Shinta Ferdiana : Bayang-bayang Kematian membuatku masuk Islam

Memuat...
Suatu malam yang sunyi, seorang kakek berjanggut putih, berbusana gamis, tertatih-tatih menghampiriku. Aku terkejut, seraya bertanya-tanya dalam hati, siapa lelaki tua itu? Entah dari mana asalnya. Makin mendekat, kurasakan getaran dalam tubuhku. Jantungku berdebar, bulu kudukku berdiri. Namun, aku hanya diam terpaku.

Begitu tepat di depan hidungku, lelaki tua itu seperti berbisik. Aku tak tahu apa yang dibisiknya, tapi selintas dapat kutangkap apa maunya. Seperti berisyarat, lelaki itu ingin mengajakku ke suatu tempat entah ke mana. Ketika diajak, aku pun tidak menolaknya.

Dan saat itu juga, aku buntuti lelaki tua yang memang tak pernah kukenal sebelumnya. Dengan dibantu tongkatnya, kakek berjanggut putih itu terus melangkah, hingga ke suatu tempat yang ternyata jauh lebih sunyi dan mencekam. Sejujurnya, aku betul-betul tidak tahu, apa maksud dia mengajakku ke suatu tempat, tanpa diberi tahu lebih dulu.

Setibanya, aku tersadar bahwa aku sebetulnya tengah berada di sebuah kuburan. Dalam keadaan gelap gulita, rasa takut menyelimutiku. Begitu lelaki tua itu lagi-lagi mendekatiku, dan menyuruhku untuk memilih satu di antara dua makam yang ada di depanku. Yang satu kuburan Muslim, dan satu lagi kuburan seorang Nasrani, tubuhku semakin gemetar, jantungku seakan mau copot. Aku terkaget, dan melompat dari ranjang tidurku, kemudian terbangun. Ternyata hanya mimpi.

Orang boleh bilang, mimpi itu kembangnya tidur. Tapi bagiku, Shinta Ferdiana, yang saat ini masih tercatat sebagai mahasiswi ISTN, jurusan teknik Arsitektur angkatan 94, mimpi yang pernah kulami bukan sembarang mimpi. Apalagi mimpi yang aneh-aneh itu seringkali terjadi, ketika aku masih menganut Kristen Katolik.

Bahkan yang lebih aneh lagi, aku pernah bermimpi di suatu ruangan, di sebuah kamar tidur, tiba-tiba kamarku itu mengecil seperti peti mati. Sampai suatu ketika, dalam keadaan sadar, ada suara entah datang dari mana rimbanya, menyuruhku agar mengenakan mukena dan bercermin. Suara itu kuturuti. Lantas aku bercermin dengan mukena yang kupakai. Dan ternyata memang cantik. Sejak itu, aku semakin rindu dengan Islam.

Aku kelahiran Jakarta 13 Juli 1976 lalu, sebetulnya lumayan tahu banyak tentang Islam. Karena Mama yang asli Padang ini memang seorang Muslimah. Hanya Papa (asli Surabaya) yang nggak jelas agamanya apa. Dibilang Muslim, tapi nggak pernah shalat. Mungkin karena dulu, Papa pernah belajar di sekolah Katolik, sampai-sampai di keluarga Papa, ada yang beragama Kristen Protestan.

Sebetulnya Mama sudah ngajarin pendidikan Islam, tapi dasar Islam KTP, disuruh shalat aku nggak kerjain. Disuruh puasa, Papa malah menyuruhku berbuka di siang hari. Saat itu, aku memang masih bingung dengan Islam itu sendiri. Apalagi, ketika di kampus, aku akrab dengan teman non-Muslim dan mereka selalu mengajakku ke gereja.

Tapi setiap kali aku ikut kebaktian di gereja, kegelisahanku justru makin dalam, dan ternyata banyak persoalan yang tak kutemukan jawabannya. Kalo di Islam, Al-Qur'an dapat menjawab semua persoalan hidup, dari yang terkecil sampai yang besar. Seperti dagang, cara hidup berumah tangga yang baik, dan lain-lain. Suatu saat aku pernah berpikir, setelah mati nanti, kita mau ke mana? Di Islam jelas, ada hisab kubur. Sedang di Kristen tidak.

Dalam berumah tangga, Papa dan Mama selalu cekcok. Papa keras, Mama pun nggak kalah keras. Suatu ketika, saat aku duduk di bangku SD, badai dahsyat menerpa keluargaku. Hubungan Papa-Mama tak lagi harmonis. Akhirnya, orangtuaku bercerai. Dan, Papa kawin lagi dengan seorang wanita penganut Katolik yang taat. Betapa hancur hatiku, mendengar Papa harus berpisah dengan Mama.



Masuk Islam

Sejak mimpi yang aneh-aneh, dan aku yang selalu diperlihatkan oleh kematian, Allah SWT memberiku hidayah Islam. Dua tahun yang lalu, di depan kawan-kawan kuliahku, di Masjid Raya ISTN, aku mengucapkan dua kalimat syahadat. "Asyhadu Allaailaahaillallah, Waasyhaduanna Muhammadarrasulullah". Setelah kembali ke Islam, aku merasakan ketenangan, ibadah shalat terasa nikmat, dan entah kenapa aku jadi selalu ingat akan kematian.

Yang membuatku terharu, setelah kunyatakan keIslamanku, teman akhwat di kampus, seluruh angkatan banyak yang memberiku jilbab dan buku-buku Islam. Bahkan mereka rela mengajariku membaca Al-Qur'an sampai bisa. Sedangkan temanku yang non-Muslim yang pernah mengajakku ke gereja, wajahnya berubah menjadi sinis. Sampe sekarang, aku sering diteror dengan telepon gelap. Tapi aku tetap sabar dan tak gentar mengahadapi cobaan itu semua.

Suatu hari, saat adzan Maghrib, Papa terkejut, saat aku kenakan jilbab, lantas bertanya, "Nggak gerah pake jilbab? "

"Nggak," jawabku ringkas. Kemudian aku balik bertanya, "Sebenarnya agama Papa, Muslim atau bukan sih?"

Papa sempat terdiam,"Memangnya kenapa?" tanya Papa.

"Sebab, jika suatu saat nanti, Shinta nikah, Papa nggak bisa jadi wali Shinta," ujarku yang hanya punya adik satu-satunya. Mendengar lontaran itu, Papa lagi-lagi terdiam. Kulihat mata Papa berkaca-kaca. Air matanya menetes di pipinya.

Beberapa hari kemudian, Papa yang tidak lagi satu atap, karena tinggal dengan istrinya yang baru, datang, dan tiba-tiba bertanya tentang cara shalat. Mendengar itu aku terharu. Namun setelah itu aku tak pernah bertemu lagi dengan Papa. Setiap shalat, aku selalu berdoa kepada Allah, agar Papa diberi hidayah, dan masuk Islam. Amiin....

Related Post



Tidak ada komentar:

Postingan Populer