Memuat...
Sejak kecil saya bagaikan hidup di dua muara. Papa dan sanak keluarganya beragama Budha Konghucu. Sedangkan, dari pihak keluarga mama beragama Kristen Protestan. Mama sendiri, miskipun rajin ke gereja, tetapi di KTP-nya beragama Budha Konghucu. Barangkali atau mungkin sebagai istri orang Tionghoa, mama harus ikut agama suami.
Saya sendiri, sejak kelas V SD mulai aktif ikut kebaktian di gereja yang terletak di sekitar Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Hal itu saya lakukan karena dorongan mendiang oma (nenek dari pihak mama). Beliau amat khusyu menjalani kehidupannya sebagai seorang Kristen yang saleh. Amat berbeda dengan kehidupan keluarga besar papa. Mereka, meskipun beragama Budha, namun tampak kurang begitu mempedulikan agamanya. Dalam lingkungan kelurga yang seperti itulah, saya dan adik saya, Grace, dibesarkan. Yang mengherankan, adik saya itu sejak kecil tidak pemah mau diajak ke gereja. Bahkan, ia memiliki kitab suci Al-Qur'an terjemahan terbitan Departemen Agama RI. Sebab itulah, is paling dibenci oleh pihak keluarga mama.
Setelah remaja, saya aktif di Gembala Remaja (organisasi remaja gereja) daerah Gunung Sahari. Sebetulnya, itu hanya sekadar untuk mengisi waktu saja, di samping karena ajakan keluarga mama. Kurang lebih 3 tahun saya aktif di organisasi itu. Setiap minggu saya selalu mengikuti Pembacaan Alkitab. Sedangkan, pada selasa sore saya mengikuti Perkabaran Injil, semacam diskusi atau debat tentang berbagai masalah keagamaan.
Karena aktivitas saya itu, pada pertengahan tahun 1989 saya termasuk di antara 10 orang jemaat yang ikut dibaptis. Sebetulnya pada waktu itu saya tidak siap untuk dibaptis, karena sampai sejauh itu hati kecil saya masih belum meyakini kebenaran Kristen. Dalam acara debat yang sering diadakan untuk Gembala Remaja, saya sering menunjukkan beberapa kejanggalan yang saya jumpai dalam Alkitab (Injil). Terutama yang menyangkut kisah dan sejarah.
Meninggalkan Gereja
Seiring dengan hasrat saya untuk mencari kabenaran, maka ketika duduk di kelas II SMP, saya mulai rutin mengikuti pelajaran agama (Islam) di kelas, meskipun guru agama pada waktu itu membebaskan siswa non-muslim untuk tidak mengikutinya. Kebiasaan itu terus saya lanjutkan sampai saya bersekolah di sebuah SMEA swasta di Jakarta Utara. Saya mulai membandingkan beberapa hal antara Islam dan Kristen. Waktu itu, dengan nalar yang masih sederhana saya menyimpulkanbahwa Kristen dan Islam sebagai sesuatu yang "serupa tapi tak sama".
Mungkin kesimpulan itu tidak tepat. Tetapi begitulah, saya melihat ada beberapa kesamaan, misalnya tentang sejarah nabi-nabi. Dalam Injil terdapat kisah para rasul. Begitupun dalam Al-Qur'an. Kebetulan pada saat yang bersamaan materi pelajaran yang saya terima di gereja dan di sekolah hampir lama, yakni pembahasan tentang sejarah nabi. Bedanya, di gereja menurut versi Injil, sedangkan di sekolah versi AlQur'an. Sehingga, jika guru agama di sekolah melempar pertanyaan, saya sering menjawabnya. Tentu saja, itu membuat kawan-kawan saya heran.
Tetapi, ada sesuatu yang sangat mendasar yang membedakan antara Kristen dan Islam, yaitu konsep ketuhanannya. Kristen menjabarkan pengertiaan keesaan Tuhan pada konsep Trinitas. Terus terang, ini sesuatu yang amat rumit untuk dijelaskan.
Bagaimana mungkin menjelaskan wujud Tuhan Yang Esa dalam tiga oknum yang terpisah (Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Roh Kudus). Sedangkan, Islam memiliki konsep ketuhanan yang amat sederhana, tetapi jelas dan tegas. Tauhid sebagai konsep ketuhanan kaum muslimin menegaskan bahwa Allah adalah Esa. la tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan. Dan, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.
Penjelasan konsep tauhid oleh guru agama di SMEA tempat saya sekolah itu, menurut saya lebih masuk akal ketimbang penjelasan konsep trinitas yang disampaikan pendeta di gereja. Sejak itu saya menjadi malas pergi ke gereja. Itu terjadi pertengahan 1990, tidak lama setelah oma yang saya cintai meninggal dunia. Terus terang, saya semakin rajin ke gereja karena dorongan beliau. Dan setelah beliau wafat, rasanya tidak ada lagi ikatan batin yang menghubungkan saya dengan gereja.
Setelah itu, saya menarik diri dari semua kegiatan gereja. Mama pun, karena faktor kesehatannya mulai jarang mengikuti kebaktian. Dalam kondisi seperti itu, saya lebih banyak berdiam diri di rumah. Pada suatu hari, teman main saya memperkenalkan saya dengan seorang pemuda. Nama-nya Harris. Dari wajahnya saya menduga ia peranakan Tionghoa.
Mimpi Membaca Al-Qur'an
Kurang lebih seminggu setelah perkenalan dengan Harris, saya bermimpi didatangi seorang tua yang berjubah putih. Dalam mimpi itu saya mengenakan jilbab (kerudung panjang yang menutupi leher dan dada), sedangkan Harris, mengenakan kopiah hitam. Kami duduk bersila berdampingan. Tanpa berbicara sepatah pun, orang tua berjubah itu pun memberikan saga sebuah buku yang ternyata adalah Kitab Suci AlQur'an. Dengan bahasa isyarat ia menyuruh saya untuk membacanya. Aneh, ternyata saya begitu lancar membacanya. Saya terus membaca, sampai akhirnya saya terjaga dari tidur. Hari masih gelap, karena belum masuk waktu subuh.
Saya tersentak kaget. Mimpi itu begitu aneh. Bagaimana mungkin saya dapat begitu lancar membaca Al-Qur'an? Semula saya tidak ingin menceritakan mimpi itu kepada siapa pun. Tetapi setelah beberapa hari, hati ini amat resah. Saya tidak tahan untuk berdiam diri. Akhirnya, saya ceritakanlah mimpi saya itu kepada seorang tetangga sebelah runah.
Tanpa saya duga ia mengatakan bahwa dalam waktu yang tidak begitu lama saya akan masuk Islam. "Apa iya?" kata saya dalam hati. Sedangkan, saya belum punya niat untuk masuk Islam. Selama beberapa hari saya dilanda kebimbangan. Beberapa hari kemudian Harris datang bertandang. Saya iebih banyak berdiam diri. Akhirnya, ia menanyakan apakah saya masih sering ke gereja. Saya menjawab saja sekenanya kalau saya lagi malas ke gereja. Lalu, tanpa saya duga ia menyarankan agar saya masuk Islam saja.
Tentu saja saya amat heran. "Lho, kamu kan Kristen, kok menyarankan saya masuk Islam?" tanya saya tidak percaya. Justru ia yang kaget. "Siapa bilang saya Kristen, saya Islam kok?" katanya sambil mengeluarkan KTP-nya. Baru pada malam itu saya mengetahui kalau Harris yang saya sangka peranakan Tionghoa itu, ternyata orang Jawa, dan beragama Islam. Habis wajahnya mirip orang Cina, sih.
Saya merasa antara mimpi dan saran Harris merupakan suatu mata rantai petunjuk dari Yang Maha kuasa. Akhirnya, saya ceritakanlah mimpi aneh itu kepada Harris. Ternyata, komentar Harris sama dengan komentar tetangga tadi. Seminggu setelah itu, usai pelajaran agama di sekolah, langsung saya utarakan niat saya kepada bapak guru agama bahwa saya ingin masuk Islam. Harris pun saya beritahu. la pun banyak membantu mengurus proses keislaman saya di KUA (Kantor Urusan Agama).
Mama sebagai orang yang paling dekat dengan saya, tentu saja saya beritahu. Mama tidak keberatan. la bahkan menasihati saya setelah menjadi orang Islam agar benar-benar melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Sebab, menurut mama, orang memilih suatu agama bukan untuk main-main. Tetapi kepada papa, saya memang sengaja tidak memberitahu.
Singkat cerita, pada hari Kamis pertengahan Agustus 1992, bertempat di kantor KUA Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara, saya berdua dengan adik saya, Grace, mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat dengan disaksikan bapak guru agama SMEA Yanindo, Pak Syaiful (Pengurus Masjid An-Nur Ancol), beberapa orang kawan sekolah, dan tentunya Harris yang sekarang menjadi "teman dekat" saya.
Kini, setelah menjadi muslimah saya mempunyai nama hijrah Intan Nur Sari. Sekarang ini saya sedang mengikuti bimbingan membaca A1-Qur'an di TPA Masjid An-Nur Ancol, Jakarta Utara. Mohon doa dari ikhwan/akhwat seiman di tanah air agar saya dan adik saya diberikan kekuatan iman dan Islam dalam mempertahankan keyakinan kami ini.
Albaz dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ oleh Mualaf Online Center (MCOL) http://www.mualaf.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar