Memuat...
Mukaddimah
Tentunya seorang Muslim ketika beramal, tidak ingin hanya melakukan suatu amalan yang kemanfa’atannya hanya buat dirinya sendiri, tetapi lebh dari itu, hendaknya amalan itu juga merembes kepada orang lain sehingga pahalanya menjadi berlipat ganda baginya.
Kajian kali ini, insya Allah menyoroti hal ini, semoga bermanfa’at.
Naskah Hadits
Dari Abu Hurairah RA., dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang meringankan penderitaan seorang Mukmin di dunia, niscaya Allah akan meringankan penderitaan (kesulitan)nya kelak di hari Kiamat dan barangsiapa yang memudahkan urusan orang yang mengalami kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Siapa saja yag menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi (aib) nya di dunia dan akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya selama si hamba tersebut menolong saudaranya. Siapa saja yang menempuh suatu jalan guna mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan tidaklah suatu kaum (kelompok) berkumpul di salah satu rumah Allah sembari membaca Kitabullah dan mengkajinya di antara sesama mereka melainkan ketenangan akan turun di tengah mereka, rahmat meliputi mereka dan malaikat mengelilingi mereka serta Allah akan menyebut mereka di sisi para malaikat. Siapa saja yang menjadi lamban karena amalnya (sehingga amal shalihnya menjadi kurang), maka tidak cukup baginya hanya (bermodalkan) nasab.” (HR.Muslim)
Takhrij Singkat
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud dan an-Nasa`iy.
Urgensi Hadits
Imam an-Nawawy RAH., berkata, “Ini merupakan hadits yang agung, mengoleksi seluruh jenis ilmu, kaidah dan adab (etika).”
Kosa Kata
Yassara ‘ala Mu’sir : Mu’sir (orang yang mendapatkan kesulitan) adalah orang yang dililit hutang sehingga tidak mampu membayarnya. Sedangkan makna Taysiir (memudahkan) adalah membantu orang tersebut di dalam melepaskan tanggungjawabnya atas hutang-hutang tersebut.
Yassarallaahu ‘alaih: Yakni Allah memudahkan semua urusan dan kondisinya baik di dunia mau pun di akhirat
Satara Musliman : Menutupi (aib) seorang Muslim, yakni bila ia melihatnya melakukan perbuatan jelek secara syari’at atau menurut adat, maka ia tidak menyebarkan rahasianya ke publik tetapi merahasiakannya.
Satarahullaah : Allah akan menutupi (aib)-nya, yakni Allah akan menjaganya dari kesulitan-kesulitan di dunia dan kesengsaraannya serta menjaganya dari derita-derita dan kesulitan-kesulitan di akhirat.
Yatadaarasuuna Fii maa Bainahum : mengkajinya di antara sesama mereka, yakni dengan membaca, merenungi, mentadabburi dan menggali faedah-faedah dan hikmah-hikmahnya serta memahami maknanya
Lam Yusri’ bihi Nasabuh : tidak cukup baginya hanya (bermodalkan) nasab, yakni nasabnya saja tidak cukup untuk mengangkat martabatnya atau mengganti apa yang telah lalu (terlewatkan olehnya dari perbuatan baik)
Pesan-Pesan Hadits
1. Di dalam dien Allah, kaum Muslimin seperti satu jasad di mana bila salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh jasadnya merasakan sakit panas dan tidak dapat tidur. Rasulullah SAW., bersabda, “Perumpamaan kaum Mukminin di dalam welas-asih, kasih sayang dan toleransi antara sesama mereka ibarat satu jasad di mana bila salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh jasadnya akan merasakan sakit panas dan tidak dapat tidur.” (HR.Bukhari)
2. Kehidupan ini penuh dengan berbagai kesulitan dan tantangan, tidak terkecuali seorang Muslim di mana ia banyak menghadapi sesuatu dari hal-hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (al-Balad:4)
Karena itu, Allah menilai upaya seorang muslim untuk mencarikan solusi bagi kesulitan yang dihadapi saudaranya sesama Muslim, menghilangkan kesulitannya dan membukakan pintu harapan kepadanya sebagai suatu amalan yang paling utama, paling tinggi dan paling banyak pahalanya.
3. Di antara amalan yang diganjar pahala adalah tindakan seorang Muslim menolong saudaranya sesama Muslim bila ia membutuhkan pertolongannya. Hal ini sebagaimana sabda beliau SAW., “Tolonglah saudaramu, baik ia sebagai penzhalim atau pun terzhalim.” Lalu ada seseorang yang menyeletuk, “Wahai Rasulullah, benar, aku akan menolongnya bila ia sebagai terzhalim, akan tetapi bagaimana pendapatmu jika ia sebagai penzhalim, apakah harus aku tolong juga.?” Beliau menjawab, “Ya, dengan cara menghalanginya dari melakukan kezhaliman sebab itulah bentuk menolongnya.” (HR.Bukhari dan at-Turmudzi)
4. Di antara amalan utama lainnya adalah meringankan orang yang mendapatkan kesulitan dan berupaya melunaskan hutangnya baik secara langsung, melalui perantara, pinjaman yang baik (Qardlun Hasan) atau pun dengan memberikan nafkah kepadanya. Demikian yang difirmankan Allah, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah)), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (al-Baqarah:245)
5. Terdapat kaidah penting, yaitu kapan saja seorang Muslim berusaha untuk memenuhi hajat saudaranya sesama Muslim baik dengan cara membantunya, melunaskan hutangnya, memberikan nafkah kepadanya, membela kehormatannya, bersedekah, memberi hadiah, memberinya makan atau pun memberinya nasehat. Maka, Allah pasti akan menunjukinya ke jalan yang lurus, menolongnya, menghilangkan kesulitan dan deritanya serta menjadi Penolongnya di dunia dengan memudahkan kehidupannya dan memberinya taufiq untuk melakukan amalan-amalan shalih. Demikian pula Dia akan menyelamatkannya di akhirat kelak dari keangkerannya, kesulitan-kesulitan dan derita-deritanya serta menaunginya dengan naungan-Nya di hari di mana tiada naungan selain naungan-Nya.
6. Terkadang seseorang terjerumus ke dalam suatu perbuatan maksiat, bisa saja dengan melakukan kesalahan dan dosa, lalu ada orang lain yang melihatnya. Maka bila seorang Muslim melihat saudaranya melakukan perbuatan maksiat dan dosa tersebut, maka hendaklah ia menutupinya, tidak membongkar rahasianya, tidak menyebarkan masalahnya kepada orang lain (menyebarkan isu) dan menasehatinya secara pribadi (secara berduaan saja dari hati ke hati). Hal ini sebagaimana kisah Ma’iz (al-Aslamy) RA ketika melakukan tindak kejahatan zina dan mengadu kepada Abu Bakar, maka Abu Bakar berkata kepadanya, “Bertaubatlah kamu kepada Allah dan tutuplah (aibmu alias rahasiakanlah) niscaya Allah akan menutupinya. Demikian juga perkataan serupa dikatakan oleh ‘Umar bin al-Khaththab.
7. Hendaknya prinsip menutupi (merahasiakan) ini diberlakukan di antara sesama Muslim kecuali bila pelaku maksiat tersebut adalah seorang yang suka terang-terangan melakukannya dan menurut perkiraan, besar kemungkinan ia akan dapat merusak orang lain; maka di sini wajib mengadukan masalahnya kepada Waliyyul Amri (Penguasa, pihak berwenang) agar memberikan sanksi terhadapnya sehingga ia kapok dan orang lain juga kapok.
8. Di antara jalan yang dapat membawa seseorang masuk surga adalah menuntut ilmu yang berguna di mana dapat membuat seorang Muslim lurus (mantap, istiqamah) dalam agamanya, berpegang teguh kepada syari’at-Nya, mencapai keridlaan Rabbnya dan mengetahui mana yang halal dan yang haram. Untuk hal ini, Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui.’” (az-Zumar;9)
Karena itu, wajib bagi setiap Muslim untuk mempelajari perkara yang dapat menegakkan agamanya bahkan ini merupakan fardlu ‘ain baginya. Sedangkan perkara lain yang selebihnya termasuk fardlu kifayah.
9. Hadits di atas juga menunjukkan akan keutamaan saling mengkaji al-Qur’an, ilmu yang bermanfa’at dan berkumpul untuk hal itu. karena itu, siapa saja yang diberi taufiq untuk melakukan itu, maka Allah akan menganugerahi mereka ketentraman, ketenangan, kenyamanan, hadirnya malaikat dan suasana yang diliputi rahmat.
10. Seorang Muslim harus bersungguh-sungguh di dalam mengetahui pintu-pintu kebaikan sehingga orang lain bersaing untuk memasukinya dan ikut-serta di dalamnya, khususnya amalan-amalan yang manfa’atnya merembes kepada orang lain, sebab hal itu akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda.
(SUMBER: Silsilah Manaahij Dauraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah [al-Hadiits-Fi`ah an-Naasyi`ah] karya Prof.Dr.Faalih bin Muhammad ash-Shaghir dan ‘Adil bin ‘Abd asy-Syakur az-Zurqy, hal.169-173)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar