Memuat...
Saat perang Salib, tentara Kristen, Jerman, Yahudi membantai orang Islam di jalan-jalan. Berbalik 180 derajat dengan perlakuan pasukan Islam terhadap pasukan Kristen. Simak akhlaq Salahuddin al-Ayyubi
“Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”
Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib. Pengakuan ini didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants (Princeton & London: 1991).
Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I memang menyesakkan. Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya tergambar dalam pengakuan Raymond di atas.
Sepak Terjang Tentara Salib
Sampai abad ke-11 M, di bawah pemerintahan kaum Muslimin, Palestina merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Kondisi ini tercipta sejak masa Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang berhasil merebut daerah ini dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur). Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan invasi.
Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Alexius I. Petinggi kaum Kristen itu segera minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.
Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang menguasai Palestina saat itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.
Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.
Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil—untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)
Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.
Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).
Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria) pada tanggal 3 Juni 1098.
Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah.
Teladan Shalahuddin Al-Ayyubi
Pada tahun 1145-1147 pecah Perang Salib II. Namun perang besar-besaran terjadi pada Perang Salib III. Di pihak Kristen dipimpin Phillip Augustus dari Prancis dan Richard “Si Hati Singa” dari Inggris, sementara kaum Muslimin dipimpin Shalahuddin Al-Ayyubi.
Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat Shalahuddin prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.
Pria keturunan Seljuk ini kebetulan mempunyai paman yang menjadi petinggi Dinasti Fathimiyyah. Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai.
Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.
Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.
Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran.
Salahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berperang melawan Pasukan Salib di Hattin (dekat Acre, kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih kemenangan (1187).
Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa.
Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj, Salahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.
Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”
Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)
Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.
Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).
Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks--bukan bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.
Kaum Salib segera mendatangkan bala bantuan dari Eropa. Datanglah pasukan besar di bawah komando Phillip Augustus dan Richard “Si Hati Singa”.
Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak pernah memilih cara yang sama.
Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.
Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.
***
Perang Salib IV berlangsung tahun 1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).
Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.
Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI, tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.
Dua Perang Salib terakhir (VII dan VIII) dikobarkan oleh Raja Prancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Prancis perlu menebus dengan emas yang sangat banyak untuk membebaskannya.
Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.
Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Islam oleh Ratu Spanyol, Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.* (Agung Pribadi, Pambudi/Hidayatullah)
Sumber: Majalah Hidayatullah edisi Desember 2004.
“Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”
Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib. Pengakuan ini didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants (Princeton & London: 1991).
Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I memang menyesakkan. Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya tergambar dalam pengakuan Raymond di atas.
Sepak Terjang Tentara Salib
Sampai abad ke-11 M, di bawah pemerintahan kaum Muslimin, Palestina merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Kondisi ini tercipta sejak masa Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang berhasil merebut daerah ini dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur). Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan invasi.
Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Alexius I. Petinggi kaum Kristen itu segera minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.
Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang menguasai Palestina saat itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.
Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.
Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil—untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)
Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.
Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).
Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria) pada tanggal 3 Juni 1098.
Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah.
Teladan Shalahuddin Al-Ayyubi
Pada tahun 1145-1147 pecah Perang Salib II. Namun perang besar-besaran terjadi pada Perang Salib III. Di pihak Kristen dipimpin Phillip Augustus dari Prancis dan Richard “Si Hati Singa” dari Inggris, sementara kaum Muslimin dipimpin Shalahuddin Al-Ayyubi.
Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat Shalahuddin prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.
Pria keturunan Seljuk ini kebetulan mempunyai paman yang menjadi petinggi Dinasti Fathimiyyah. Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai.
Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.
Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.
Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran.
Salahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berperang melawan Pasukan Salib di Hattin (dekat Acre, kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih kemenangan (1187).
Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa.
Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj, Salahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.
Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”
Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)
Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.
Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).
Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks--bukan bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.
Kaum Salib segera mendatangkan bala bantuan dari Eropa. Datanglah pasukan besar di bawah komando Phillip Augustus dan Richard “Si Hati Singa”.
Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak pernah memilih cara yang sama.
Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.
Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.
***
Perang Salib IV berlangsung tahun 1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).
Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.
Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI, tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.
Dua Perang Salib terakhir (VII dan VIII) dikobarkan oleh Raja Prancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Prancis perlu menebus dengan emas yang sangat banyak untuk membebaskannya.
Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.
Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Islam oleh Ratu Spanyol, Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.* (Agung Pribadi, Pambudi/Hidayatullah)
Sumber: Majalah Hidayatullah edisi Desember 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar