Memuat...
Nama saya Jung Li Fung, itu nama yang diberikan papa saya, Jung Se Hin alias Kartono, WNI keturunan Cina yang lahir di Ketapang. Sedangkan, mama saya berdarah campuran Cina-Dayak, dari pedalaman Sepauk, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Saya sendiri lahir pada 17 Agustus 1973, sebagai anak tertua dari 6 bersaudara.
Kami dibesarkan di Desa Nanga, Sepauk, dari keluarga yang masih teguh memegang tradisi leluhur, Konghucu. Meskipun begitu, saya dan adik-adik sempat terombang ambing dalam keyakinan yang tidak menentu. Walaupun papa dan mama mengaku beragama Kristen Katolik, tetapi mereka tidak pernah mengarahkan kami, anak-anaknya, untuk menjadi domba Yesus yang baik.
Sewaktu duduk di bangku SMP, saya mulai aktif mengikuti kegiatan keagamaan, baik di sekolah maupun di gereja. Meskipun begitu, teman-teman akrab saya baik di tempat tinggal maupun di sekolah, justru lebih banyak yang beragama Islam. Kebetulan, lingkungan masyarakat tempat tinggal kami mayoritas orang muslim.
Meskipun WNI keturunan Cina juga banyak tinggal di daerah ini, tetapi mereka seperti enggan berbaur dengan pribumi. Keadaan seperti inilah yang mulai mempengaruhi jalan pikiran saya. Saya sering melontarkan kritik kepada teman-teman sesama WNI keturunan. "Mengapa kita masih berkiblat kepada tanah leluhur, sedangkan kita sudah beragama Katolik," tegas saya.
Masa remaja saya berjalan wajar dan kerena pendirian saya itu, saya lebih suka bergaul dengan remaja pribumi. Dari merekalah saya banyak mengetahui seluk-beluk adat istiadat penduduk pribumi. Termasuk agama Islam sebagai agama yang dianut mereka.
Dan, ketika duduk di SMP itu pula saya berkenalan dengan seorang pemuda yang bekerja di toko pakaian jadi. la berasal dari Pasaman, Sumatra Barat, dan lama bermukim di Sintang. Namanya Tasriful. Meskipun usianya terpaut jauh dengan usia saya, tetapi pembawaannya yang ramah dan harmonis telah mempertautkan jiwa kami berdua dalam ikatan batin yang sulit saya lukiskan dengan kata-kata. Kendati keyakinan kami berbeda, tapi itu tak menghalangi kami untuk bersahabat.
Orang tua saya yang sudah maklum dengan pergaulan saya yang lebih suka berteman dengan remaja pribumi, tidak begitu mempersoalkan kedatangan Tasriful. Tetapi, ketika pemuda itu mulai rutin mengunjungi saya, orang tua saya mulai waspada. Papa mengingatkan agar saya menjaga jarak dengan pemuda itu, karena kami berbeda agama. Kami Katolik, sedangkan dia Islam.
Lari dan Masuk Islam
Meskipun orang tua saya, terutama papa telah mencurigai hubungan kami, tapi terus terang, saya amat mengagumi pribadi Tasriful. la pemuda yang bersikap dewasa, penuh tanggung jawab, penyabar, dan bisa membimbing. Saya sudah berbulat hati untuk memilihnya sebagai teman hidup, meski apa pun yang akan terjadi.
Masa pacaran kami lebih banyak diisi dengan perbincangan tentang persoalan keyakinan. Karena penjelasannya yang rasional, saya pun dapat menerima kebenaran Islam. Apalagi saga lihat agama Katolik tidak mampu menjembatani pembauran antara pribumi dan WNI keturunan. Saya melihat hanya Islamlah yang dapat menuntaskan proses pembauran tersebut.
