MUHAMMAD IBN WAASI’ AL-AZDIY-[2-2] (Bersama Qutaibah bin Muslim: Kemesraan Ulama Dan Penguasa)

Memuat...
“Sesungguhnya jemari-jemari Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy lebih aku cintai daripada seribu pedang yang terhunus yang dibawa oleh seribu pemuda yang gagah” (Qutaibah ibn Muslim)
Kita sekarang berada pada tahun 87 H...
Inilah kebanggaan kaum muslimin seorang panglima al-Faatih (yang telah menaklukkan banyak kota) yaitu Qutaibah ibn Muslim al-Bahili, ia berangkat bersama pasukannya yang banyak dari kota Marwa* mengarah ke daerah Bukhara.**

Ia bertekad untuk menaklukkan apa yang tersisa dari negeri-negeri Maa Waraa’ an-Nahri***...dan memerangi ujung Cina dan mewajibkan jizyah (upeti) kepada para penduduknya.

Akan tetapi belum sampai Qutaibah ibn Muslim menyeberangi sungai “Sihuun “**** penduduk Bukhara sudah mengetahui dan bersiap-siap (menghadapinya). Berhamburlah mereka memukul genderang pertempuran di setiap tempat.

Mereka mulai memanggil kaum-kaum yang berada di sekitar mereka dari ash-Shughd,***** Turki, Cina dan yang lainnya.

Maka, terhimpunlah pasukan besar dari berbagai kulit dan asal, juga bahasa dan agama...hingga jumlah mereka sampai berlipat-lipat melebihi kaum muslimin baik dari segi perbekalan maupun jumlahnya.

Mereka segera menutup mulut-mulut jalan di hadapan kaum muslimin...mereka juga menutup perbatasan dan jalan-jalan.

Sampai-sampai Qutaibah ibn Muslim tidak mampu menyusupkan detasemen kecil dari detasemen-detasemennya kepada mereka untuk mencuri berita tentang keadaan mereka dan datang dengan membawa beritanya...Sebagaimana tidak seorangpun dari mata-matanya yang disebar di antara mereka mampu untuk menembusnya.

Qutaibah ibn Muslim membangun perkemahan bersama pasukannya dekat dengan kota “Bailand”, ia menetap di sana tidak maju dan tidak pula mundur.

Bersama terbitnya pagi, mulailah musuh muncul (menyerangnya) dengan front terdepannya, dan mencoba kekuatan pasukannya sepanjang siang. Apabila malam telah gelap mereka kembali ke benteng-benteng mereka yang kokoh lagi aman.

Keadaan seperti ini terus berlanjut selama dua bulan berturut-turut. Dan Qutaibah bingung dibuatnya. Ia tidak tahu apakah akan mundur atau maju?.

Tidak berselang lama, hingga berita tentang Qutaibah dan tentaranya sampai ke telinga kaum muslimin di setiap tempat.

Orang-orang pun bersedih terhadap pasukan besar yang belum pernah terkalahkan...dan panglima agung yang belum terkalahkan.

Pengarahan-pengarahan berdatangan kepada para wali di seluruh kota untuk mendoakan pasukan muslimin yang sedang berjuang keras di negeri Maa Waraa’ an-Nahri setiap selesai shalat.

Masjid-masjid mulai bergema dengan doa untuk mereka...
Menara-menara adzan terus bergaung dengan doa dan permohonan.

Para imam bersungguh-sungguh melakukan qunut nazilah pada setiap shalat.

Berhamburanlah jumlah yang banyak untuk menolong pasukan yang kuat itu. Dan adalah yang memimpin mereka seorang tabi’in mulia Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy.

Adalah Qutaibah ibn Muslim al-Bahili memiliki seorang mata-mata keturunan ‘ajam (non Arab), ia orang yang diakui pengalamannya, hikmahnya dan kecerdikannya. Ia biasa dipanggil “Taidzar.”

Para musuh kemudian merayu dan memikatnya agar mau bergabung dengan mereka. Mereka memberikan kepadanya harta secara royal.

Mereka meminta kepadanya untuk mempergunakan muslihat dan kecerdikannya guna melemahkan kekuatan muslimin, dan membawa mereka untuk meninggalkan negeri tersebut tanpa peperangan.

“Taidzar” masuk menemui Qutaibah ibn Muslim al-Bahiliy, majlisnya pada saat itu penuh dengan para pembesar panglimanya dan para tentaranya. Ia lalu mengambil tempat di dekatnya, kemudian memiringkan badannya dan membisikkan ke telinganya, “Wahai amir, kosongkanlah majlismu bila engkau kehendaki.”

Qutaibah memberikan isyarat kepada orang yang berada di majlisnya agar beranjak, semuanya beranjak pergi kecuali Dlirar ibn al-Hushain yang diminta Qutaibah untuk tetap tinggal.

Di saat itulah “Taidzar” menoleh kepada Qutaibah dan berkata, “Aku memiliki berita untukmu wahai amir...”

“Sampaikanlah,” Qutaibah berkata dengan penasaran.
Taidzar berkata, “Sesungguhnya amirul mukminin di Damaskus telah memecat al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi...dan memecat para panglima yang dipimpinnya...engkau termasuk salah satunya. Ia telah mengangkat para panglima baru untuk pasukannya dan mengerahkan mereka ke tempat-tempat kerja mereka. Dan sesungguhnya orang yang akan menggantikanmu akan datang dalam waktu yang tidak lama lagi. Dan aku mengusulkan agar engkau segera meninggalkan negeri ini bersama pasukanmu. Dan hendaklah engkau kembali ke Marwa untuk memikirkan urusanmu jauh dari medan pertempuran.

Belum selesai “Taidzar” menyempurnakan perkataannya hingga Qutaibah ibn Muslim memanggil budaknya “Siyaah”, ketika ia telah berada di depannya, Qutaibah berkata kepadanya, “Penggallah leher pengkhianat ini wahai Siyaah!.”

Siyaah kemudian memenggal lehernya dan kembali ke tempatnya semula.

Lalu Qutaibah menoleh kepada Dlirar ibn al-Hushain dan berkata, “Tidak ada seorangpun di bumi ini yang mendengar berita tersebut selain aku dan kamu, sungguh aku bersumpah demi Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung, apabila perkara ini diketahui oleh seseorang sebelum berakhirnya perang kita ini, sungguh-sungguh aku akan menyusulkanmu dengan pengkhianat ini (memenggalmu). Apabila kamu memiliki hajat dalam dirimu, maka sembunyikanlah perkara ini dan jangan engkau ceritakan kepada siapapun. Ketahuilah bahwa tersebarnya pembicaraan ini akan melemahkan kekuatan pasukan...dan akan menimpakan kekalahan yang menyakitkan kepada kita.”

Qutaibah kemudian mengijinkan orang-orangnya masuk menemuinya.

Tatkala mereka melihat “Taidzar” terkapar di tanah, tenggelam dalam darahnya...mereka berdiri kaget, diam dan ketakutan.

Maka, Qutaibah berkata kepada mereka, “Apa yang menjadikan kalian takut dengan kematian seorang pengkhianat?”

Mereka menjawab, “Kami (dahulu) menganggapnya seorang pemberi nasihat bagi kaum muslimin.”

“Bahkan ia adalah seorang penipu bagi mereka (muslimin), sehingga Allah mengadzabnya dengan sebab dosanya,” kata Qutaibah

Ia kemudian mengangkat suaranya seraya berkata, “Sekarang berangkatlah untuk memerangi musuh kalian...dan hadapilah dengan hati yang berbeda dengan hati yang kalian gunakan untuk menghadapi mereka sebelumnya.”

Para pasukan melaksanakan perintah panglima mereka Qutaibah ibn Muslim. Mereka menyeberangi perbatasan untuk menghadapi musuh.
Ketika kedua pasukan saling berhadapan, kaum muslimin melihat jumlah musuh yang banyak dan perlengkapan serta persiapan mereka yang cukup, hal ini menjadian hati mereka dipenuhi rasa takut dan gentar.

Qutaibah merasakan apa yang berputar dalam pikiran pasukannya, ia pun berkeliling di antara pleton-pleton dan meneguhkan niat serta menguatkan tekad mereka.

Ia menoleh kepada orang-orang di sekelilingnya dan berkata, “Dimana Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy.”

“Ia berada di sayap kanan, wahai amir,” jawab mereka
“Apa yang ia lakukan,” katanya

Mereka menjawab, “Ia sedang bersandar pada tombaknya, matanya terbuka dan ia menggerakkan jemarinya ke arah langit...apakah kami memanggilnya untukmu wahai amir?”

“Biarkan ia,” katanya, kemudian ia menyambung perkataannya, “Demi Allah, sesungguhnya jari-jari itu lebih aku cintai dari pada seribu pedang yang terhunus dibawa oleh seribu pemuda yang gagah...biarkan ia berdoa...kami tidak mengenalnya kecuali orang yang terkabulkan doanya.”

Pasukan muslimin dan pasukan musuh saling bergerak menerjang seperti singa-singa yang akan menyergap buruannya.

Bertemulah dua pasukan laksana bertemunya gelombang samudera yang berkejaran sambung-menyambung di waktu badai.

Allah menurunkan ketenangan di hati kaum muslimin...dan Allah membantu mereka dengan pertolongan dari sisi-Nya. Mereka terus membabatkan pedang ke arah musuh sepanjang siang, hingga ketika malam telah datang, Allah menggetarkan kaki-kaki kaum musyrikin dan melemparkan rasa takut ke dalam hati mereka, sehingga mereka lari tunggang langgang meninggalkan kaum muslimin. Para mujahidin mengungguli mereka dengan membunuh, menawan dan mengusir.

Di saat itulah mereka meminta perdamaian dan fidyah (tebusan) kepada Qutaibah...ia pun menerima perdamaian dari mereka.

Di antara tawanan musuh ada seorang yang buruk jiwanya, sangat jahat perangainya dan memiliki pengaruh yang kuat untuk menggerakkan kaumnya melawan kaum muslimin...ia berkata kepada Qutaibah ibn Muslim, “Aku akan menebus diriku wahai amir.”

Maka dikatakan kepadanya “Berapa yang akan kamu berikan (sebagai tebusan).”

Ia menjawab, “Lima ribu (kain) sutra Cina yang berharga satu juta.”
Qutaibah menoleh ke arah pasukannya dan berkata, “Apa pendapat kalian?”

Mereka menjawab “Kami melihat bahwa harta ini akan menambah ghanimah kaum muslimin...kemudian setelah menjaga kemenangan ini, kita tidak merasa takut terhadap kejahatan orang ini dan yang semisalnya...”

Qutaibah lalu menoleh kepada Muhammad ibn Waasi’ dan berkata, “Apa pendapatmu wahai Abu Abdillah?”

Ia menjawab, “Wahai amir, sesungguhnya kaum muslimin tidak keluar dari rumah-rumah mereka untuk mengumpulkan ghanimah dan memperbanyak harta, akan tetapi mereka keluar mengharap ridla Allah...dan menyebarkan agama-Nya di muka bumi...serta (untuk) menghajar musuhnya.”

“Jazakallah khairan...demi Allah, aku tidak akan membiarkannya menakut-nakuti seorang muslimah setelah ini, walaupun ia memberikan harta dunia sebagai tebusan untuk dirinya...” kata Qutaibah.

Kemudian ia memerintahkan untuk membunuhnya.
Hubungan antara Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy dengan para penguasa Bani Umayyah tidak terbatas dengan Yazid ibn al-Muhallab dan Qutaibah ibn Muslim al-Bahiliy...akan tetapi berlanjut kepada selain mereka berdua dari para wali dan umara. Adalah di antara yang paling menonjol yang memiliki hubungan dengannya adalah wali Bashrah yaitu Bilal ibn Abi Burdah.

Ada kisah-kisah yang (diceritakan) turun temurun dan masyhur antara dirinya dengan guberner tersebut, juga cerita-cerita yang diriwayatkan dan terjaga...di antaranya adalah, bahwa ia suatu hari masuk menemuinya dengan mengenakan midra’ah****** kasar yang terbuat dari wool. Maka Bilal berkata kepadanya, “Apa yang mendorongmu untuk mengenakan pakaian kasar ini wahai Abu Abdillah?”

Syaikh pun (Muhammad bin Waasi’) menyibukkan dirinya dan tidak menjawabnya.
Bilal memegangnya dan berkata kepadanya, “Mengapa engkau tidak menjawabku wahai Abu Abdillah?!”

Ia menjawab, “Aku benci untuk mengatakan (bahwa aku) zuhud sehingga aku mensucikan diriku...dan aku benci untuk mengatakan bahwa aku fakir sehingga aku mengeluh kepada Tuhanku...dan aku tidak menginginkan (jawaban) yang ini tidak juga yang itu.”

“Lalu apakah kamu punya hajat sehingga kami akan menunaikannya wahai Abu Abdillah” tanya Bilal.

Ia menjawab, “Adapun aku, maka aku tidak punya hajat yang aku memintanya kepada seorang pun dari manusia...hanyalah aku mendatangimu pada suatu hajat untuk saudara muslim...apabila Allah mengijinkan untuk menunaikannya maka engkau menunaikannya, dan engkau terpuji...namun bila Allah tidak mengijinkannya maka engkau tidak menunaikannya dan engkau termaafkan.”

“Bahkan aku akan menunaikannya dengan ijin Allah” katanya. Kemudian ia menoleh kepadanya dan berkata, “Apa yang kamu katakan tentang qadla dan qadar wahai Abu Abdillah?”

Ia menjawab, “Wahai amir...sesungguhnya Allah AWJ tidak akan menanyai hamba-Nya tentang qadla dan qadar pada hari kiamat...Dia hanyalah menanyai tentang amalan mereka.”

Sang gubernur pun malu terhadapnya dan memilih diam.
Dan di saat syaikh sedang duduk di sisinya, tibalah waktu makan siang, maka wali mengundangnya untuk makan tetapi ia menolaknya...wali memaksanya, sehingga ia mulai beralasan dengan bermacam-macam alasan...

Gubernur sedikit marah kepadanya, dan berkata, “Aku melihatmu tidak suka menyantap makanan kami wahai Abu Abdillah!!!”

Ia berkata kepadanya “Engkau jangan berkata begitu wahai amir...demi Allah, sungguh orang terbaik di antara kalian -wahai sekalian para penguasa- benar-benar lebih aku cintai daripada anak-anak kami dan keluaga kami yang terdekat.”

Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy telah diminta untuk menduduki jabatan Qadla (pengadilan) lebih dari sekali namun ia menolaknya dengan keras...dan disebabkan karena penolakannya ia telah menyebabkan siksa untuk dirinya...

Di antarnya, bahwa Muhammad ibn al-Mundzir pejabat keamanan Bashroh telah mengundangnya, dan ia berkata, “Sesungguhnya penguasa Irak meminta dariku untuk memanggilmu agar menduduki jabatan Qadla.”

Ia menjawab, “Maafkan aku dari hal tersebut, semoga Allah memaafkanmu.”

Ia (Muhammad ibn al-Mundzir) memintanya kembali untuk yang kedua dan ketiga kalinya, namun ia terus menolaknya.

Ia berkata kepadanya, “Demi Allah, sungguh-sungguh kamu harus menduduki jabatan Qadla, atau aku akan mencambukmu sebanyak tiga ratus cambukan, dan sungguh-sungguh aku akan mempermalukanmu.”

“Kalau engkau mau melakukannya, sesungguhnya engkau adalah orang yang bebas...dan sesungguhnya diadzab di dunia lebih baik daripada diadzab di akhirat” jawabnya.

Ia (Muhammad ibn al-Mundzir) merasa malu (mendengar jawaban) darinya dan ia pun melepaskannya dan memperlakukannya dengan baik.

Majlis Muhammad ibn Waasi’ di masjid Bashrah merupakan tempat bernaungnya para penuntut ilmu dan tempat berkumpulnya para pencari hikmah dan mau’idzah.

Kitab-kitab tarikh dan sirah penuh dengan cerita-cerita tentang majlisnya ini.

Di antaranya, bahwa salah seorang dari mereka berkata kepadanya, “Berilah wasiat kepadaku wahai Abu Abdillah.”

“Aku wasiatkan kepadamu agar menjadi raja di dunia dan di akhirat” jawabnya.

Si penanya terheran, dan berkata, “Bagaimana aku mendapatkan itu wahai Abu Abdillah?!”

“Zuhudlah terhadap dunia yang fana ini, niscaya kamu akan menjadi raja di sini dengan kamu merasa cukup (tidak membutuhkan) terhadap apa yang ada di tangan manusia...dan kamu akan menjadi raja di sana dengan mendapatkan kemenangan memperoleh pahala yang baik di sisi Allah” jawab syaikh.

Orang lain lagi berkata kepadanya, “Sungguh aku mencintaimu karena Allah wahai Abu Abdillah.”

“Semoga Allah mencintaimu yang telah mencintaiku karena-Nya” jawab syaikh.

Kemudian ia (syaikh) pergi seraya berkata, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari aku dicintai karena-Mu sedangkan Engkau membenciku.”

Dan setiap kali ia mendengar pujian manusia kepadanya dan sanjungan mereka terhadap ketakwaan dan ibadahnya, ia berkata kepada mereka, “Seandainya dosa-dosa mempunyai bau busuk yang menyengat, maka tidak ada seorang pun dari kalian yang mampu mendekat kepadaku karena ia akan merasa terganggu dengan bauku.”

Muhammad ibn Waasi’ senantiasa mendorong murid-muridnya untuk selalu berpegang teguh dengan kitab Allah AWJ dan hidup di bawah petunjuknya. Ia berkata, “Al-Qur’an adalah kebunnya orang muslim...di manapun ia menempatinya, maka ia singgah di taman...”

Sebagaimana ia juga mewasiati mereka untuk sedikit makan, ia berkata, “Barangsiapa yang sedikit makannya akan faham dan bisa memahamkan (orang lain)...ia akan suci dan menjadi lembut (hatinya)...karena sesungguhnya banyak makan akan membikin orang berat untuk melakukan banyak hal yang ia inginkan.”

Muhammad ibn Waasi’ telah sampai kepada tingkat ketakwaan dan wara’ yang begitu agung. Banyak sekali cerita yang telah diriwayatkan baginya akan hal tersebut...

Di antaranya, ia pernah terlihat berada di pasar, ia menawarkan himarnya (keledainya) untuk dijual, maka ada seseorang yang memintanya, “Apakah engkau ridla ia untukku wahai syaikh?”

“Apabila aku meridlainya untuk diriku maka aku tidak akan menjualnya,” jawabnya.

Muhammad ibn Waasi’ telah menjalani seluruh hidupnya dengan perasaan takut terhadap dosa-dosanya dan takut terhadap dipaparkannya amalan di hadapan Tuhannya.

Apabila ditanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Abu Abdillah?
Ia menjawab, “Aku bangun dalam keadaan telah dekat ajalku...jauh angan-anganku...dan buruk amalanku.”

Apabila ia melihat suatu keheranan yang nampak dari pancaran wajah orang-orang yang menanyainya, ia berkata, “Apa prasangka kalian terhadap orang yang setiap hari memutus satu tingkatan ke akhirat?!”

Ketika Muhammad ibn Waasi’ jatuh sakit yang menjadi sebab akhir hayatnya, orang-orang berdatangan membesuknya hingga rumahnya tenggelam oleh banyaknya orang yang keluar masuk...yang berdiri dan duduk di rumahnya...

Ia kemudian memiringkan badannya kepada salah seorang kerabatnya dan berkata, “Kabarkan kepadaku, bahwa mereka tidak akan mampu menolongku apabila esok (di hari kiamat) telah di pegang ubun-ubun dan kaki kita?! Dan mereka tidak akan bermanfaat untukku bila aku dilemparkan ke neraka?!

Kemudian ia menghadap kepada Tuhannya dan mulai berkata, “Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu dari setiap tempat buruk yang aku berdiri padanya...dari setiap tempat duduk yang buruk yang aku duduki...dari setiap tempat masuk yang buruk yang aku masuki...dari setiap tempat keluar yang buruk yang aku keluar darinya...dari setiap amalan buruk yang aku kerjakan...dari setiap perkataan buruk yang aku ucapkan. Ya Allah, aku memohon ampun kepada-Mu dari itu semua, maka ampunilah aku. Aku bertaubat kepada-Mu, maka terimalah taubatku...dan aku sampaikan salam kepada-Mu sebelum aku dihisab.”
Kemudian lepaslah ruhnya.

REFERENSI

Sebagai tambahan tentang kisah Muhammad ibn Waasi’ al-Azdiy, lihat:
· Tarikh al-Bukhari: 1/255
· At-Tarikh ash-Shaghir: 1/318-319
· Al-Jarh wat Ta’dil: 8/113
· Hilyatul Auliyaa: 2/345-357
· Al-Waafi bil Wifyaat: 5/272
· Tahdzibut Tahdziib: 9/499-500


CATATAN:

* “Marwa ar-Ruudz” salah satu ibukota Persia dimana al-Muhallab ibn Abi Shufrah mati di sana.
** kota di Uzbekistan terletak di persimpangan jalan antara Persia dan Rusia serta India dan Cina
*** negeri yang terletak di seberang sungai “Jiihuun” di Khurasan
**** sungai besar dan terkenal terletak setelah Samarqondi
***** umat yang masuk dalam ketaatan Persia
****** jubah yang sobek bagian depannya, jamaknya Madaari’

Related Post



Tidak ada komentar:

Postingan Populer