KH.Noer Alie,Ulama Yang Mujahid

Memuat...
Singa Karawang Bekasi atau Si Belut Putih itulah julukan yang di berikan  kepada KH Noer Alie,sebuah julukan yang memang layak di berikan kepadanya atas keberanian dan jiwa patriotnya semasa revolusi melawan penjajahan belanda dan atas jasa2nya kepada negara  itulah pulalah ,pemerintah Indonesia melalui presiden sby menetapkan kepres yang menganugrahkannya gelar Pahlawan Nasional Indonesia dan mendapatkan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana. pada hari Kamis tanggal 09 November 2006 dalam rangka peringatan Hari Pahlawan di Istana Negara Jakarta.

Bukan orang Bekasi namanya kalau dia tidak kenal KH. Noer Ali“. itulah ungkapan yang sering di dengar dari para orang tua dahulu mengenai KH Noer Alie. Sosok yang sangat terkenal dimata orang Bekasi karena ia menjadi salah satu ikon kebanggaan masyarakat Betawi (khususnya di Karawang-Bekasi) pada masa revolusi. Seorang kiai yang sangat peduli dengan pendidikan, cerdas, berani dan sangat dihormati oleh lingkungan sekitarnya. Kisah kepahlawanan KH. Noer Alie pun telah menginspirasi seorang pujangga besar Indonesia, yaitu Khairil Anwar untuk menulis karya puisi Antara Karawang-Bekasi yang sangat terkenal itu.

Tulisan ini adalah ringkasan dari buku KH. NOER ALIE KEMANDIRIAN ULAMA PEJUANG dan beberapa blog di internet dengan sedikit modifikasi dari penulis. Berikut ini biografi singkat KH. Noer Alie :

Masa Kecil dan Riwayat Pendidikan KH. Noer Ali

KH. Noer Alie lahir sebagai anak keempat dari sepuluh bersaudara pasangan H. Anwar bin H. Layu dan Hj. Maimunah binti Tarbin pada tahun 1914 di Desa Ujung Malang, Onderdistrik Babelan, Distrik Bekasi, Regentschap ( Kabupaten ) Meester Cornelis, Residensi Batavia, sebelum diganti menjadi Desa Ujung Harapan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, atas usulan Menteri Luar Negeri Adam Malik pada tahun 1970-an ketika berkunjung ke Pesantren Attaqwa.

Tidak ada yang tahu persis tanggal dan bulan kelahiran KH. Noer Alie, kecuali tahunnya, 1914. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan penduduk kampung yang tidak terbiasa mencatat peristiwa dalam bentuk tulisan. Kalaupun menggunakan daya ingat, semua tergantung dari kemampuan seseorang merangkaikan satu peristiwa dengan peristiwa lain sehingga kelahiran dapat diduga. Meskipun begitu, keabsahannya amat diragukan.

Pada awal usia 3 tahun KH. Noer Alie sudah bisa berbicara dengan bahasa ibu, mengeja huruf, hitungan dan hafal kata yang baru, baik dari bahasa Arab maupun Melayu. Bersamaan dengan masa disapih, KH. Noer Alie mulai bergaul dengan teman-teman sebayanya di luar rumah.

Salah satu kelebihan KH. Noer Alie sudah nampak sejak kecil yang kelak akan mempengaruhi kepemimpinannya, yaitu ketika main ia tidak mau tampil di belakang, tidak mau diiringi, ia selalu ingin tampil di muka sebagai orang yang pertama meskipun jumlahnya temannya belasan hingga puluhan. Ketika memainkan permainan anak-anak pun ia tidak mau kalah. Di hampir semua permainan ia selalu tampil sebagai pemenang, seperti cor, bengkat, peletokan, layang-layang, teprak, dan perang-perangan.

Semasa kecil KH Noer Alie sudah memperlihatkan semangat belajar yang sangat baik, di usia delapan tahun KH. Noer Alie dikhitan dan belajar kepada guru Maksum di kampung Bulak. Pelajaran yang diberikan lebih dititikberatkan pada pengenalan dan mengeja huruf Arab, menghafal dan membaca Juz-amma, ditambah menghafal dasar-dasar rukun Islam dan rukun Iman, tarikh para Nabi, akhlak dan Fiqih. Karena sejak kecil telah terbiasa belajar dengan orangtua dan kakak-kakaknya, KH Noer Alie pun tidak merasa kesulitan mencerna pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh gurunya.

Setelah tiga tahun belajar pada guru Maksum. Pada tahun 1925 KH. Noer Alie belajar pada guru Mughni di Ujung Malang. Di sini ia mendapat pelajaran al-Fiah (tata bahasa Arab), al-Qur’ân, Tajwid, Nahwu, Tauhid, dan Fiqih. Seiring dengan perkembangan usia dan pelajaran yang telah didapat, keinginantahuannya terhadap dunia luar pun semakin kuat. Mula-mula ia dan kawan-kawannya bermain ke kampung-kampung di sekitarnya. Sampai pada keingintahuannya untuk melihat rumah gedung tuan tanah, tingkah laku tuan tanah dan aparatnya.

Bersamaan dengan itu ia pun sudah bisa membandingkan antara konsep normatif yang diajarkan gurunya dengan kondisi realita penduduk. Kalau gurunya mengajarkan untuk tidak melakukan kegiatan maksiat, justru pada kenyataannya KH. Noer Alie dihadapkan pada kondisi realita tersebut. KH. Noer Alie menganggap ini sebagai akibat dari kurangnya pendidikan agama bagi masing-masing individu masyarakat.

Semangat cinta tanah air bernuansa keagamaan merasuk dalam dirinya. Kepada adiknya Hj. Marhamah, ia mengutarakan cita-citanya untuk menjadi pemimpin agama dan membangun sebuah perkampungan surga. Dimana penduduknya beragama Islam dan menjalankan syariat Islam.

KH. Noer Alie juga giat membantu ayah dan ibunya di rumah. Kebiasaan KH. Noer Alie yang sejak kecil sudah nampak adalah bila kerja tidak mau melakukan pekerjaan yang sedikit dan tanggung-tanggung. Ia hanya mau bekerja kalau pekerjaan itu menyeluruh, dari awal sampai akhir, meskipun sarat dengan beban berat.

Di pengajian guru Mughni, KH. Noer Alie dianggap sebagai murid yang pandai, cerdas, dan tekun. Semua mata pelajaran dikuasai KH. Noer Alie dengan baik. Sehingga wajar saja kalau guru Mughni amat sayang kepadanya. Bahkan khusus untuk pelajaran al-Fiah (pengetahuan tentang kaidah tata bahasa Arab), KH. Noer Alie mampu menghafal seribu bait lebih awal. Disaat yang sama, yaitu ketika guru Mughni berkeinginan untuk menjadikan KH. Noer Alie sebagai badalnya, KH. Noer Alie pun memberitahu kepada orangtua tentang keinginannya mondok ke guru Marzuki. Mengingat bakat, kesungguhan dan tekad yang besar, akhirnya dengan berat hati guru Mughni mengizinkan KH. Noer Alie dapat melanjutkan pendidikan pada guru Marzuki.

Pada tahun 1930-an KH. Noer Alie meneruskan pendidikannya dan mondok pada guru Marzuki di kampung Cipinang Muara, Klender. Disini KH. Noer Alie  menempuh pendidikan tahap lanjutan setingkat Aliyah dengan mata pelajaran sebagaimana yang diberikan pada guru Mughni, tetapi materinya dikembangkan dengan aspek pemahaman yang lebih ditekankan, seperti pelajaran Tauhid, Tajwid, Nahwu, Sharaf dan Fiqih.

Jika memiliki waktu senggang terutama saat libur hari jum’at, seminggu sekali guru Marzuki melakukan kegiatan berburu bajing. Bagi guru Marzuki, bajing sangat merugikannya dan petani kelapa umumnya, karena bajing mempunyai kegemaran memakan kelapa yang masih berada di pohon. Dan dari guru Marzuki ia belajar cara menggunakan senjata.

Pada tahun 1933, karena dinilai cerdas dan mampu mengikuti pelajaran dengan baik, KH. Noer Alie diangkat menjadi badal, yang fungsinya menggantikan sang guru apabila ia sedang udzur (halangan).

Di pondok guru Marzuki, KH. Noer Alie mempunyai banyak teman yang kelak akan menjadi sahabatnya dan ulama terkenal di bilangan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, seperti KH. Abdullah Syafi’ie, KH. Abdurrachman Shadri, KH. Abu Bakar, KH. Mukhtar Thabrani, KH. Abdul Bakir Marzuki, KH. Hasbullah, KH. Zayadi dll.

Sebagai murid yang mempunyai keinginan besar dalam menempuh pendidikan, KH. Noer Alie mempunyai keinginan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Dan dari cerita guru Marzuki, KH. Noer Alie mendengar bahwa pendidikan tingkat lanjut dan agar menjadi ulama yang baik adalah di Makkah. Awalnya guru Marzuki dan H. Anwar pun keberatan, karena melihat ekonomi yang pas-pasan. Guru Marzuki hanya dapat menyarankan agar KH. Noer Alie melanjutkan belajarnya ke guru Abdul Madjid di Pekojan. Tapi KH. Noer Alie menilai, ia tidak akan berkembang jika masih berada di lingkungan Batavia. Mendengar rengekan anak kesayangannya yang berbakat itu, H. Anwar tidak dapat menahan haru. Sebelum berangkat KH. Noer Alie dan KH. Hasbullah menemui guru Marzuki untuk meminta restu. Di akhir pertemuan guru Marzuki berpesan pada kedua murid kesayangannya itu, “meskipun di Makkah belajar dengan banyak Syeikh, tapi kalian tidak boleh lupa untuk tetap belajar pada Syeikh Ali al-Maliki”.

Tahun 1934 KH. Noer Alie ditemani sahabatnya KH. Hasbullah berangkat menuju Makkah dengan uang pinjaman dari tuan tanah Wat Siong. Sesampainya di pelabuhan Jeddah, KH. Noer Alie disambut oleh Syeikh Ali Betawi yang bertugas menyambut jamaah haji atau para pelajar yang bermukim di Makkah. Selanjutnya KH. Noer Alie melanjutkan perjalanan menuju Makkah dengan kendaraan Onta selama dua hari satu malam.

Baru beberapa minggu di Makkah, KH Noer Alie mendapat kabar dari jamaah haji yang baru datang, bahwa guru yang sangat dicintai dan dihormatinya, guru Marzuki, meninggal dunia. Untuk sementara waktu, KH. Noer Alie, KH. Hasbullah dan orang-orang yang kenal dengan guru Marzuki berkabung dan melakukan shalat ghaib.

Sesuai dengan pesan gurunya, KH. Noer Alie langsung menghubungi Syeikh Ali al-Maliki. Adalah wajar jika guru Marzuki meminta KH. Noer Alie untuk belajar kepada Syeikh Ali al-Maliki karena guru Marzuki adalah murid kesayangan Syeikh Ali al-Maliki ketika mukim di Makkah sejak tahun 1900-1910.

Saat itu Syeikh Ali al-Maliki berusia 75 tahun.  Syeikh Ali al-Maliki adalah Syeikh yang mengajarkan berbagai macam cabang ilmu agama Islam, tapi ajarannya lebih dititikberatkan pada Hadits.

Kedekatan KH. Noer Alie dengan Syeikh Ali al-Maliki terwujud pula dalam kegiatan sehari-hari. Hampir setiap hari, apabila menuju dan dari Masjidil Haram KH. Noer Alie memapah Syeikh yang sudah renta itu, yang membutuhkan waktu berjalan sekitar 15 menit.

Selain dengan Syeikh Ali al-Maliki, KH. Noer Alie pun menggali ilmu agama dari syeikh lain, terutama Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Ahmad Fatoni, Syeikh Ibnul Arabi, Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi, Syeikh Achyadi, Syeikh Abdul Zalil dan Syeikh Umar at-Turki.

Kepada Syeikh Umar Hamdan yang berusia sekitar 70 tahun, KH. Noer Alie belajar Kutubussittah. Syeikh Ahmad Fatoni adalah Syeikh yang berasal dari Patani (Muangthai), berumur sekitar 40 tahun, yang memberikan pelajaran Fiqih dengan kitab Iqna sebagai acuannya. Melalui Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi yang berusia 45 tahun, KH. Noer Alie belajar ilmu Nahwu, Qawafi (Sastra), dan Badi’ (Mengarang). Selain itu Syeikh Quthbi pun mengajarkan ilmu Tauhid dan Mantiq (ilmu logika yang mengandung Falsafah Yunani) dengan kitab Asmuni sebagai acuannya. Sedangkan dari Syeikh Abdul Zalil diperoleh ilmu politik, Syeikh Umar at-Turki dan Syeikh Ibnul Arabi, diperoleh ilmu Hadits dan Ulumul Qur’an.

Berada jauh dengan tanah air tidak membuat KH. Noer Alie lupa dengan bangsanya. Melalui wesel dari orangtua dan surat kabar yang terbit di Saudi Arabia dan Hindia Belanda, KH. Noer Alie mengetahui situasi dan kondisi dunia dan tanah airnya. Adanya sarana organisasi seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia (Pertindo), dan Perhimpunan Pelajar Indonesia-Malaya (Perindom), telah menggerakkan hati KH. Noer Alie untuk turut andil didalamnya. Pada beberapa kesempatan ia sempat berdialog dengan beberapa pelajar asal jepang, diantaranya adalah Muhammad Abdul Muniam Inada.

Betapapun pentingnya organisasi, KH. Noer Alie menyadari bahwa menuntut harus ilmu itu lebih diutamakan. Selain itu faktor yang membuat KH. Noer Alie tidak memasuki organisasi yang lebih besar adalah karena masih banyak teman-temannya yang kesulitan keuangan, dan lemahnya kemampuan intelektual dan pengalaman organisasi dari individu masing-masing teman-temannya. KH. Noer Alie pun sadar bahwa kekuatan bisa dibina dari yang kecil, dari yang bawah. Sebagai realisasinya, KH. Noer Alie dan beberapa temannya seperti KH. Hasan Basri membentuk organisasi Persatuan Pelajar Betawi (PPB), dengan KH. Noer Alie sebagai ketuanya.

Ketika suasana mendekati perang dunia II ( akhir 1939 ), KH. Noer Alie yang sudah memiliki cukup ilmu memutuskan untuk kembali ke tanah air. Syeikh Ali al-Maliki yang melihat potensi keulamaan KH. Noer Ali, berpesan diakhir pertemuan:
“Kalau kamu mau pulang, silahkan pulang. Tapi Ingat, jika bekerja jangan jadi penghulu (pegawai pemerintah).  Kalau kamu mau mengajar, saya akan ridha dunia-akhirat”.

Mendirikan Pesantren dan Berjuang Mempertahankan Kemerdekaan

Kepulangan KH. Noer Alie ke kampung halamannya Ujung Malang pada awal Januari tahun 1940, telah menjadi duri dalam daging bagi tuan tanah dan pemerintah Hindia Belanda. Setelah mendirikan pesantren, maka di tahun yang sama tepatnya pada bulan April, ia menikah dengan Hj. Siti Rahmah binti KH. Mughni.

Salah satu karya KH Noer Alie yang dapat kita rasakan manfaatnya sampai sekarang adalah pembangunan dan pembukaan akses jalan secara besar–besaran antara kampung Ujung Malang, Teluk Pucung, dan Pondok Ungu. Dalam setiap jalan yang dibangun beliau tidak pernah mengeluarkan biaya untuk pembebasan tanah warga, tetapi apabila itu merupakan instruksi dari Engkong Kiai, semua warga dengan sukarela dan ikhlas akan mewakafkan, dan beliau terjun langsung memimpin gotong-royong pengerjaannya pada pertengahan tahun 1941.

Sebagai salah satu pemimpin agama yang namanya sudah masuk dalam daftar Shimubu (Kantor Urusan Agama), pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), KH. Noer Alie menyikapinya dengan sangat hati–hati.

Pada pertengahan April 1942 KH. Noer Alie memenuhi undangan tentara Jepang menghadap pimpinan Shimubu di kantor Shimubu, dekat masjid Matraman, Jatinegara. Ternyata disana ada Muhammad Abdul Muniam Inada, pelajar Jepang yang menjadi temannya di Makkah menjadi ketua Shimubu.

Secara formal, atas nama pemerintahan pendudukan, Muniam meminta kepada KH. Noer Alie agar bersedia membantu Jepang dalam bentuk partisipasi langsung dalam aktifitas yang diprogramkan Shimubu. Menyadari posisinya dalam kondisi serba salah, dengan kemahirannya berdiplomasi, KH. Noer Alie secara halus menolak ajakan Muniam dengan alasan “Saya sedang memimpin pesantren yang baru didirikan. Kalau saya terjun bersama ulama lain, bagaimana nasib santri saya, mereka akan tercerai berai tak terurus”. Dengan alasan yang masuk akal tersebut Muniam mengijinkan KH. Noer Alie untuk tetap mengurus pesantren sambil tetap berdoa demi kemakmuran Asia Raya.

Untuk mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu bangsa Indonesia harus bertempur secara fisik, KH. Noer Alie menyalurkan santrinya ke dalam Heiho (pembantu prajurit), Keibodan (barisan pembantu polisi) di Teluk Pucung, dan menyuruh salah seorang santrinya untuk mengikuti latihan kemiliteran Pembela Tanah Air (PETA).

Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, KH. Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Laskar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Gelar kiai haji sendiri beliau dapatkan dari bung Tomo yang dalam pidatonya melalui pemancar Radio Surabaya atau Radio Pemberontaknya berkali-kali menyebut nama KH. Noer Alie, akhirnya gelar guru pun tergeser dan berganti dengan makna yang sama, Kiai Haji.

Ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947 KH. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI. KH. Noer Alie pun kembali ke Jawa Barat dengan berjalan kaki dan mendirikan sekaligus menjadi Komandan Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang.

Untuk menunjukkan bahwa pertahanan Indonesia masih eksis, dibeberapa tempat MPHS melakukan perang urat syaraf (psy-wars). KH Noer Alie memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok, Rawa Gede dan Karawang untuk membuat bendera merah-putih ukuran kecil yang terbuat dari kertas.

Ribuan bendera tersebut lalu ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk dengan tujuan membangkitkan moral rakyat bahwa ditengah-tengah kekuasaan Belanda masih ada pasukan Indonesia yang terus melakukan perlawanan.

Aksi herois tersebut membuat Belanda terperangah dan mengira pemasangan bendera merah-putih tersebut dilakukan oleh TNI, Belanda langsung mencari Mayor Lukas Kustaryo, karena tidak ditemukan Belanda marah dan membantai sekitar empat ratus orang warga sekitar Rawa Gede.

Pembantaian yang terkenal dalam laporan De Exceseen Nota Belanda itu disatu sisi mengakibatkan terbunuhnya rakyat, namun disisi lain para para petinggi Belanda dan Indonesia tersadar bahwa disekitar Karawang, Cikampek, Bekasi dan Jakarta masih ada kekuatan Indonesia. Sedangkan citra Belanda kiat terpuruk karena telah melakukan pembunuhan keji terhadap penduduk yang tidak bedosa.

Pada tanggal 29 November 1945 terjadi pertempuran sengit antara pasukan KH Noer Alie dengan Sekutu di Pondok Ungu. Pasukan yang sebelumnya telah telah diberikan motifasi juang seperti puasa, doa hizbun nasr, ratib al-haddad, wirid, shalat tasbih, shalat hajat, dan shalat witir, lupa dengan pesan KH. Noer Alie agar tidak sombong dan angkuh. Melihat gelagat yang tidak baik, KH. Noer Alie menginstruksikan seluruh pasukannya untuk mundur. Sebagian yang masih bertahan akhirnya menjadi korban di pertempuran Sasak Kapuk.

Kecintaan terhadap bidang pendidikan telah membuat KH. Noer Alie berinisiatif untuk membentuk Lembaga Pendidikan Islam (LPI) bersama KH. Rojiun, yang salah satu programnya adalah mendirikan Sekolah Rakyat Islam di Jakarta dan Jawa Barat. Di Ujung Malang, KH Noer Alie kembali mengaktifkan pesantrennya dengan SRI sebagai lembaga pendidikan pertama.

Pada bulan Juli 1949 KH. Noer Alie diminta oleh Wakil Residen Jakarta Muhammad Moe’min untuk menjadi Bupati Jatinegara. Teringat pesan gurunya Syeikh Ali al-Maliki agar tidak menjadi pegawai pemerintah, maka KH. Noer Alie pun menolak dengan halus tawaran tersebut.

Membangun Politik Membentengi Ummat

Paska perang kemerdekaan perjuangan KH. Noer Alie terus berlanjut dalam bidang politik, pendidikan, dan sosial. Maka pada tanggal 19 April 1950 KH. Noer Alie ditunjuk sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara.

Peran Politik KH Noer Alie cukup besar dalam perjuangan pergerakan Republik Indonesia terutama untuk wilayah Bekasi. KH. Noer Alie juga tercatat sebagai salah seorang yang membidani lahirnya kabupaten bekasi yang sebelumnya bernama kabupaten Jatinegara.

Setelah LPI tidak aktif, maka pada tahun 1953 KH. Noer Alie membentuk organisasi sosial yang diberi nama Pembangunan Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (P3) yang kedepannya akan berganti nama menjadi Yayasan Attaqwa. Yayasan P3 adalah induk dari pendidikan SRI, pesantren, dan kebutuhan ummat Islam lainnya. Kemudian pada tahun 1954 KH. Noer Alie menginstruksikan kepada KH. Abdul Rahman untuk membangun Pesantren Bahagia yang murid pertamanya adalah lulusan SRI Ujung Malang yang berjumlah 54 orang. Setelah dinilai mandiri oleh KH. Noer Alie, maka pada tanggal 6 agustus 1956 Yayasan P3 telah mendapat pengakuan secara hukum melalui notaris Eliza Pondang di Jakarta.

Pada pemilu 1955, Masyumi Bekasi memperoleh suara terbanyak. Kemenangan ini tidak terlepas dari kemahiran politik dan kharisma KH. Noer Alie. Atas dasar itu ia ditunjuk Masyumi Pusat sebagai salah satu anggota Dewan Konstituante pada bulan September 1956.

Saat aktif di pusat. Ia pun hadir dalam Muktamar Alim Ulama Seluruh Indonesia di Palembang pada 8-11 Sepetember 1957. Dan dihadiri oleh lebih dari seribu ulama dari Aceh hingga Papua. Disini KH. Noer Alie diangkat sebagai anggota Seksi Hukum Majelis Permusyawaratan Ulama Indonesia.

Setelah redupnya kejayaan DPP Masyumi dan diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PPRI) yang didirikan untuk menandingi Pemerintahan Pusat. Maka untuk melindungi umat agar tidak terombang-ambing oleh kekuatan luar yang tidak baik, KH. Noer Alie pun bergabung dengan Badan Kerjasama Ulama-Militer (BKS-UM) dan diangkat sebagai anggota Majelis Ulama di Resimen Infanteri 7/III Purwakarta.

Mewujudkan Perkampungan Surga

Setelah pengunduran dirinya dari pentas politik praktis, kembalinya KH. Noer Alie di tengah-tengah umat dimaknai oleh murid dan para pecintanya sebagai hikmah dan rahmat. Bagaimana tidak, kalau sebelumnya mereka jarang bertemu KH. Noer Alie, sejak saat itu dapat bertemu setiap hari. Berbagai persoalan, terutama yang menyangkut masalah agama dan politik yang sulit dimengerti umat dapat terjawab memuaskan. Kehadiran KH. Noer Alie dirasakan sebagai pembawa kesejukan dan pelindung umat.

Dipindahkannya Pesantren Bahagia dari kampung Dua Ratus ke Ujung Malang memudahkan KH. Noer Alie dan para guru dalam proses belajar-mengajar. selanjutnya tahun 1962 KH. Noer Alie mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Persiapan Madrasah Menengah Attaqwa (SPMMA). Sedangkan untuk pendidikan putri, pada tahun 1964 KH. Noer Alie mendirikan Madrasah al-Baqiyatus-Shalihat.

Tahun 1963 ia nyaris ditangkap, ketika banyaknya tamu dari luar Bekasi yang berkunjung ke kediaman KH. Noer Alie. Kondisi ini dimanipulasi oleh PKI yang membuat isu bahwa tamu yang berkunjung itu adalah anggota DI/TII. Mendengar pengaduan tersebut aparat keamanan segera mengepung Pesantren Attaqwa. KH. Noer Alie pun menyangkal tuduhan itu, dan meminta tentara agar menggeledah. “Sekarang kita geledah kampung ini. Kalau terdapat anggota DI, tembak saya. Tapi kalau nggak dapat, ente yang ana tembak”. Medengar keseriusan dan kebenaran argumentasi KH. Noer Ale, akhirnya pasukan ditarik mundur.

Ketika terjadi peristiwa G30S/PKI meletus, para santri KH. Noer Alie yang tergabung dalam Cabang PII ikut membantu pemberantasan PKI bersama dengan TNI dan generasi muda lainnya. Saat itu juga KH. Noer Alie membagikan fotocopy Hizb Shagir kepada masyarakat Ujung Harapan dan sekitarnya yang harus diamalkan ketika bahaya terjadi.

Melihat kemunduran pesantren-pesantren yang disebabkan karena intervensi pemikiran dan modernisasi sekuler, ataupun karena faktor kiayinya yang banyak meninggalkan pondok pesantren. Maka melalui musyawarah antara para kiai dan ulama pemimpin pondok pesantren di Jawa Barat, yang diadakan di Cianjur 4-6 Maret 1972 (19-21 Muharram 1392 H) sepakat membentuk Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat, dengan KH. Noer Alie sebagai Ketua Umum Majelis Pimpinan BKSPP didampingi KH. Sholeh Iskandar sebagai Ketua Badan Pelaksana BKSPP,  KH. Khair Effendi, dan KH. Tubagus Hasan Basri.

Pada tahun 1982-1983 ramai dibicarakan masalah pelarangan jilbab bagi siswi Muslim di SLTP dan SLTA. KH. Noer Alie bersama BKSPP membuat Fatwa Ulama Pondok Pesantren tentang busana Muslimah. KH. Noer Alie juga menentang RUU Perkawinan 1973 yang menyimpang dari ajaran Islam. Pada puncaknya ia kerahkan 1000 orang ulama di Pesantren Asyafi’iyyah Jatiwaringin untuk berbaiat tetap memperjuangkan RUU Perkawinan yang sesuai dengan ajaran Islam. Terkenal pula kegiatannya menentang judi-judi resmi seperti Porkas dan SDSB.

Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman, sudah waktuknya tampuk kepemimpinan dilimpahkan kepada para kader yang sudah ditempanya sejak lama. Bersamaan dengan itu nama Yayasan Pembangunan Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (P3) juga ikut diganti menjadi Yayasan Attaqwa. Maka KH. Noer Alie yang bertindak sebagai Pendiri dan Pelindung, memilih putra tertuanya, KH. M. Amin Noer, MA, sebagai Ketua Yayasan Attaqwa.

Bersama H. Suko Martono, pejabat Pemerintah Daerah Bekasi, dan tokoh Islam di Bekasi, KH. Noer Alie turut serta membentuk Yayasan Nurul Islam, yang salah satu programnya adalah membangun gedung Islamic Centre Bekasi, yang ide pembangunannya berasal dari KH. Noer Alie.

Dari catatan lain ditemukan bahwa pada tahun 1984 KH Noer Alie kedatangan tamu pakar sejarah dari Belanda yang ditemani oleh seorang penterjemah dari wartawan koran Pelita.

Dari pembicaraan Pakar sejarah dari Belanda tersebut terkuak bahwa KH. Noer Alie, yang oleh penjajah Belanda lebih dikenal sebagai Kolonel Noer Alie. Pakar sejarah dari Belanda itu kagum akan sosok KH. Noer Alie dan berkata:

“Ternyata seorang Kolonel Noer Alie bukan tentara yang gagah perkasa. Penampilan anda begitu bersahaja. Bahkan sangat sederhana. Malah pakai kain dan kopiah putih. Saya takjub dengan jati diri Anda“.

Tatkala benih “perkampungan surga” mulai dirintis, dan tatkala cahaya Islam mulai menunjukkan tanda-tanda kecerahannya, sejak awal Mei 1991 KH. Noer Alie jatuh sakit. Sembilan bulan kemudian, tepatnya pada 29 Januari 1992, KH. Noer Alie wafat, dipanggil Sang Khaliq di rumahnya, di tengah-tengah kompleks Pondok Pesantren Attaqwa Putri yang dirintisnya sejak muda.beliau meninggalkan seorang istri bernama..dan ..anak…serta

Pejuang Sepanjang Hayat

Mengenang KH Noer Alie

adalah mengenang

pejuang sepanjang hayat,

dibidang manapun

diperlukan bangsa dan umat.

Nama beliau mesti tercatat

di “tugu syuhada” Indonesia

sebagai ulama teladan

yang selalu bersama rakyat.

Jakarta, 1991

Jenderal TNI (Purn) Abdul Haris Nasution

Sumber Tulisan:

Anwar, Ali. 2006. K.H. NOER ALIE KEMANDIRIAN ULAMA PEJUANG, Bekasi : Yayasan Attaqwa.

Related Post



Tidak ada komentar:

Postingan Populer