Dan seperti yang sudah saya duga, hubungan kami mendapat tantangan keras dari keluarga. Terutama papa, is bersikap amat keras. Tak perlu saya jelaskan apa yang menimpa diri saya dengan kenekatan saya yang tetap berhubungan dengan Tasriful. justru Tasriful yang prihatin dengan keadaan saya sehingga ia menyarankan agar saya sementara waktu hijrah ke 'suatu tempat yang aman. Katanya, ini demi keselamatanjiwa saya sendiri. Terutama untuk menyelamatkan cita-cita suci, yaitu ingin masuk Islam.
Atas dasar pertimbangan yang seperti itu, akhirnya saya mengambil keputusan lari dari rumah. Meskipun berat, tetapi demi satu pilihan, saya rela berpisah dari keluarga. Alhamdulillah, saya diamankan ke rumah kenalan Tasriful yang menjadi lurah di salah satu kelurahan di Kecamatan Sintang. Namanya Bapak M. Sa'ie Usman. Dengan tulus beliau dan istrinya menerima kehadiran saya.
Sementara itu, dengan kedudukannya sebagai lurah, Bapak M. Sa'ie tentu tak ingin dituduh menyembunyikan anak gadis orang. Apalagi pada waktu itu umur saya barn 17 tahun. Maka, ia pun mendatangi orang tua saya dan menggambarkan bahwa saya, anaknya, ada di rumahnya. Tetapi, ia pun mengingatkan bahwa hal itu ditempuhnya demi keselamatan fisik dan keyakinan saya. Karena yang datang seorang pamong desa maka orang tua saya pun tidak berani macam-macam. Meskipun sangat kecewa dan marah dengan sikap saya, tapi akhimya mereka toh tetap hadir pada hari yang bersejarah dalam hidup saya.
Hari itu, tanggal 13 Oktober 1990, bertempat di rumah Lurah M. Sai'ie Usman yang juga dihadiri tokoh-tokoh masyarakat Sintang, termasuk kerabat saya yang WNI keturunan, berlangsunglah tiga peristiwa yang amatbersejarah sekaligus.
Pertama, serah terima perwalian dari ayah kandung saya, Jung Se Hin alias Kartono, kepada Bapak M. Sa'ie Usman selaku ayah angkat dengan ditandai dan dikuatkan ketentuan adat istiadat yang berlaku.
Kedua, upacara pengislaman (pensyahadatan). Setelah upacara serah terima perwalian selesai, saya pun mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di hadapan ayah angkat saya. Oleh beliau saya diberi sebuah nama baru, Suryani. Sejak itu saya bukan lagi Jung Li Fung yang beragama Katolik, tetapi Suryani yang muslimah.
Ketiga, setelah resmi menjadi seorang muslimah, saya langsung dinikahkan oleh ayah angkat saya dengan Tasriful yang telah menyelamatkan keyakinan saya. Yang membahagiakan diri saya, karena ketiga peristiwa yang bersejarah itu disaksikan langsung oleh papa saya, kerabat, dan keluarga besar WNI keturunan di Desa Nanga Sepauk. Mama amat terharu. Tetapi apa mau dikata, itu sudah takdir bagi saya yang tak terelakkan.
Setelah akad nikah selesai, saya langsung menerima ucapan selamat dari seluruh warga, Keluarga Besar Minang di Sintang. Termasuk dan kawan-kawan sekolah saya yang sangat terharu dan gembira dengan keislaman saya itu.
Setelah kemarahan papa saya sudah agak reda, ayah angkat saya yang selalu memantau keadaan kami, menyarankan agar saya dan suami sowan (berkunjung) ke rumah orang tua saya di Sintang.
Alhamdulillah, sekeras-kerasnya sikap papa, akhirnya luluh juga hatinya dan mau menerima kehadiran kami. Alhamdulillah, berkat bimbingan suami, serta ayah angkat, saya yang mualaf ini sudah bisa melaksanakan shalat, puasa dan lain-lainnya, meskipun belum sempurna.
Saya benar-benar merasa bahagia dan berjanji akan senantiasa meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT dan akan menjadi istri yang baik dan setia, dapat membimbinganak-anak kami kelak menjadi generasi muslim yang baik. Semoga Amin.
Kami dibesarkan di Desa Nanga, Sepauk, dari keluarga yang masih teguh memegang tradisi leluhur, Konghucu. Meskipun begitu, saya dan adik-adik sempat terombang ambing dalam keyakinan yang tidak menentu. Walaupun papa dan mama mengaku beragama Kristen Katolik, tetapi mereka tidak pernah mengarahkan kami, anak-anaknya, untuk menjadi domba Yesus yang baik.
Sewaktu duduk di bangku SMP, saya mulai aktif mengikuti kegiatan keagamaan, baik di sekolah maupun di gereja. Meskipun begitu, teman-teman akrab saya baik di tempat tinggal maupun di sekolah, justru lebih banyak yang beragama Islam. Kebetulan, lingkungan masyarakat tempat tinggal kami mayoritas orang muslim.
Meskipun WNI keturunan Cina juga banyak tinggal di daerah ini, tetapi mereka seperti enggan berbaur dengan pribumi. Keadaan seperti inilah yang mulai mempengaruhi jalan pikiran saya. Saya sering melontarkan kritik kepada teman-teman sesama WNI keturunan. "Mengapa kita masih berkiblat kepada tanah leluhur, sedangkan kita sudah beragama Katolik," tegas saya.
Masa remaja saya berjalan wajar dan kerena pendirian saya itu, saya lebih suka bergaul dengan remaja pribumi. Dari merekalah saya banyak mengetahui seluk-beluk adat istiadat penduduk pribumi. Termasuk agama Islam sebagai agama yang dianut mereka.
Dan, ketika duduk di SMP itu pula saya berkenalan dengan seorang pemuda yang bekerja di toko pakaian jadi. la berasal dari Pasaman, Sumatra Barat, dan lama bermukim di Sintang. Namanya Tasriful. Meskipun usianya terpaut jauh dengan usia saya, tetapi pembawaannya yang ramah dan harmonis telah mempertautkan jiwa kami berdua dalam ikatan batin yang sulit saya lukiskan dengan kata-kata. Kendati keyakinan kami berbeda, tapi itu tak menghalangi kami untuk bersahabat.
Orang tua saya yang sudah maklum dengan pergaulan saya yang lebih suka berteman dengan remaja pribumi, tidak begitu mempersoalkan kedatangan Tasriful. Tetapi, ketika pemuda itu mulai rutin mengunjungi saya, orang tua saya mulai waspada. Papa mengingatkan agar saya menjaga jarak dengan pemuda itu, karena kami berbeda agama. Kami Katolik, sedangkan dia Islam.
Lari dan Masuk Islam
Meskipun orang tua saya, terutama papa telah mencurigai hubungan kami, tapi terus terang, saya amat mengagumi pribadi Tasriful. la pemuda yang bersikap dewasa, penuh tanggung jawab, penyabar, dan bisa membimbing. Saya sudah berbulat hati untuk memilihnya sebagai teman hidup, meski apa pun yang akan terjadi.
Masa pacaran kami lebih banyak diisi dengan perbincangan tentang persoalan keyakinan. Karena penjelasannya yang rasional, saya pun dapat menerima kebenaran Islam. Apalagi saga lihat agama Katolik tidak mampu menjembatani pembauran antara pribumi dan WNI keturunan. Saya melihat hanya Islamlah yang dapat menuntaskan proses pembauran tersebut.
Dan seperti yang sudah saya duga, hubungan kami mendapat tantangan keras dari keluarga. Terutama papa, is bersikap amat keras. Tak perlu saya jelaskan apa yang menimpa diri saya dengan kenekatan saya yang tetap berhubungan dengan Tasriful. justru Tasriful yang prihatin dengan keadaan saya sehingga ia menyarankan agar saya sementara waktu hijrah ke 'suatu tempat yang aman. Katanya, ini demi keselamatanjiwa saya sendiri. Terutama untuk menyelamatkan cita-cita suci, yaitu ingin masuk Islam.
Atas dasar pertimbangan yang seperti itu, akhirnya saya mengambil keputusan lari dari rumah. Meskipun berat, tetapi demi satu pilihan, saya rela berpisah dari keluarga. Alhamdulillah, saya diamankan ke rumah kenalan Tasriful yang menjadi lurah di salah satu kelurahan di Kecamatan Sintang. Namanya Bapak M. Sa'ie Usman. Dengan tulus beliau dan istrinya menerima kehadiran saya.
Sementara itu, dengan kedudukannya sebagai lurah, Bapak M. Sa'ie tentu tak ingin dituduh menyembunyikan anak gadis orang. Apalagi pada waktu itu umur saya barn 17 tahun. Maka, ia pun mendatangi orang tua saya dan menggambarkan bahwa saya, anaknya, ada di rumahnya. Tetapi, ia pun mengingatkan bahwa hal itu ditempuhnya demi keselamatan fisik dan keyakinan saya. Karena yang datang seorang pamong desa maka orang tua saya pun tidak berani macam-macam. Meskipun sangat kecewa dan marah dengan sikap saya, tapi akhimya mereka toh tetap hadir pada hari yang bersejarah dalam hidup saya.
Hari itu, tanggal 13 Oktober 1990, bertempat di rumah Lurah M. Sai'ie Usman yang juga dihadiri tokoh-tokoh masyarakat Sintang, termasuk kerabat saya yang WNI keturunan, berlangsunglah tiga peristiwa yang amatbersejarah sekaligus.
Pertama, serah terima perwalian dari ayah kandung saya, Jung Se Hin alias Kartono, kepada Bapak M. Sa'ie Usman selaku ayah angkat dengan ditandai dan dikuatkan ketentuan adat istiadat yang berlaku.
Kedua, upacara pengislaman (pensyahadatan). Setelah upacara serah terima perwalian selesai, saya pun mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di hadapan ayah angkat saya. Oleh beliau saya diberi sebuah nama baru, Suryani. Sejak itu saya bukan lagi Jung Li Fung yang beragama Katolik, tetapi Suryani yang muslimah.
Ketiga, setelah resmi menjadi seorang muslimah, saya langsung dinikahkan oleh ayah angkat saya dengan Tasriful yang telah menyelamatkan keyakinan saya. Yang membahagiakan diri saya, karena ketiga peristiwa yang bersejarah itu disaksikan langsung oleh papa saya, kerabat, dan keluarga besar WNI keturunan di Desa Nanga Sepauk. Mama amat terharu. Tetapi apa mau dikata, itu sudah takdir bagi saya yang tak terelakkan.
Setelah akad nikah selesai, saya langsung menerima ucapan selamat dari seluruh warga, Keluarga Besar Minang di Sintang. Termasuk dan kawan-kawan sekolah saya yang sangat terharu dan gembira dengan keislaman saya itu.
Setelah kemarahan papa saya sudah agak reda, ayah angkat saya yang selalu memantau keadaan kami, menyarankan agar saya dan suami sowan (berkunjung) ke rumah orang tua saya di Sintang.
Alhamdulillah, sekeras-kerasnya sikap papa, akhirnya luluh juga hatinya dan mau menerima kehadiran kami. Alhamdulillah, berkat bimbingan suami, serta ayah angkat, saya yang mualaf ini sudah bisa melaksanakan shalat, puasa dan lain-lainnya, meskipun belum sempurna.
Saya benar-benar merasa bahagia dan berjanji akan senantiasa meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT dan akan menjadi istri yang baik dan setia, dapat membimbinganak-anak kami kelak menjadi generasi muslim yang baik. Semoga Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar