Memuat...
Bau mistis di perkuburan tua di kawasan kaki gunung Ungaran, Kabupaten Semarang malam itu makin terasa. Bersamaan hembusan angin semilir yang menetramkan suasana pemakaman. Bunga kamboja yang ditingkai angin bergoyang-goyang sambil menebarkan aroma malamnya yang khas. Lalu, seketika itu suasana hening. Jengkrik merah yang semula terdengar suaranya paling keras mendadak terdiam. Berlahan itu sesosok bertubuh agak bongkok berjalan gontai menuju ke altar yang ada di perkuburan itu.
Tidak seperti biasanya suasana perkuburan malam itu terasa mencekam. Hening tiba-tiba menyapu seluruh areal pemakaman seluas 150 meter persegi itu. Kedatangan sosok manusia berwajah menyeramkan ini sepertinya membawa energi tersendiri hingga menjadikan serangga malam sekitar perkuburan terdiam. Diawali jengkrik merah yang tak melanjutkan suaranya, tak berapa lama satu per satu serangga malam sekitarnya turut terdiam.
“Aku datang menemui panggilanmu. Perjanjian kita belum selesai. Aku datang untuk mengaku salah. Maukah kau memaafkan aku,” ujar sosok lelaki bertampang sangar itu ketika sampai di sebuah altar berupa kijing tua yang di sekelilingnya dipenuhi semak berduri. Lelaki itu bersimpuh di pinggiran altar, menghadap ke arah batu besar yang sepertinya menjadi tetenger adanya altar itu.
Suaranya terdengar serak seperti bergetar-getar. Suasana bertambah hening. Hembusan angin malam itu terasa semakin kencang. Belum lama suara lelaki itu berhenti, disusul kemudian suara kepak sayap seekor burung gagak yang mendekat di arah altar. Tidak jelas dari mana asal gagak berkepala belang-belang putih ini datang. Semakin dekat kepaknya terdengar semakin jelas.
Burung perlambang kematian itu tiba-tiba sudah hinggap di atas gudukan batu yang berada di tengah-tengah altar. Sorot matanya tajam. Kebiru-biruan menatap lekat ke arah lelaki muda itu. Seakan-akan hendak menerkam lelaki yang ada di depannya. “Aku datang memenuhi permintaanmu !,” suara lelaki itu tegas. Meski suara itu ditunjukkan untuk gagak, namun sejenak itu tidak membuat mata gagak bergeming.
Tetap terdiam dengan posisi masih memandang lekat-lekat ke arah lelaki bernama Sabri itu. Sepertinya Sabri tahu ucapannya tidak digubris gagak belang. Tubuh Sabri seketika itu menggigil ketakutan. Dia lalu sujud bersimpuh dihadapan burung penunggu kuburan Sentana itu. Tidak kuat menahan sorot mata gagak yang menerbarkan hawa panas, tubuh Sabri ikut terguncang-guncang menahan perihnya penyakit ganas sejenis lepra yang sudah setahun ini dia derita.
Mata Sabri berkaca-kaca menahan sedih. Dia menyesal! Menyesal telah melanggar sumpah atas perjanjian yang pernah diikat bersama gagak belang. Sebuah perjanjian terlarang yang semestinya tidak dia jalankan. Tapi, semua sudah terlanjur. Gara-gara termakan sumpah gagak belang, tubuh Sabri jadi tidak normal. Bongkok karena saking lamanya terserang penyakit ganas yang menggerogoti hampir sebagian daging di tubuhnya.
Di saat menghiba dihadapan gagak belang, bayangan Sabri kembali menerawang pada kejadian awal pertemuanya dengan burung penunggu kuburan itu. Seperti diketahui banyak orang, gagak belang konon burung pesugihan yang bisa memberi apa saja yang dimaui oleh orang yang memintanya. Asalkan orang tersebut mau mematuhi perjanjian yang telah disepakati gagak belang.
Diantara isi perjanjian; gagak belang akan memberi pesugihan melimpah asalkan mau menjadi pengikutnya. Tidak diperbolehkan bersenggama lebih dari 7 perempuan, dan terakhir harus menyiapkan darah ayam cemani tiap malam Jumat kliwon di altar kuburan.
Semula untuk bertemu gagak belang bagi Sabri cukuplah mudah. Burung beda dengan gagak lainnya ini memiliki belang putih pada ujung kepalanya sebagai ciri khusus. Dia akan muncul setiap malam Jumat Kliwon dan menunggu pengikutnya membawa sesaji darah ayam cemani di atas altar. Sabri yang semula bekerja sebagai kernet pocokan itu, mendadak kaya raya setelah membuat perjanjian dengan gagak belang.
Pundi yang disiapkan di bilik kamarnya tiap malam tanpa sepengetahuannya terisi uang jutaan rupiah. Sampai-sampai dia kuawalahan akan diapakan uang sebanyak itu. Rupanya dia lupa untuk bersedekah, hingga kerjanya tiap hari hanyalah berfoya-foya. Mendadak Sabri di kampungnya dicap sebagai ‘play boy’ kampung lantaran kekayaannya lebih banyak diperbuat untuk merayu gadis-gadis sedesanya.
Sialnya lagi, gadis-gadis yang dirayu hendak dinikahi mudah percaya, hingga tanpa kesulitan dia berhasil membawa ke sebuah tempat yang sepi. Dan, lalu menyetubuhi. Lantaran keenakan, tidak terasa sudah puluhan gadis kampung menjadi korban kebejatan moral Sabri. Lantaran tidak mampu mengendalikan diri dia sering lupa akan janjinya untuk menyediakan darah ayam cemani pada gagak belang.
Pada akhirnya Sabri jatuh sakit. Tubuh makin melemah, terserang lepra, dan yang terakhir kekayaannya mendadak habis karena sebagian untuk mengobati penyakitnya. Sabri kembali miskin. Penderitaan Sabri ternyata tidak sampai di situ. Satu per satu anggota keluarganya mati hingga tidak ada yang tersisa.
“Semua sudah terlambat. Sekali janji terucap, kesempatan cuma sekali itu!,” tiba-tiba suara gagak belang itu menggema dalam gendang telinga Sabri. Membuyarkan bayangan lalunya. Sabri mendongakkan kepalanya, dipandangnya mata gagak belang dengan tak kalah tajam.
Tiba-tiba Sabri kalab, dia marah tahu maafnya tidak diterima. Emosinya menggelegak. Spontan cawan berisi darah segar ayam cemani yang dibawanya dilemparkan ke arah gagak. Parang yang sudah disiapkan, lantas ditebaskan ke arah gagak tepat mengena di ujung lehernya.
Bersamaan darah muncrat dari leher gagak belang, sekejab mata burung alam maya itu menghilang. Meninggalkan Sabri sendiri dengan suara-suara gaib yang menggema memenuhi gendang telinganya. Sabri terus mengamuk, menghancurkan altar, mencabut nisan, hingga akal sehatnya melayang-layang tak bisa digunakan lagi. Sabri benar-benar telah gila!
Suatu pagi, tubuh Sabri ditemukan tergelatak di sebuah pertokoan di Kota Ungaran. Orang gila itu tiap hari kerjanya cuma meminta-minta. Meski banyak tetangga dan teman-temannya yang melihat, namun sudah tidak bisa mengenali lagi. Sekujur tubuh dan wajah Sabri telah rusak diacak-acak penyakit yang tak mungkin sembuh itu. (lereng gunung Ungaran, 29 April 2008/mus)
Tidak seperti biasanya suasana perkuburan malam itu terasa mencekam. Hening tiba-tiba menyapu seluruh areal pemakaman seluas 150 meter persegi itu. Kedatangan sosok manusia berwajah menyeramkan ini sepertinya membawa energi tersendiri hingga menjadikan serangga malam sekitar perkuburan terdiam. Diawali jengkrik merah yang tak melanjutkan suaranya, tak berapa lama satu per satu serangga malam sekitarnya turut terdiam.
“Aku datang menemui panggilanmu. Perjanjian kita belum selesai. Aku datang untuk mengaku salah. Maukah kau memaafkan aku,” ujar sosok lelaki bertampang sangar itu ketika sampai di sebuah altar berupa kijing tua yang di sekelilingnya dipenuhi semak berduri. Lelaki itu bersimpuh di pinggiran altar, menghadap ke arah batu besar yang sepertinya menjadi tetenger adanya altar itu.
Suaranya terdengar serak seperti bergetar-getar. Suasana bertambah hening. Hembusan angin malam itu terasa semakin kencang. Belum lama suara lelaki itu berhenti, disusul kemudian suara kepak sayap seekor burung gagak yang mendekat di arah altar. Tidak jelas dari mana asal gagak berkepala belang-belang putih ini datang. Semakin dekat kepaknya terdengar semakin jelas.
Burung perlambang kematian itu tiba-tiba sudah hinggap di atas gudukan batu yang berada di tengah-tengah altar. Sorot matanya tajam. Kebiru-biruan menatap lekat ke arah lelaki muda itu. Seakan-akan hendak menerkam lelaki yang ada di depannya. “Aku datang memenuhi permintaanmu !,” suara lelaki itu tegas. Meski suara itu ditunjukkan untuk gagak, namun sejenak itu tidak membuat mata gagak bergeming.
Tetap terdiam dengan posisi masih memandang lekat-lekat ke arah lelaki bernama Sabri itu. Sepertinya Sabri tahu ucapannya tidak digubris gagak belang. Tubuh Sabri seketika itu menggigil ketakutan. Dia lalu sujud bersimpuh dihadapan burung penunggu kuburan Sentana itu. Tidak kuat menahan sorot mata gagak yang menerbarkan hawa panas, tubuh Sabri ikut terguncang-guncang menahan perihnya penyakit ganas sejenis lepra yang sudah setahun ini dia derita.
Mata Sabri berkaca-kaca menahan sedih. Dia menyesal! Menyesal telah melanggar sumpah atas perjanjian yang pernah diikat bersama gagak belang. Sebuah perjanjian terlarang yang semestinya tidak dia jalankan. Tapi, semua sudah terlanjur. Gara-gara termakan sumpah gagak belang, tubuh Sabri jadi tidak normal. Bongkok karena saking lamanya terserang penyakit ganas yang menggerogoti hampir sebagian daging di tubuhnya.
Di saat menghiba dihadapan gagak belang, bayangan Sabri kembali menerawang pada kejadian awal pertemuanya dengan burung penunggu kuburan itu. Seperti diketahui banyak orang, gagak belang konon burung pesugihan yang bisa memberi apa saja yang dimaui oleh orang yang memintanya. Asalkan orang tersebut mau mematuhi perjanjian yang telah disepakati gagak belang.
Diantara isi perjanjian; gagak belang akan memberi pesugihan melimpah asalkan mau menjadi pengikutnya. Tidak diperbolehkan bersenggama lebih dari 7 perempuan, dan terakhir harus menyiapkan darah ayam cemani tiap malam Jumat kliwon di altar kuburan.
Semula untuk bertemu gagak belang bagi Sabri cukuplah mudah. Burung beda dengan gagak lainnya ini memiliki belang putih pada ujung kepalanya sebagai ciri khusus. Dia akan muncul setiap malam Jumat Kliwon dan menunggu pengikutnya membawa sesaji darah ayam cemani di atas altar. Sabri yang semula bekerja sebagai kernet pocokan itu, mendadak kaya raya setelah membuat perjanjian dengan gagak belang.
Pundi yang disiapkan di bilik kamarnya tiap malam tanpa sepengetahuannya terisi uang jutaan rupiah. Sampai-sampai dia kuawalahan akan diapakan uang sebanyak itu. Rupanya dia lupa untuk bersedekah, hingga kerjanya tiap hari hanyalah berfoya-foya. Mendadak Sabri di kampungnya dicap sebagai ‘play boy’ kampung lantaran kekayaannya lebih banyak diperbuat untuk merayu gadis-gadis sedesanya.
Sialnya lagi, gadis-gadis yang dirayu hendak dinikahi mudah percaya, hingga tanpa kesulitan dia berhasil membawa ke sebuah tempat yang sepi. Dan, lalu menyetubuhi. Lantaran keenakan, tidak terasa sudah puluhan gadis kampung menjadi korban kebejatan moral Sabri. Lantaran tidak mampu mengendalikan diri dia sering lupa akan janjinya untuk menyediakan darah ayam cemani pada gagak belang.
Pada akhirnya Sabri jatuh sakit. Tubuh makin melemah, terserang lepra, dan yang terakhir kekayaannya mendadak habis karena sebagian untuk mengobati penyakitnya. Sabri kembali miskin. Penderitaan Sabri ternyata tidak sampai di situ. Satu per satu anggota keluarganya mati hingga tidak ada yang tersisa.
“Semua sudah terlambat. Sekali janji terucap, kesempatan cuma sekali itu!,” tiba-tiba suara gagak belang itu menggema dalam gendang telinga Sabri. Membuyarkan bayangan lalunya. Sabri mendongakkan kepalanya, dipandangnya mata gagak belang dengan tak kalah tajam.
Tiba-tiba Sabri kalab, dia marah tahu maafnya tidak diterima. Emosinya menggelegak. Spontan cawan berisi darah segar ayam cemani yang dibawanya dilemparkan ke arah gagak. Parang yang sudah disiapkan, lantas ditebaskan ke arah gagak tepat mengena di ujung lehernya.
Bersamaan darah muncrat dari leher gagak belang, sekejab mata burung alam maya itu menghilang. Meninggalkan Sabri sendiri dengan suara-suara gaib yang menggema memenuhi gendang telinganya. Sabri terus mengamuk, menghancurkan altar, mencabut nisan, hingga akal sehatnya melayang-layang tak bisa digunakan lagi. Sabri benar-benar telah gila!
Suatu pagi, tubuh Sabri ditemukan tergelatak di sebuah pertokoan di Kota Ungaran. Orang gila itu tiap hari kerjanya cuma meminta-minta. Meski banyak tetangga dan teman-temannya yang melihat, namun sudah tidak bisa mengenali lagi. Sekujur tubuh dan wajah Sabri telah rusak diacak-acak penyakit yang tak mungkin sembuh itu. (lereng gunung Ungaran, 29 April 2008/mus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar