Hukum Hal Yang Berbahaya Dan Membahayakan Orang Lain

Memuat...
Mukaddimah

Dlarar dalam ungkapan bahasa Arab memiliki pengertian yang luas dan hadits yang akan kita kaji kali ini membicarakan tentang hal itu semua. Teks hadits ini saja kemudian menjadi salah satu dari lima kaidah fiqih terbesar. Bagaimana penjelasan hadits selanjutnya? Apa definisi Dlarar itu? apa saja yang dianggap Dlarar itu? Bagaimana syari’at mensikapinya? Silahkan simak!

Naskah Hadits

Dari Abu S’aid, Sa’d bin Sinan al-Khudry RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh (ada) bahaya dan menimbulkan bahaya.”

Takhrij Secara Global

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Majah, no.2340 dan 2341 secara Mawshul (tersambung) dari hadits Ibn ‘Abbas. Juga diriwayatkan oleh ad-Daruquthny dalama sunannya, Jld.III, h.77 dan Jld.IV, h.228 dari hadits Abu Sa’id al-Khudry. Namun di dalam kedua riwayat tersebut terdapat kelemahan dan ‘Illat (cacat). Sekali pun begitu, hadits ini dinilai kuat oleh an-Nawawy berdasarkan jalur-jalurnya serta disetujui pula oleh Ibn Rajab di dalam bukunya, Jaami’ al-‘Uluum Wa al-Hikam, Jld.IV, h .217.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya -dengan lafazh yang agak sedikit berbeda- dan Imam Malik di dalam Muwaththa`-nya.

Syaikh al-Buushiiry di dalam kitabnya Mishbaah az-Zujaajah Fii Zawaa`id Ibn Maajah menyatakan, “Sanad ini didukung oleh para periwayat yang kualitasnya Tsiqaat, hanya saja ia Munqathi’ (terputus jalur sanadnya) sebagaimana telah dibicarakan pada pembahasan tentang bab ‘Barangsiapa yang menjual pohon korma.’ Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, Imam asy-Syafi’iy di dalam Musnad-nya secara Mursal serta oleh al-Baihaqy secara Marfu’ dari jalur Muhammad bin Abi Bakar dari Fudlail bin Sulaiman, lalu ia (al-Baihaqy) mengetengahkan hadits ini.”

Makna Lughawy (Kosa-Kata)

Makna kalimat (Laa Dlarara Wa Laa Dliraar); ada yang mengatakan bahwa makna keduanya adalah sama. Kemudian ada juga yang menyebutkan bahwa antara keduanya terdapat perbedaan dan pendapat ini dikuatkan oleh kebanyakan ulama. Dikatakan bahwa kata ÇáÖøóÑóÑ (adl-Dlarar) merupakan ism (kata benda) sedangkan kata ÇáÖøöÑóÇÑ (adl-Dliraar) merupakan Fi’l (kata kerja), artinya adanya sesuatu yang berbahaya itu sendiri tidak dibolehkan di dalam syari’at, demikian juga dengan menimbulkan bahaya tanpa hak.

Ada lagi pendapat lain yang menyatakan bahwa makna kata ÇáÖøóÑóÑ adalah menimbulkan bahaya terhadap orang lain di mana timbulnya bahaya itu menguntungkan pelakunya tersebut sedangkan makna kata ÇáÖøöÑóÇÑ adalah menimbulkan bahaya terhadap orang lain di mana bahaya yang ditimbulkannya itu sebenarnya tidak menguntungkannya.

Apa pun perbedaannya, yang pasti kedua hal tersebut dilarang di dalam syari’at ini.

Pesan-Pesan Hadits

1. Berkat karunia-Nya, Allah tidak pernah membebani para hamba-Nya dengan sesuatu yang membahayakan (merugikan) diri mereka atau pun dari mereka kemudian membahayakan orang lain, baik bahaya tersebut terdapat pada makanan, minuman, transaksi keuangan atau pun lainnya. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah,’Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’." (Q.s, al-An’am:145)

2. Di antara bentuk ditiadakannya Dlarar dari kaum Muslimin adalah manakala Allah menghapuskan hal-hal yang menyulitkan dan sulit atas umat ini. Yaitu sebagaimana firman-Nya, “Allah tidak membebani suatu jiwa (seseorang) melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Q.s.,al-Baqarah:286) dan firman-Nya, “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Q.s.,al-Hajj:78) serta sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya agama ini adalah mudah.” (HR.al-Bukhary:39; an-Nasa`iy:5034)

3. Di antara bentuk lain ditiadakannya Dlarar dari kaum Muslimin adalah diringankannya hukum-hukum syari’at atas mereka bilamana memang ada alasannya seperti kalau sakit, bepergian, adanya kesulitan dan lain-lainnya. Orang yang sakit dan Musafir boleh berbuka pada siang bulan Ramadlan dan karenanya mereka berdua tidak berdosa. Orang yang tidak mendapatkan air atau orang yang bila memakainya akan membahayakan dirinya boleh bertayammum, orang yang karena ada cela dalam jual beli dibolehkan membatalkannya, demikian seterusnya.

4. Di antara bentuk lain ditiadakannya Dlarar dari kaum Muslimin adalah difungsikannya kaidah “Kesulitan membuahkan kemudahan.” Ini merupakan satu dari lima kaidah terbesar yang maknanya adalah bahwa bilamana terdapat suatu kesulitan di dalam pekerjaan yang dibebankan atas seorang Muslim, maka ia gugur atasnya selama tidak mampu dilakukannya seperti orang yang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri karena salah satu dari sebab-sebab yang ditolerir syari’at, maka kewajiban mengerjakannya dengan berdiri gugur baginya dan boleh baginya untuk melakukannya dengan cara duduk.

5. Kaidah-kaidah lain yang merupakan penjabaran dari kaidah di atas (makna hadits yang kita kaji-red.,) adalah seperti “Sesuatu yang berbahaya itu (harus) dihapus” “Sesuatu yang berbahaya ditolak sesuai dengan kemampuan” “Sesuatu yang berbahaya tidak boleh dihilangkan dengan hal yang sama bahayanya” “Suatu hal yang bahayanya lebih besar (parah) dapat dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan” “Menolak terjadinya kerusakan (hal yang merugikan) didahulukan atas upaya meraih suatu kemashlahatan (hal yang menguntungkan) dan banyak lagi kaidah-kaidah syari’at lainnya yang berisi kemudahan bagi kaum Muslimin dan ditiadakannya Dlarar atas mereka.

6. Hal-hal yang mengandung bahaya di dalam syari’at adalah tertolak dan Allah tidak pernah membebani para hamba-Nya dengan hal yang membahayakan mereka, demikian pula, Dia tidak pernah melarang mereka dari sesuatu yang mengandung hal yang berguna (positif) bagi mereka. Jadi, syari’at Islam selalu berdiri tegak di atas hukum dan kepentingan para hamba baik di dalam kehidupan duniawi mau pun kelak di hari akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Katakanlah,’Rabbku menyuruh menjalankan keadilan.’" (Q.s.,al-A’raf:29) dan firman-Nya, “Katakanlah:"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik". Katakanlah:"Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” (Q.s.,al-A’raf:32)

(SUMBER: Silsilah Manaahij Dawraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah –fi`ah an-Naasyi`ah karya Prof.Dr.Faalih bin Muhammad ash-Shugair dan ‘Adil bin ‘Abdusy Syakuur az-Zurqy, h.155-157)

Related Post



Tidak ada komentar:

Postingan Populer