Memuat...
Da’i keturunan Cina kini bermunculan. Ada yang mengorbankan harta milyaran untuk berdakwah. Pertanda apa?
KINI ada sesuatu yang baru di kalangan keturunan Cina. Sepuluh tahun lalu kelompok minoritas ini selalu menjadi sasaran dakwah, tapi kini berbalik: di antara mereka ada yang mampu memberi wejangan agama kepada khalayak muslim pribumi. Meski belum sebanding dengan KH Zainuddin MZ, da’i kondang berjuta umat itu, dalam menyampaikan dakwah, para da’i keturunan Cina itu mampu menyajikan wejangan yang bermutu, mengundang perhatian pendengar. Bahkan di antara mereka ada yang benar-benar sarat waktu: diundang ke sana kemari untuk memberikan ceramah.
Sim Song Thian alias Alifuddin El Islamy, umpamanya. Da’i berbadan subur tersebut sedang naik daun dalam lima tahun terakhir ini. Setiap hari ia bisa menghadiri empat undangan pada tempat yang berjauhan.
Senin pekan lalu, misalnya, ia berceramah di Baturaja dan Palembang, besoknya di Gedung Landmark, Jakarta, lalu dilanjutkan dengan shooting on air Mimbar Ramadhan di RCTI. Pada malamnya ia harus berceramah di suatu masjid di Jakarta. Rabu pagi, ia sudah terbang ke Ambon menghadiri beberapa undangan ceramah. Seperti halnya da’i pribumi, ia sering diundang ke Malaysia dan Brunei. Saking sibuknya, lebih dari 20 undangan ceramah setiap hari yang terpaksa ditolaknya.
Di luar bulan Ramadhan, Alifuddin acap muncul pada acara kuliah subuh di televisi swasta. Di situ, di samping memberikan ceramah agama, ia sering mempertontonkan kefasihannya melantunkan ayat Quran. Itu setidaknya secara tak langsung, memberitahukan kepada pirsawan televisi bahwa lelaki bermata sipit ini juga mampu membaca Quran secara merdu dan tartil.
Penggemarnya cukup banyak. Tak hanya kalangan bawah, juga kaum gedongan. Ia sering diundang memberi pengajian di rumah pengusaha dan pejabat, bahkan di rumah keluarga Presiden Soeharto, di kawasan Jalan Cendana, Jakarta. Tak mengherankan bila dua televisi swasta, RCTI dan AN-teve, di bulan Ramadhan ini berlomba menampilkan alumnus Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol, Padang, ini pada hari yang sama, Selasa pekan lalu. Di RCTI, Alifuddin tampil pada acara “Mimbar Ramadhan” dengan tema Nuzulul Quran. Di situ, Alifuddin selain menjawab pertanyaan pembawa acara, juga menjawab pertanyaan dari pemirsa lewat telepon. Sedangkan di AN-teve, ia tampil dalam acara “Mutiara Ramadhan”. Di sini, Alifuddin menjawab pertanyaan “Om Pasikom” GM Sudarta, pembawa acara tetap program ini, dengan tema: Orang Islam Itu Bersaudara.
Hal yang sama dialami da’i keturunan Cina lainnya. Di antaranya, Anton Medan (Tan Hok Liang), bekas preman Medan, Hajah Komariah (Lie Giok Sin), Haji Syafi’i Antonio (Nio Cwan Chung), dan Hajah Maisaroh (Lie Soei Moy). Semua mereka berada di bawah payung Yayasan Karim Oey, yang bermarkas di Masjid Lautze di pecinan Jakarta.
Yang spesifik di antara mereka adalah Haji Syafi’i Antonio MSc., 28 tahun, salah seorang direktur Bank Muamalat. Da’i muda berwajah necis kelimis ini dalam selera dakwah berbeda dengan Alifuddin El Islamy. Itu misalnya terlihat pada penampilannya—dua kali selama Ramadhan -- di AN-teve. Dalam acara “Sahur- Sahur” di televisi swasta yang meriah dengan acara keagamaan ini, Antonio selalu berbicara masalah ekonomi Islam, tema yang jadi bahan perbincangan di kalangan umat Islam lebih kurang 15 tahun terakhir ini. Maksudnya, di acara itu, lelaki kelahiran Sukabumi ini berbicara tentang zakat harta, zakat penghasilan, bunga bank, dan tentu tak ketinggalan soal Bank Muamalat, yang dikenal sebagai bank bagi hasil itu. Maklumlah, Antonio pernah mandalami—selain syariah—ekonomi statistik pada salah satu universitas di Yordania. Setelah tamat, ia melanjutkan kuliah ke Universitas Islam Internasional di Malaysia. Di sini, Syafi’i mendapat kesempatan belajar tentang bank Islam, asuransi takaful, tabungan haji, dan lembaga pembangunan ekonomi Islam Malaysia. Itu dijalaninya atas saran Dr. Imaduddin Abdurrahim, tokoh ICMI. “Jangan syariah saja tapi kuasai juga ekonomi. Sebab engkau orang Cina,” demikian kata Imaduddin kepada Antonio.
Pilihan ini tampaknya diperhitungkan matang oleh Antonio. Ketika mempelajari syariah, ia melihat dualisme di kalangan intelektual muslim. Di satu sisi, katanya, ulama menguasai syariah yang berkonsentrasi pada urusan wudu, batal atau tidaknya bersentuhan kulit lelaki dan wanita, tapi mereka lupa bagaimana umat mengambil dana dari bank, stock market, atau bagaimana seharusnya leasing berjalan. “Pendeknya, perkenalan Islam dengan dunia ekonomi kurang,” kata Syafi’i Antonio.
Sementara itu, di sisi lain, para bankir muslim terlalu asyik dengan dunianya. Mereka lupa, kata Antonio, bahwa Islam juga punya khasanah dan perbendaharaan konsep ekonomi yang bagus. Dua dunia ini, para ulama dan para praktisi, bagi Antonio, harus bertemu. Soalnya, dualisme itu yang membuat Islam di mata orang Cina identik dengan keterbelakangan. Sehingga menyebabkan Islam lambat diterima keturunan Cina. “Itu sebabnya saya bertekad mengatasi masalah ini,” kata Antonio.
Tekad Antonio tersebut tersalurkan lewat paguyuban Kontak Bisnis Haji Karim Oey. Lembaga yang dipimpin Antonio ini bertujuan melakukan pendekatan dakwah untuk masyarakat keturunan Cina. Ini diteladani Syafi’i Antonio dari cara para nabi mendekati umatnya yang berbicara dengan bahasa kaumnya. Nabi Musa, umpamanya, mengalahkan sihir kaumnya. Isa al Masih mengungguli ilmu kedokteran tabib pada zamannya. Dan Nabi Muhammad SAW mendekati kaumnya lewat bahasa sastra dan ekonomi. Ingat, dalam hal ekonomi, Rasulullah didukung oleh kekuatan istrinya, Khadijah.
Program kontak bisnis Karim Oey ini sederhana. Mereka mencoba menghimpun potensi yang ada, seperti para bankir, industriwan, pemilik HPH, kontraktor, dan pemilik percetakan. Kontak bisnis merupakan ajang silaturahmi, dakwah, dan bisnis. Caranya, semua tokoh tersebut diundang, misalnya untuk membicarakan bisnis perumahan. Untuk itu diundang Menteri Akbar Tanjung. Sebelum Akbar Tanjung berbicara, pada jam pertama diadakan pengajian.
Kontak bisnis telah menunjukkan hasil. Seorang pengusaha agribisnis, anggota kontak bisnis, memiliki keagenan palem terbesar di Indonesia. Ia mendapat kesulitan mencari orang yang bersedia menunggui pohon palem hingga berumur satu sampai tiga bulan. Kesulitan itu segera teratasi lewat pertemuan kontak bisnis. Di pertemuan itu, sang pengusaha berkenalan dengan seorang kiai pengasuh pesantren. Maka bibit palem itu dibagikan secara gratis kepada para santri kiai tersebut untuk ditanam di pekarangan pesantren. Buahnya dibeli oleh pengusaha tersebut dan dijual ke Australia.
Adalah Baitul Mal wa Tamwil (BMT), konsep lain yang ditawarkan Antonio. Itu sudah diterapkan Antonio dan dua temannya. Modal awal BMT ini mereka kumpulkan dari uang tabungan mahasiswa: Rp 4,7 juta. Lalu modal tersebut mereka pinjamkan pada tukang bajigur, tukang sayur, dan pedagang kecil lainnya. Mula-mula mereka mampu memberi pinjaman paling besar Rp 100 ribu, lalu meningkat menjadi Rp 200 ribu, dan akhirnya menjadi Rp 1 juta. Hanya dalam waktu 20 bulan, aset BMT tersebut telah menjadi Rp 250 juta. Dan kini BMT itu telah berubah menjadi BPR Syariah.
Konsep ini diterima banyak orang. Sekarang BMT telah berkembang hingga 30. Kemudian konsep ini ditiru Asosiasi Bank Syariah (Asbisindo) di Bandung, yang kini telah memiliki sekitar 50 BMT. Bahkan Amin Azis dan CIDES mengadopsi konsep ini dengan Yibunk (Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) dan Pinbuk (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). Konsep ini diperkenalkan kepada tokoh-tokoh, seperti B.J. Habibie, Ginandjar Kartasasmita, Saleh Affif, dan KH Hasan Basri. Sehingga, pada 7 Desember lalu, Presiden Soeharto mencanangkan bahwa BMT sebagai salah satu media pengentasan kemiskinan.
Animo masyarakat terhadap masalah yang disajikan Antonio tampak cukup tinggi. Itu terlihat, misalnya, pada acara “Sahur- Sahur” itu tadi. Cukup gencar pertanyaan dari para pemirsa kepada Antonio. Semua dijawabnya dengan dalil fikih yang meyakinkan. Itu ia sampaikan dalam bahasa Arab yang fasih, dan tentu diiringi dengan terjemahannya. Sehingga, kesan kecinaan Antonio yang berlidah kelu terhapus seketika da’i muda itu bertutur lembut dan jelas.
Baik Alifuddin maupun Antonio tak hanya terpaku pada dakwah lisan. Mereka juga terjun ke dunia tulisan. Sudah 14 buku agama diterbitkan Alifuddin, di antaranya 91 Wasiat Allah Untuk Orang Mukmin dan Hadits-Hadits Riwayat Imam Syafi’ie. Untuk buku 91 Wasiat Allah Untuk Orang Mukmin, Alifuddin mengumpulkan firman khusus yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman.
Sementara itu Syafi’i Antonio secara perlahan telah menuangkan ide ekonomi syariah kedalam dua buku: Prinsip Operasional Bank Islam dan Apa dan Bagaimana Bank Islam. Selain itu, ia juga menerjemahkan buku Islamic Economic Theory and Practice tulisan Profesor M. Abdul Manan dari Pakistan. Sekarang Antonio bersama Hartono Mardjono, Erman Rajagukguk, dan Mariam Darus tengah menyiapkan buku tentang arbitrase Islam. Buku ini sengaja ditulis untuk mendukung maraknya perkembangan Bank Islam dan BPR dengan sistem syariah. Antonio juga menyiapkan buku Bagaimana Menghitung Zakat Perusahaan dan Zakat Profesi. Buku ini berisi tinjauan akuntansi dan fikih.
Bagi kedua da’i ini tentu tak sulit menulis buku agama. Karena mereka memang pernah duduk di perguruan tinggi Islam. Tak demikian dengan Pak Keim Lioe, 43 tahun, putri Empeh Wong Kam Fu, astrolog terkenal dari Malang, dan Haji Yukeng, mantan kontraktor Pertamina. Atau Anton Medan, mantan preman, yang terjun menjadi da’i. Mereka ini, boleh dikatakan, hanya bermodalkan hidayah dari Allah. Putri Wong Kam Fu, misalnya, belajar Islam hanya dengan cara bertanya-tanya. “Saya banyak bertanya tentang berbagai hal, tentang ayat Quran dan hadis Nabi,” kata Putri Wong Kam Fu kepada Herry Mohammad dari Gatra. Tapi anehnya, ketika di atas mimbar, ia mampu sekitar dua jam berbicara tanpa teks. “Saya berbicara sesuai audiens. Dan ayat- ayat Quran atau hadis meluncur dengan sendirinya,” kata Leoni Fatimah, nama lain Putri Wong Kam Fu.
Begitu pula yang dialami Haji Yukeng, 45 tahun. Ia mengaku masuk Islam “semata-mata karena hidayah Allah”. Ini tak berarti perjalanan Yukeng menuju Islam tanpa halangan. Ketika ia memutuskan masuk Islam, warga Tionghoa di Cirebon sempat geger. “Selain dikucilkan, ada juga yang menguber-nguber saya untuk dibunuh,” kata Yukeng kepada H. Tantan dari Gatra.
Jika saya berceramah, katanya, saya hanya menyampaikan pengalaman saya masuk Islam. Karena itu ia enggan disebut sebagai da’i. Dalam berceramah, Yukeng memang tak sehebat Alifuddin El Islamy. Tapi ia dikenal sebagai yang suka bicara blak-blakan. Kata-katanya sering membikin panas aparat Pemerintah. Karena itu, ia pernah berurusan ke pengadilan pada tahun 1992. Namun pengalaman itu tak membuat ia keder. “Saya bertekad tak hanya harta, jiwa dan raga saya pun siap saya korbankan demi Islam,” kata Yukeng.
Yukeng tak mengumbar kata-kata. Sejak ia memilih Islam sebagai jalan hidupnya, Ramadhan 1983, seluruh kekayaannya—menurut teman dekatnya sekitar Rp 30 milyar—digunakannya untuk membiayai kegiatan Majelis Taklim Hidayatullah di Cirebon, Jawa Barat. Berapa persisnya, ia tak mau mengungkapkannya. “Itu urusan Allah,” kata Yukeng. Ia pun menanggalkan predikat pengusaha dari dirinya. Dan ia bercita- cita menghapus citra jelek yang bertengger di pundak orang Cina: selalu berkolusi dengan pejabat. “Saya ingin mengubah citra itu,” kata Yukeng.
Pada mulanya Majelis Taklim Hidayatullah memiliki sekitar 75 jamaah. Kini majelis taklim itu telah mempunyai puluhan ribu jamaah, pri dan nonpri. Hampir setiap malam Sabtu, saat pengajian umum diadakan, jamaah tersebut memadati masjid di Majelis Taklim Hidayatullah. Untuk satu kegiatan itu, dibutuhkan biaya tak kurang dari Rp 3 juta. Selain itu, Majelis Taklim Haji Yukeng ini juga mengirim mubalig-mubalig ke daerah- daerah, seperti Indramayu, Majalengka, dan Kuningan.
Tampilnya da’i Cina ini setidaknya menunjukkan bahwa mereka bisa diterima oleh kalangan pribumi. Itu tak lepas dari perjuangan Haji Abdul Karim Oey (almarhum), pendiri Pembina Iman Tauhid Islam (PITI), dan Haji Junus Jahya. Kedua tokoh ini pernah duduk dalam kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (Pusat) untuk periode 1980-1985. “Dengan memasuki Islam, orang Cina akan diterima secara utuh,” kata Junus Jahya.
Sejauh mana pengaruh da’i Cina bagi orang Cina sendiri? Menurut Junus Jahya, secara langsung memang tak terasa. Dakwah di kalangan Cina, katanya, tak mudah. Orang Cina punya paham Konfusianisme: ubah dirimu dan keluargamu baru mengubah dunia. “Jadi orang Cina bila istrinya belum Islam, ia akan sulit ditembus,” kata Junus Jahya. Alifuddin, katanya, di Medan bisa berdakwah, tapi di kalangan Cina Medan belum tentu bisa.Tapi secara tak langsung tentu ada pengaruhnya. Setidaknya dengan tampilnya da’i Cina ini, secara perlahan, mengubah pandangan orang Cina sendiri terhadap Islam. Misalnya, sering seorang Alifuddin memberikan ceramah di sebuah pabrik, menurut Junus Jahya, itu bisa mengubah pandangan direktur pabrik—keturunan Cina—itu terhadap Islam. Para direktur ini, kata Junus Jahya, tentu merasa bahwa dekat dengan Islam itu tak merugikan.
Meski jumlah keturunan Cina yang masuk Islam tak seberapa, tapi dari segi kualitas meningkat. Hal ini sudah terasa sejak akhir 1970-an, yakni ketika Junus Jahya dan Prof. Dr. Muhammad Budiyatna, sekarang Dekan FISIP-UI, masuk Islam. Tak hanya di kalangan intelektual. Kalangan pengusaha kaya sudah mulai tertarik pada Islam. Jenderal R. Hartono, Kepala Staf Angkatan Darat, misalnya, tahun lalu, menjadi saksi saat dua pengusaha keturunan Cina masuk Islam, di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta. Yang cukup mengagetkan, tiga tahun lalu, Nyonya Lydia, istri konglomerat terkemuka Eka Tjipta Widjaja, juga telah memeluk Islam.
Perkembangan muslim Tionghoa di Indonesia memang sulit dilacak. Tampaknya perlu penelitian serius tentang golongan minoritas ini.
Untuk itu, menurut Dr. Ahmad Satori, Dosen Pasca-Sarjana IAIN Jakarta, IAIN berniat melakukannya, sehingga bisa terungkap dampak positif dakwah pembauran bagi penanggulangan SARA yang selama ini merepotkan bangsa ini. Tapi bagi Junus Jahja, jelas. Begitu seorang keturunan Cina memeluk Islam, ia sudah langsung diterima dan berbaur dengan muslim lainnya, mayoritas penduduk negeri ini. (Julizar Kasiri dan Sapto Waluyo)/GIS.-
Majalah Berita Mingguan GATRA, 17 Februari 1996 ( No.14/II )
KINI ada sesuatu yang baru di kalangan keturunan Cina. Sepuluh tahun lalu kelompok minoritas ini selalu menjadi sasaran dakwah, tapi kini berbalik: di antara mereka ada yang mampu memberi wejangan agama kepada khalayak muslim pribumi. Meski belum sebanding dengan KH Zainuddin MZ, da’i kondang berjuta umat itu, dalam menyampaikan dakwah, para da’i keturunan Cina itu mampu menyajikan wejangan yang bermutu, mengundang perhatian pendengar. Bahkan di antara mereka ada yang benar-benar sarat waktu: diundang ke sana kemari untuk memberikan ceramah.
Sim Song Thian alias Alifuddin El Islamy, umpamanya. Da’i berbadan subur tersebut sedang naik daun dalam lima tahun terakhir ini. Setiap hari ia bisa menghadiri empat undangan pada tempat yang berjauhan.
Senin pekan lalu, misalnya, ia berceramah di Baturaja dan Palembang, besoknya di Gedung Landmark, Jakarta, lalu dilanjutkan dengan shooting on air Mimbar Ramadhan di RCTI. Pada malamnya ia harus berceramah di suatu masjid di Jakarta. Rabu pagi, ia sudah terbang ke Ambon menghadiri beberapa undangan ceramah. Seperti halnya da’i pribumi, ia sering diundang ke Malaysia dan Brunei. Saking sibuknya, lebih dari 20 undangan ceramah setiap hari yang terpaksa ditolaknya.
Di luar bulan Ramadhan, Alifuddin acap muncul pada acara kuliah subuh di televisi swasta. Di situ, di samping memberikan ceramah agama, ia sering mempertontonkan kefasihannya melantunkan ayat Quran. Itu setidaknya secara tak langsung, memberitahukan kepada pirsawan televisi bahwa lelaki bermata sipit ini juga mampu membaca Quran secara merdu dan tartil.
Penggemarnya cukup banyak. Tak hanya kalangan bawah, juga kaum gedongan. Ia sering diundang memberi pengajian di rumah pengusaha dan pejabat, bahkan di rumah keluarga Presiden Soeharto, di kawasan Jalan Cendana, Jakarta. Tak mengherankan bila dua televisi swasta, RCTI dan AN-teve, di bulan Ramadhan ini berlomba menampilkan alumnus Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol, Padang, ini pada hari yang sama, Selasa pekan lalu. Di RCTI, Alifuddin tampil pada acara “Mimbar Ramadhan” dengan tema Nuzulul Quran. Di situ, Alifuddin selain menjawab pertanyaan pembawa acara, juga menjawab pertanyaan dari pemirsa lewat telepon. Sedangkan di AN-teve, ia tampil dalam acara “Mutiara Ramadhan”. Di sini, Alifuddin menjawab pertanyaan “Om Pasikom” GM Sudarta, pembawa acara tetap program ini, dengan tema: Orang Islam Itu Bersaudara.
Hal yang sama dialami da’i keturunan Cina lainnya. Di antaranya, Anton Medan (Tan Hok Liang), bekas preman Medan, Hajah Komariah (Lie Giok Sin), Haji Syafi’i Antonio (Nio Cwan Chung), dan Hajah Maisaroh (Lie Soei Moy). Semua mereka berada di bawah payung Yayasan Karim Oey, yang bermarkas di Masjid Lautze di pecinan Jakarta.
Yang spesifik di antara mereka adalah Haji Syafi’i Antonio MSc., 28 tahun, salah seorang direktur Bank Muamalat. Da’i muda berwajah necis kelimis ini dalam selera dakwah berbeda dengan Alifuddin El Islamy. Itu misalnya terlihat pada penampilannya—dua kali selama Ramadhan -- di AN-teve. Dalam acara “Sahur- Sahur” di televisi swasta yang meriah dengan acara keagamaan ini, Antonio selalu berbicara masalah ekonomi Islam, tema yang jadi bahan perbincangan di kalangan umat Islam lebih kurang 15 tahun terakhir ini. Maksudnya, di acara itu, lelaki kelahiran Sukabumi ini berbicara tentang zakat harta, zakat penghasilan, bunga bank, dan tentu tak ketinggalan soal Bank Muamalat, yang dikenal sebagai bank bagi hasil itu. Maklumlah, Antonio pernah mandalami—selain syariah—ekonomi statistik pada salah satu universitas di Yordania. Setelah tamat, ia melanjutkan kuliah ke Universitas Islam Internasional di Malaysia. Di sini, Syafi’i mendapat kesempatan belajar tentang bank Islam, asuransi takaful, tabungan haji, dan lembaga pembangunan ekonomi Islam Malaysia. Itu dijalaninya atas saran Dr. Imaduddin Abdurrahim, tokoh ICMI. “Jangan syariah saja tapi kuasai juga ekonomi. Sebab engkau orang Cina,” demikian kata Imaduddin kepada Antonio.
Pilihan ini tampaknya diperhitungkan matang oleh Antonio. Ketika mempelajari syariah, ia melihat dualisme di kalangan intelektual muslim. Di satu sisi, katanya, ulama menguasai syariah yang berkonsentrasi pada urusan wudu, batal atau tidaknya bersentuhan kulit lelaki dan wanita, tapi mereka lupa bagaimana umat mengambil dana dari bank, stock market, atau bagaimana seharusnya leasing berjalan. “Pendeknya, perkenalan Islam dengan dunia ekonomi kurang,” kata Syafi’i Antonio.
Sementara itu, di sisi lain, para bankir muslim terlalu asyik dengan dunianya. Mereka lupa, kata Antonio, bahwa Islam juga punya khasanah dan perbendaharaan konsep ekonomi yang bagus. Dua dunia ini, para ulama dan para praktisi, bagi Antonio, harus bertemu. Soalnya, dualisme itu yang membuat Islam di mata orang Cina identik dengan keterbelakangan. Sehingga menyebabkan Islam lambat diterima keturunan Cina. “Itu sebabnya saya bertekad mengatasi masalah ini,” kata Antonio.
Tekad Antonio tersebut tersalurkan lewat paguyuban Kontak Bisnis Haji Karim Oey. Lembaga yang dipimpin Antonio ini bertujuan melakukan pendekatan dakwah untuk masyarakat keturunan Cina. Ini diteladani Syafi’i Antonio dari cara para nabi mendekati umatnya yang berbicara dengan bahasa kaumnya. Nabi Musa, umpamanya, mengalahkan sihir kaumnya. Isa al Masih mengungguli ilmu kedokteran tabib pada zamannya. Dan Nabi Muhammad SAW mendekati kaumnya lewat bahasa sastra dan ekonomi. Ingat, dalam hal ekonomi, Rasulullah didukung oleh kekuatan istrinya, Khadijah.
Program kontak bisnis Karim Oey ini sederhana. Mereka mencoba menghimpun potensi yang ada, seperti para bankir, industriwan, pemilik HPH, kontraktor, dan pemilik percetakan. Kontak bisnis merupakan ajang silaturahmi, dakwah, dan bisnis. Caranya, semua tokoh tersebut diundang, misalnya untuk membicarakan bisnis perumahan. Untuk itu diundang Menteri Akbar Tanjung. Sebelum Akbar Tanjung berbicara, pada jam pertama diadakan pengajian.
Kontak bisnis telah menunjukkan hasil. Seorang pengusaha agribisnis, anggota kontak bisnis, memiliki keagenan palem terbesar di Indonesia. Ia mendapat kesulitan mencari orang yang bersedia menunggui pohon palem hingga berumur satu sampai tiga bulan. Kesulitan itu segera teratasi lewat pertemuan kontak bisnis. Di pertemuan itu, sang pengusaha berkenalan dengan seorang kiai pengasuh pesantren. Maka bibit palem itu dibagikan secara gratis kepada para santri kiai tersebut untuk ditanam di pekarangan pesantren. Buahnya dibeli oleh pengusaha tersebut dan dijual ke Australia.
Adalah Baitul Mal wa Tamwil (BMT), konsep lain yang ditawarkan Antonio. Itu sudah diterapkan Antonio dan dua temannya. Modal awal BMT ini mereka kumpulkan dari uang tabungan mahasiswa: Rp 4,7 juta. Lalu modal tersebut mereka pinjamkan pada tukang bajigur, tukang sayur, dan pedagang kecil lainnya. Mula-mula mereka mampu memberi pinjaman paling besar Rp 100 ribu, lalu meningkat menjadi Rp 200 ribu, dan akhirnya menjadi Rp 1 juta. Hanya dalam waktu 20 bulan, aset BMT tersebut telah menjadi Rp 250 juta. Dan kini BMT itu telah berubah menjadi BPR Syariah.
Konsep ini diterima banyak orang. Sekarang BMT telah berkembang hingga 30. Kemudian konsep ini ditiru Asosiasi Bank Syariah (Asbisindo) di Bandung, yang kini telah memiliki sekitar 50 BMT. Bahkan Amin Azis dan CIDES mengadopsi konsep ini dengan Yibunk (Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) dan Pinbuk (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). Konsep ini diperkenalkan kepada tokoh-tokoh, seperti B.J. Habibie, Ginandjar Kartasasmita, Saleh Affif, dan KH Hasan Basri. Sehingga, pada 7 Desember lalu, Presiden Soeharto mencanangkan bahwa BMT sebagai salah satu media pengentasan kemiskinan.
Animo masyarakat terhadap masalah yang disajikan Antonio tampak cukup tinggi. Itu terlihat, misalnya, pada acara “Sahur- Sahur” itu tadi. Cukup gencar pertanyaan dari para pemirsa kepada Antonio. Semua dijawabnya dengan dalil fikih yang meyakinkan. Itu ia sampaikan dalam bahasa Arab yang fasih, dan tentu diiringi dengan terjemahannya. Sehingga, kesan kecinaan Antonio yang berlidah kelu terhapus seketika da’i muda itu bertutur lembut dan jelas.
Baik Alifuddin maupun Antonio tak hanya terpaku pada dakwah lisan. Mereka juga terjun ke dunia tulisan. Sudah 14 buku agama diterbitkan Alifuddin, di antaranya 91 Wasiat Allah Untuk Orang Mukmin dan Hadits-Hadits Riwayat Imam Syafi’ie. Untuk buku 91 Wasiat Allah Untuk Orang Mukmin, Alifuddin mengumpulkan firman khusus yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman.
Sementara itu Syafi’i Antonio secara perlahan telah menuangkan ide ekonomi syariah kedalam dua buku: Prinsip Operasional Bank Islam dan Apa dan Bagaimana Bank Islam. Selain itu, ia juga menerjemahkan buku Islamic Economic Theory and Practice tulisan Profesor M. Abdul Manan dari Pakistan. Sekarang Antonio bersama Hartono Mardjono, Erman Rajagukguk, dan Mariam Darus tengah menyiapkan buku tentang arbitrase Islam. Buku ini sengaja ditulis untuk mendukung maraknya perkembangan Bank Islam dan BPR dengan sistem syariah. Antonio juga menyiapkan buku Bagaimana Menghitung Zakat Perusahaan dan Zakat Profesi. Buku ini berisi tinjauan akuntansi dan fikih.
Bagi kedua da’i ini tentu tak sulit menulis buku agama. Karena mereka memang pernah duduk di perguruan tinggi Islam. Tak demikian dengan Pak Keim Lioe, 43 tahun, putri Empeh Wong Kam Fu, astrolog terkenal dari Malang, dan Haji Yukeng, mantan kontraktor Pertamina. Atau Anton Medan, mantan preman, yang terjun menjadi da’i. Mereka ini, boleh dikatakan, hanya bermodalkan hidayah dari Allah. Putri Wong Kam Fu, misalnya, belajar Islam hanya dengan cara bertanya-tanya. “Saya banyak bertanya tentang berbagai hal, tentang ayat Quran dan hadis Nabi,” kata Putri Wong Kam Fu kepada Herry Mohammad dari Gatra. Tapi anehnya, ketika di atas mimbar, ia mampu sekitar dua jam berbicara tanpa teks. “Saya berbicara sesuai audiens. Dan ayat- ayat Quran atau hadis meluncur dengan sendirinya,” kata Leoni Fatimah, nama lain Putri Wong Kam Fu.
Begitu pula yang dialami Haji Yukeng, 45 tahun. Ia mengaku masuk Islam “semata-mata karena hidayah Allah”. Ini tak berarti perjalanan Yukeng menuju Islam tanpa halangan. Ketika ia memutuskan masuk Islam, warga Tionghoa di Cirebon sempat geger. “Selain dikucilkan, ada juga yang menguber-nguber saya untuk dibunuh,” kata Yukeng kepada H. Tantan dari Gatra.
Jika saya berceramah, katanya, saya hanya menyampaikan pengalaman saya masuk Islam. Karena itu ia enggan disebut sebagai da’i. Dalam berceramah, Yukeng memang tak sehebat Alifuddin El Islamy. Tapi ia dikenal sebagai yang suka bicara blak-blakan. Kata-katanya sering membikin panas aparat Pemerintah. Karena itu, ia pernah berurusan ke pengadilan pada tahun 1992. Namun pengalaman itu tak membuat ia keder. “Saya bertekad tak hanya harta, jiwa dan raga saya pun siap saya korbankan demi Islam,” kata Yukeng.
Yukeng tak mengumbar kata-kata. Sejak ia memilih Islam sebagai jalan hidupnya, Ramadhan 1983, seluruh kekayaannya—menurut teman dekatnya sekitar Rp 30 milyar—digunakannya untuk membiayai kegiatan Majelis Taklim Hidayatullah di Cirebon, Jawa Barat. Berapa persisnya, ia tak mau mengungkapkannya. “Itu urusan Allah,” kata Yukeng. Ia pun menanggalkan predikat pengusaha dari dirinya. Dan ia bercita- cita menghapus citra jelek yang bertengger di pundak orang Cina: selalu berkolusi dengan pejabat. “Saya ingin mengubah citra itu,” kata Yukeng.
Pada mulanya Majelis Taklim Hidayatullah memiliki sekitar 75 jamaah. Kini majelis taklim itu telah mempunyai puluhan ribu jamaah, pri dan nonpri. Hampir setiap malam Sabtu, saat pengajian umum diadakan, jamaah tersebut memadati masjid di Majelis Taklim Hidayatullah. Untuk satu kegiatan itu, dibutuhkan biaya tak kurang dari Rp 3 juta. Selain itu, Majelis Taklim Haji Yukeng ini juga mengirim mubalig-mubalig ke daerah- daerah, seperti Indramayu, Majalengka, dan Kuningan.
Tampilnya da’i Cina ini setidaknya menunjukkan bahwa mereka bisa diterima oleh kalangan pribumi. Itu tak lepas dari perjuangan Haji Abdul Karim Oey (almarhum), pendiri Pembina Iman Tauhid Islam (PITI), dan Haji Junus Jahya. Kedua tokoh ini pernah duduk dalam kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (Pusat) untuk periode 1980-1985. “Dengan memasuki Islam, orang Cina akan diterima secara utuh,” kata Junus Jahya.
Sejauh mana pengaruh da’i Cina bagi orang Cina sendiri? Menurut Junus Jahya, secara langsung memang tak terasa. Dakwah di kalangan Cina, katanya, tak mudah. Orang Cina punya paham Konfusianisme: ubah dirimu dan keluargamu baru mengubah dunia. “Jadi orang Cina bila istrinya belum Islam, ia akan sulit ditembus,” kata Junus Jahya. Alifuddin, katanya, di Medan bisa berdakwah, tapi di kalangan Cina Medan belum tentu bisa.Tapi secara tak langsung tentu ada pengaruhnya. Setidaknya dengan tampilnya da’i Cina ini, secara perlahan, mengubah pandangan orang Cina sendiri terhadap Islam. Misalnya, sering seorang Alifuddin memberikan ceramah di sebuah pabrik, menurut Junus Jahya, itu bisa mengubah pandangan direktur pabrik—keturunan Cina—itu terhadap Islam. Para direktur ini, kata Junus Jahya, tentu merasa bahwa dekat dengan Islam itu tak merugikan.
Meski jumlah keturunan Cina yang masuk Islam tak seberapa, tapi dari segi kualitas meningkat. Hal ini sudah terasa sejak akhir 1970-an, yakni ketika Junus Jahya dan Prof. Dr. Muhammad Budiyatna, sekarang Dekan FISIP-UI, masuk Islam. Tak hanya di kalangan intelektual. Kalangan pengusaha kaya sudah mulai tertarik pada Islam. Jenderal R. Hartono, Kepala Staf Angkatan Darat, misalnya, tahun lalu, menjadi saksi saat dua pengusaha keturunan Cina masuk Islam, di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta. Yang cukup mengagetkan, tiga tahun lalu, Nyonya Lydia, istri konglomerat terkemuka Eka Tjipta Widjaja, juga telah memeluk Islam.
Perkembangan muslim Tionghoa di Indonesia memang sulit dilacak. Tampaknya perlu penelitian serius tentang golongan minoritas ini.
Untuk itu, menurut Dr. Ahmad Satori, Dosen Pasca-Sarjana IAIN Jakarta, IAIN berniat melakukannya, sehingga bisa terungkap dampak positif dakwah pembauran bagi penanggulangan SARA yang selama ini merepotkan bangsa ini. Tapi bagi Junus Jahja, jelas. Begitu seorang keturunan Cina memeluk Islam, ia sudah langsung diterima dan berbaur dengan muslim lainnya, mayoritas penduduk negeri ini. (Julizar Kasiri dan Sapto Waluyo)/GIS.-
Majalah Berita Mingguan GATRA, 17 Februari 1996 ( No.14/II )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar