon bulan ke enam 2006, Ujang gelisah di tempat tidurnya. Udara awal musim kemarau membuat gerah tak tertahankan. Untuk mendapatkan udara segar, Ujang membuka daun pintu depan lalu duduk santai di kursi ruang tamu. Saat jarum jam menunjuk pada angka 2 dinihari, muncul Udi dari ruang kholwat (tempat solat) yang bersatu dengan kamar dapur.
Udi saat itu masih mengenakan sarung, peci dan baju koko serta tangan kanan masih memutar tasbih. Keringat membasahi kening. Rupanya Udi pun tak tahan kegerahan di ruang kholwat, sehingga memilih melanjutkan wiridnya di ruang tamu.
Angin malam lumayan sejuk menerobos memasuki celah daun pintu yang terbuka seperempat bagian. Di atas kursi busa yang mulai usang, Ujang menyandarkan punggung dan meletakkan tengkuknya.
Aroma kantuk mulai merasuk. Sambil terkantuk-kantuk, Ujang mengamati bagian ujung pintu pagar besi halaman rumah lewat celah daun pintu. Sedangkan di sampingnya, Udi masih melanjutkan bacaan wiridnya.
Dirasa tubuhnya mulai segar serta aroma kantuk mulai tak tertahankan, Ujang bermaksud menutup daun pintu dan akan membanting punggung di atas kasur melanjutkan tidur. Belum sempat mengangkat pantat, lewat celah daun pintu dia melihat ujung pintu pagar besi bergerak diiringi deritan lembut. Entah datang dari mana, ruang tamu dalam sekejap sudah dipenuhi bau busuk sangat ganjil.
Bau busuk semakin menyengat. Belum sempat menduga-duga siapa orang yang akan bertamu, daun pintu ditabrak dari luar hingga membentur tembok menimbulkan suara gaduh. Suara benturan daun pintu dengan tembok kontan mengejutkan Ujang dan Udi. Yang lebih mengejutkan, di ambang pintu sudah berdiri sesosok mayat hidup alias pocong.
Lewat cahaya lampu neon ruang tamu yang terang benderang, Ujang menyaksikan kafan yang masih lengkap dengan ikatannya itu sangat kusam penuh lumpur hitam. Kulit wajah mahluk itu tidak utuh lagi. Sangat rusak, penuh borok-borok serta belatung bergerak lembut pada sepasang rongga matanya. Dari lubang mulut dan hidungnya meluncur lenguhan seperti sedang menahan marah.
Mahluk itu bukan menatap Ujang melainkan menghadap lurus ke arah Udi. Diiringi lenguhan keras, mahluk itu menerjang ke arah Udi. Ujang tak mampu berbuat banyak selain berjuang mempertahankan kesadarannya supaya tidak pingsan.
Diserang mahluk seseram itu, secara refleks, sekuat tenaga Udi menjejakkan sepasang kakinya ke atas lantai. Akibatnya, kursi yang dia duduki terbalik dan tubuh Udi terjengkang ke belakang lantas jatuh terduduk. Udi hanya mampu membuka mulut, tapi lafadz ayat Qursy sama sekali tidak pernah mau keluar. Yang meluncur dari kerongkongannya hanya suara menyerupai orang gagu.
Air hangat sangat deras mengucur dari balik kain sarung. Akibatnya dia berkubang pada genangan air kencingnya sendiri. Sama halnya ayahnya, Udi pun hanya berjuang agar jangan sampai pingsan. Dia yakin, mahluk itu bukan semata menakut-nakuti melainkan mengancam jiwanya.
Saat jaraknya tersisa beberapa senti lagi, Udi ingat kalau tasbih di genggamannya itu pemberian dari seorang ustadz. Dia berharap benda itu bukan semata alat penghitung wirid. Tanpa berharap banyak, tangan kanan yang semula menyanggah tubuhnya yang jatuh terduduk dia angkat tinggi-tinggi menyongsong terjangan pocong sambil merapatkan kelopak mata.
Dia sudah benar-benar pasrah. Benaknya berkata, mungkin hanya dalam hitungan detik, lehernya akan digigit mahluk itu sehingga urat nadinya putus lalu mati. Tapi hingga belasan detik berlalu, tak ada sesuatu yang menyentuh lehernya. Ditunggu beberapa menit berikutnya tak ada serangan mematikan dari mahluk berwujud pocong itu. Udi menjerit ketika lengannya dibetot sangat keras. Ketika membuka mata, ayahnya tengah berjuang mengangkat tubuhnya.
“Pocong tadi terpental saat menyentuh tasbih di genggamanmu! Ayo. bangun!” Kata Ujang, setengah membentak.
Udi langsung bangkit dan melompat menuju ambang pintu. Tergopoh-gopoh daun pintu dibanting hingga tertutup rapat sekaligus menguncinya. Anak beranak itupun hanya mampu berpandangan. Udi baru sadar kalau sarungnya basah kuyup setelah diberitahu ayahnya, maka buru-buru dia ke kamar mandi.
Keesokan harinya, dengan diantar ayahnya, Udi menyambangi seorang ulama di Lohbener. Ujang menyerahkan sisa tanah bekas pocong yang tercecer di atas lantai ruang tamu. H. Abbas, sang ulama, menggenggam sisa tanah hitam itu sambil memejamkan mata dan bibir komat-kamit. Mendadak keningnya berkerut tajam lalu membuka kelopak matanya.
“Astaghfirullah, mahluk itu khodam guna-guna tanah kuburan Panguragan. Untung kalian tidak sampai pingsan… jika sampai pingsan, naudzubillah, hanya Allah yang tahu terhadap batas umur mahlukNya,” terang H. Abbas.
Sesaat berikutnya, H. Abbas minta izin masuk ke kamar kholwat. Belasan menit kemudian muncul lagi dengan wajah penuh keringat. Dengan suara serak, H. Abbas menyarankan agar kios kue itu secepatnya dijual. Menurut mata bathinnya, kios itu sudah ditanami tanah kuburan Panguragan sejak enam bulan lalu. Tapi, ulama khos itu tidak bersedia menyebutkan identitas orang yang telah mengguna-gunai kios Udi.
Atas saran H. Abbas, sebulan kemudian kios itu dijual murah kepada pemilik kios di sebelahnya. Uang hasil menjual kios itu digunakan oleh Udi untuk mengurangi utangnya. Dalam keadaan tak punya modal sesenpun, Udi terpaksa ikut kerja jadi kuli bangunan hanya sekadar untuk menutupi kebutuhan dapur, dan sejak awal 2007, Udi terbang ke Arab Saudi menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bagian driver.
Guna-guna tanah kuburan Panguragan terkenal ganas serta sangat jarang ada pengusaha yang sanggup bertahan. Setiap pengusaha yang tempat usahanya ditanami tanah kuburan Panguragan dalam waktu singkat dijamin bangkrut. Bukan hanya bangkrut, bahkan pengusaha bersangkutan dililit hutang dalam jumlah besar hingga menjual bangunan tempat usahanya.
Sejumlah pakar kebathinan di Kota Cirebon yang sempat dimintai komentarnya seputar keganasan guna-guna tanah kuburan Panguragan, rata-rata mereka mengaku sudah mendengar kabar tersebut sejak lama, bahkan mulai kakek-buyutnya. Dengan demikian, tanah kuburan Panguragan termasuk guna-guna cukup tua di Tatar Jawa Barat. Karena ganasnya guna-guna tanah kuburan Panguragan, tidak aneh jika jadi momok menakutkan bagi kalangan pengusaha, terutama pedagang.
Ki Anomjati Sanggabumi, seorang supranaturalis muda cukup tersohor di Kota Cirebon, sewaktu dihubungi Penulis di Villa Kecapi Mas, Kelurahan Harjamukti, Kota Cirebon membenarkan kabar seputar penyalahgunaan tanah kuburan Panguragan untuk media guna-guna penghancur usaha.
“Penyalahgunaan tanah kuburan Panguragan jelas menyalahi syariat Islam, sehingga dukun dan pihak yang menyuruhnya sangat berdosa secara habluminallah maupun hablumminanas dan sebaiknya hindari cara-cara sesat semacam itu,” kata Ki Anomjati Sanggabumi.
Ken Nagasi, seorang budayawan sekaligus pemerhati dunia gaib cukup terkenal di Kabupaten Cirebon mengaku prihatin atas praktik kotor semacam itu. Sewaktu dihubungi di Sanggar Budaya “Nyi Mas Gandasari” yang berlokasi di sekitar Stadion Bima, pria tampan warga Desa/Kecamatan Sindanglaut, Kabupaten Cirebon ini kerap mengurut dada tiap kali dia mendengar keluhan para mantan pengusaha kenalannya yang bangkrut akibat praktik dukun sesat menggunakan media tanah kuburan Panguragan.
“Astaghfirullah, kenapa mesti menyengsarakan orang lain demi kepuasan diri sendiri? Kenapa tidak bersaing secara sehat melalui pemantapan manajemen?” Seal Ken Nagasi.
Ibarat pepatah, tak ada penyakit yang tak ada obatnya. Jika diibaratkan penyakit, guna-guna tanah kuburan Panguragan ternyata punya tandingan. Jika belum gulung tikar, kondisi tempat usaha atau perusahaan yang ditanami tanah kuburan Panguragan dapat dinetralisir dengan ditaburi pada keempat sudut bangunan itu menggunakan pasir kali Bayalangu.
H. Sator, seorang pakar supranaturalis terkenal di Desa Bayalangu, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, mengaku sudah sering menolong pengusaha yang terkena guna-guna tanah kuburan Panguragan. Melalui media pasir kali Bayalangu yang sudah dirituali, secara alamiah dapat menetralisir pengaruh negatif tanah kuburan Panguragan. Kecuali ada penanaman ulang dari pihak yang melakukannya, maka mesti dilakukan penaburan ulang pasir kali Bayalangu.
“Tanah kuburan itu pun tidak bisa asal ambil oleh sembarang orang, melainkan hanya bisa diaktifkan aura negatifnya oleh orang yang ahli di bidang itu. Begitu pula pasir kali Bayalangu, dan secara kebetulan saya mewarisi ritual pasir kali Bayalangu dari ayah saya,” terang H. Sator.
Konon, dampak yang ditimbulkan bagi korban guna-guna tanah kuburan Panguragan bukan hanya mengalami kebangkrutan usaha, namun sepanjang malam mendapatkan teror gaib sangat mengerikan. Salah satunya seperti dialami Udi bin Ujang, warga Kelurahan Karangmalang, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, Jabar. Dia bukan saja kehilangan kios kue kering miliknya di “Pasar Baru” Tanjungpura karena dijual dan menanggung hutang sekitar 20 jutaan namun, namun dia kini mesti mengais rezeki di Arab Saudi sebagai driver.
Berikut ini adalah kisah nyata yang dituturkan oleh Udin bin Ujang kepada Penulis.…
Sejak Jumat Kliwon hingga Sabtu Legi (18 – 19 Januari 2008), Ujang duduk termenung di teras gedung pertemuan kompleks “Kinasih” di Jalan Tapos, Kecamatan Cimanggis, Kabupaten Depok. Saat itu dia bersama tiga rekannya masing-masing Toto, Sutejo dan Hendi mengantar Drs. Khairuddin yang tengah mengikuti Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dengan Presdir PT. Guswara Intertaint, Agus Winarko,MSc.
Pria yang usianya beranjak senja dan berbadan subur itu memisahkan diri dari hiruk-pikuk ratusan orang pengantar para peserta Rakernas. Wajah yang sudah dipenuhi kerutan itu tampak kuyu seakan menyimpan duka nestapa teramat berat.
Ujang duduk di atas tikar di bawah rindangnya pohon beringin hingga memasuki dinihari. Pemandangan semacam itu, tentu saja sangat kontras dan sangat tak lazim. Kepada Misteri, dia seperti berupaya memuntahkan kegalauan hatinya seputar perjalanan usaha putra sulungnya yang kini bangkrut dan gulung tikar.
Padahal, sejak “Pasar Lama” yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Lemah Abang, Kecamatan/Kabupaten Indramayu itu terbakar pada Selasa (11 Juli 1995) pukul 09.00 WIB dan para pedagang direlokasi ke pasar baru yang terletak di Jalan Tanjungpura, Kelurahan Karanganyar, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, secara bertahap kios kue kering milik Udi, anaknya, mengalami kemajuan. Setidaknya hingga 2005 silam, kios kue itu sangat populer dan setiap harinya selalu dijejali pembeli.
Menyaksikan kemajuan usaha Udi, sejumlah kios yang semula menjual dagangan lain diganti menjadi kios kue kering. Akibatnya, persaingan pun semakin ketat sehingga calon pembeli kue kering tersebar ke berbagai kios yang ada di Pasar Baru. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu, jumlah pembeli ke kios Udi terus berkurang. Tetapi, bagi Udi hal itu dianggap sesuatu yang lumrah sesuai dengan hukum pasar.
Sekitar awal 2006, naluri Udi menangkap ada hal yang tidak wajar, terutama setelah mendapatkan kiosnya benar-benar sepi. Bayangkan, omzet dalam sehari hanya cukup buat menutupi kebutuhan dapur keluarga.
Tragisnya, puluhan orang pelanggan kabur sambil membawa utang dalam jumlah besar. Hal ini membuat Udi kalang kabut mencari dana pinjaman buat menambal modal yang berkurang akibat ulah para pelanggan yang nakal itu.
“Bukan itu saja, pada bulan ke tiga 2006, Udi anak saya dan keluarganya merasakan suatu gangguan gaib yang menciptakan rasa takut,” kisah Ujang dengan pandangan menerawang jauh.
Masih dalam bulan yang sama, sejumlah pedagang skoteng, bakso dan lainnya yang biasa mangkal malam hari di sekitar Pasar Baru Tanjungpura sempat menggunjingkan peristiwa gaib di sekitar kios kue milik Udi. Mereka kerap menyaksikan sosok pocong alias mayat hidup berkeliaran di teras kios kue milik Udi.
Gunjingan itupun akhirnya masuk ke telinga Udi. Untuk membuktikannya, pada dinihari sekitar pukul satuan, seorang diri Udi menyelinap ke lorong (los) Pasar Baru Tanjungpura yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Karena sudah dinihari, suasana pasar sangat sepi. Kalau pun ada aktivitas hanya di sisi jalan alternatif penghubung Polsekta dengan Markas Polres Indramayu, dimana terdapat warung nasi yang buka 24 jam.
Malam itu, berselang dua kios dalam posisi berseberangan, Udi mengambil tempat pengintaian yang dirasa aman. Untuk bersembunyi, dia duduk di balik tumpukan bekas kotak gula yang sudah kosong.
Berkat losion anti nyamuk, dia terbebas dari serangan serangan haus darah itu. Lewat bantuan cahaya dari sudut kios, diliriknya jarum jam tangan, saat itu sudah menunjuk pukul 1.15 menit. Sepasang matanya menatap lurus ke arah kiosnya yang sengaja tidak diberi penerangan sehingga suasana temaram sisa lampu dari kios lain di sebelahnya.
Dia meragukan gunjingan para pedagang ketika merasakan pantatnya mulai penat akibat terlalu lama duduk di atas lembaran kardus bekas. Ketika terlintas niat untuk pulang, detak jantung Udi mendadak terpacu. Pandangannya lebih dipertajam. Ternyata benar, samar-samar dia menyaksikan sosok mayat terbungkus kafan muncul dari balik tumpukan kardus bekas snack yang disimpan di teras kios.
Pocong itu bergerak lembut dan makin lama makin jelas setelah terkena sisa cahaya lampu dari kios sebelah. Rasa takut pun mulai merasuk ketika pocong itu terlihat gelisah. Kepala pocong menoleh ke berbagai arah diikuti gerakan tubuhnya. Udi yakin, keberadaannya sudah diketahui mahluk alam gaib itu, sehingga sepasang sandal jepit pelan-pelan dia lepas.
Nalurinya memang tepat. Pocong itu melompat-lompat tertuju ke tumpukan bekas kotak gula di mana Udi bersembunyi. Ketika jaraknya tinggal beberapa meter lagi, sekuat tenaga Udi melompat dari balik tumpukan bekas kotak gula lantas lari menjauhi arah datangnya pocong.
Udi lari secepat yang dia mampu menuju ke arah warung nasi. Tanpa perduli terhadap tiga tukang becak yang duduk santai di bangku kayu, Udi menerobos memasuki warung dan disambut pekikan kaget pelayan yang tengah terkantuk-kantuk.
Keesokan paginya, peristiwa itu dia ceritakan kepada istrinya lalu kepada ayahnya. Ujang yang awam soal mahluk gaib, hanya memberi saran supaya anaknya lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memperbanyak wirid.
Dari kios kue, teror itupun berpindah ke rumah Udi. Nyaris tiap malam, isteri dan dua anaknya diteror suara-suara aneh dari serambi rumah bahkan terkadang disertai bau busuk menerobos melalui celah daun jendela.
Atas desakan isteri dan anak-anaknya, Udi minta izin kepada ayahnya untuk numpang tidur sambil mencari jalan keluar. Ujang tidak bisa menolak permintaan putranya, sehingga merelakan kamar depan yang bersisian dengan ruang tamu ditempati Udi bersama keluarganya. Sedangkan siang harinya, Udi membawa keluarganya kembali ke rumahnya yang hanya beda gang dengan rumah orangtuanya itu.
Malam Selasa Kliwon bulan ke enam 2006, Ujang gelisah di tempat tidurnya. Udara awal musim kemarau membuat gerah tak tertahankan. Untuk mendapatkan udara segar, Ujang membuka daun pintu depan lalu duduk santai di kursi ruang tamu. Saat jarum jam menunjuk pada angka 2 dinihari, muncul Udi dari ruang kholwat (tempat solat) yang bersatu dengan kamar dapur.
Udi saat itu masih mengenakan sarung, peci dan baju koko serta tangan kanan masih memutar tasbih. Keringat membasahi kening. Rupanya Udi pun tak tahan kegerahan di ruang kholwat, sehingga memilih melanjutkan wiridnya di ruang tamu.
Angin malam lumayan sejuk menerobos memasuki celah daun pintu yang terbuka seperempat bagian. Di atas kursi busa yang mulai usang, Ujang menyandarkan punggung dan meletakkan tengkuknya.
Aroma kantuk mulai merasuk. Sambil terkantuk-kantuk, Ujang mengamati bagian ujung pintu pagar besi halaman rumah lewat celah daun pintu. Sedangkan di sampingnya, Udi masih melanjutkan bacaan wiridnya.
Dirasa tubuhnya mulai segar serta aroma kantuk mulai tak tertahankan, Ujang bermaksud menutup daun pintu dan akan membanting punggung di atas kasur melanjutkan tidur. Belum sempat mengangkat pantat, lewat celah daun pintu dia melihat ujung pintu pagar besi bergerak diiringi deritan lembut. Entah datang dari mana, ruang tamu dalam sekejap sudah dipenuhi bau busuk sangat ganjil.
Bau busuk semakin menyengat. Belum sempat menduga-duga siapa orang yang akan bertamu, daun pintu ditabrak dari luar hingga membentur tembok menimbulkan suara gaduh. Suara benturan daun pintu dengan tembok kontan mengejutkan Ujang dan Udi. Yang lebih mengejutkan, di ambang pintu sudah berdiri sesosok mayat hidup alias pocong.
Lewat cahaya lampu neon ruang tamu yang terang benderang, Ujang menyaksikan kafan yang masih lengkap dengan ikatannya itu sangat kusam penuh lumpur hitam. Kulit wajah mahluk itu tidak utuh lagi. Sangat rusak, penuh borok-borok serta belatung bergerak lembut pada sepasang rongga matanya. Dari lubang mulut dan hidungnya meluncur lenguhan seperti sedang menahan marah.
Mahluk itu bukan menatap Ujang melainkan menghadap lurus ke arah Udi. Diiringi lenguhan keras, mahluk itu menerjang ke arah Udi. Ujang tak mampu berbuat banyak selain berjuang mempertahankan kesadarannya supaya tidak pingsan.
Diserang mahluk seseram itu, secara refleks, sekuat tenaga Udi menjejakkan sepasang kakinya ke atas lantai. Akibatnya, kursi yang dia duduki terbalik dan tubuh Udi terjengkang ke belakang lantas jatuh terduduk. Udi hanya mampu membuka mulut, tapi lafadz ayat Qursy sama sekali tidak pernah mau keluar. Yang meluncur dari kerongkongannya hanya suara menyerupai orang gagu.
Air hangat sangat deras mengucur dari balik kain sarung. Akibatnya dia berkubang pada genangan air kencingnya sendiri. Sama halnya ayahnya, Udi pun hanya berjuang agar jangan sampai pingsan. Dia yakin, mahluk itu bukan semata menakut-nakuti melainkan mengancam jiwanya.
Saat jaraknya tersisa beberapa senti lagi, Udi ingat kalau tasbih di genggamannya itu pemberian dari seorang ustadz. Dia berharap benda itu bukan semata alat penghitung wirid. Tanpa berharap banyak, tangan kanan yang semula menyanggah tubuhnya yang jatuh terduduk dia angkat tinggi-tinggi menyongsong terjangan pocong sambil merapatkan kelopak mata.
Dia sudah benar-benar pasrah. Benaknya berkata, mungkin hanya dalam hitungan detik, lehernya akan digigit mahluk itu sehingga urat nadinya putus lalu mati. Tapi hingga belasan detik berlalu, tak ada sesuatu yang menyentuh lehernya. Ditunggu beberapa menit berikutnya tak ada serangan mematikan dari mahluk berwujud pocong itu. Udi menjerit ketika lengannya dibetot sangat keras. Ketika membuka mata, ayahnya tengah berjuang mengangkat tubuhnya.
“Pocong tadi terpental saat menyentuh tasbih di genggamanmu! Ayo. bangun!” Kata Ujang, setengah membentak.
Udi langsung bangkit dan melompat menuju ambang pintu. Tergopoh-gopoh daun pintu dibanting hingga tertutup rapat sekaligus menguncinya. Anak beranak itupun hanya mampu berpandangan. Udi baru sadar kalau sarungnya basah kuyup setelah diberitahu ayahnya, maka buru-buru dia ke kamar mandi.
Keesokan harinya, dengan diantar ayahnya, Udi menyambangi seorang ulama di Lohbener. Ujang menyerahkan sisa tanah bekas pocong yang tercecer di atas lantai ruang tamu. H. Abbas, sang ulama, menggenggam sisa tanah hitam itu sambil memejamkan mata dan bibir komat-kamit. Mendadak keningnya berkerut tajam lalu membuka kelopak matanya.
“Astaghfirullah, mahluk itu khodam guna-guna tanah kuburan Panguragan. Untung kalian tidak sampai pingsan… jika sampai pingsan, naudzubillah, hanya Allah yang tahu terhadap batas umur mahlukNya,” terang H. Abbas.
Sesaat berikutnya, H. Abbas minta izin masuk ke kamar kholwat. Belasan menit kemudian muncul lagi dengan wajah penuh keringat. Dengan suara serak, H. Abbas menyarankan agar kios kue itu secepatnya dijual. Menurut mata bathinnya, kios itu sudah ditanami tanah kuburan Panguragan sejak enam bulan lalu. Tapi, ulama khos itu tidak bersedia menyebutkan identitas orang yang telah mengguna-gunai kios Udi.
Atas saran H. Abbas, sebulan kemudian kios itu dijual murah kepada pemilik kios di sebelahnya. Uang hasil menjual kios itu digunakan oleh Udi untuk mengurangi utangnya. Dalam keadaan tak punya modal sesenpun, Udi terpaksa ikut kerja jadi kuli bangunan hanya sekadar untuk menutupi kebutuhan dapur, dan sejak awal 2007, Udi terbang ke Arab Saudi menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bagian driver.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar