Memuat...
Kumenthus Ora Pecus
Artinya: Belagak pinter tapi sebenarnya tidak paham/ngerti.
Jika kita semua bisa memerankan diri secara penuh sesuai dengan bidang dan kemahiran kita, maka tentu pengertian tentang falsafah diatas tentu tidak akan muncul.
Kita contohnya misalnya komentator bola, komentator A bisa mengatakan bahwa pemain bola tidak becus menedang bola sehingga bola tidak masuk, namun ada juga kometator B mengatakan bahwa tendangan yang baik namun antipasi yang bagus dari penjaga gawang sehingga bola tidak masuk. Dari kedua contoh ini bisa kita melihat bahwa sekarang ini banyak dari kita seperti komentator yang bertindak sebagai pelatih atau bahkan pemain itu sendiri, yang mana pada saat dilapangan tentu kondisi sudah berbeda dan pastinya merusak banyak hal.
Banyak sekali dalam perjalanan hidup, kita sendiri kadang demi nama baik, pengakuan, status, ingin diakui, kita telah bertindak sok/sombong padahal kita sendiri tidak paham bahkan tidak mengalami langsung. Ini justru sebenarnya akan mempeburuk kwalitas diri secara tidak sadar, kita bisa saja menjadi menjerumuskan, bahkan merusak orang lain.
Dalam Kehidupan berumah tangga, “Kumenthus Ora Pecus”, bertindak arogansi terhadap pasangan hidup dengan tidak mengerti tahu masalahnya itu adalah ciri kesombongan yang tanpa paham permasalahan. Komunikasi menjadi kunci penting untuk saling bisa memberi tahu dan mengerti posisi masing-masing, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuduh yang mana sebenarnya tidak memahaminya. Ketegasan juga diperlukan jika pasangan dalam kondisi bahaya yang mana dia sendiri tidak menyadarinya, harus secara tegas diberitahu.
Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru haruslah mengajarkan apa yang telah dimengertinya, bukan meniru orang tua dan guru yang lain, karena terprovakasi oleh pengalaman anak/murid yang tentunya mengalami interaksi dengan sekitarnya. Anak-anak dan murid jangan pula melakukan hal-hal yang belum dipahami atau belum disuruh untuk lakukan, untuk menghindari kesombongan (berlagak) diri yang muncul.
Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), bertindak seolah-olah polos, seolah-olah berbaik hati, seolah-olah lemah lembut, seolah-olah apa adanya, adalah tindakan munafik yang memang tujuan halusnya adalah untuk menjadi diakui atau pengakuan diri, sangat berbahaya dalam hubungan kehidupan bermasyarakat, karena pada akhirnya akan ada bersifat menipu dan tidak menjadikan dasar sebagai kehidupan beradab, karena pada akhirnya akan menjadi sombong (berlagak) padahal tidak mengerti, ini sama nanti akan menjerumuskan beramai-ramai.
Mari berdamailah dengan keluarga sendiri dulu kedalam, maka tindakan apa adanya adalah murni demikian.
Artinya: Belagak pinter tapi sebenarnya tidak paham/ngerti.
Jika kita semua bisa memerankan diri secara penuh sesuai dengan bidang dan kemahiran kita, maka tentu pengertian tentang falsafah diatas tentu tidak akan muncul.
Kita contohnya misalnya komentator bola, komentator A bisa mengatakan bahwa pemain bola tidak becus menedang bola sehingga bola tidak masuk, namun ada juga kometator B mengatakan bahwa tendangan yang baik namun antipasi yang bagus dari penjaga gawang sehingga bola tidak masuk. Dari kedua contoh ini bisa kita melihat bahwa sekarang ini banyak dari kita seperti komentator yang bertindak sebagai pelatih atau bahkan pemain itu sendiri, yang mana pada saat dilapangan tentu kondisi sudah berbeda dan pastinya merusak banyak hal.
Banyak sekali dalam perjalanan hidup, kita sendiri kadang demi nama baik, pengakuan, status, ingin diakui, kita telah bertindak sok/sombong padahal kita sendiri tidak paham bahkan tidak mengalami langsung. Ini justru sebenarnya akan mempeburuk kwalitas diri secara tidak sadar, kita bisa saja menjadi menjerumuskan, bahkan merusak orang lain.
Dalam Kehidupan berumah tangga, “Kumenthus Ora Pecus”, bertindak arogansi terhadap pasangan hidup dengan tidak mengerti tahu masalahnya itu adalah ciri kesombongan yang tanpa paham permasalahan. Komunikasi menjadi kunci penting untuk saling bisa memberi tahu dan mengerti posisi masing-masing, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuduh yang mana sebenarnya tidak memahaminya. Ketegasan juga diperlukan jika pasangan dalam kondisi bahaya yang mana dia sendiri tidak menyadarinya, harus secara tegas diberitahu.
Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua dan guru haruslah mengajarkan apa yang telah dimengertinya, bukan meniru orang tua dan guru yang lain, karena terprovakasi oleh pengalaman anak/murid yang tentunya mengalami interaksi dengan sekitarnya. Anak-anak dan murid jangan pula melakukan hal-hal yang belum dipahami atau belum disuruh untuk lakukan, untuk menghindari kesombongan (berlagak) diri yang muncul.
Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), bertindak seolah-olah polos, seolah-olah berbaik hati, seolah-olah lemah lembut, seolah-olah apa adanya, adalah tindakan munafik yang memang tujuan halusnya adalah untuk menjadi diakui atau pengakuan diri, sangat berbahaya dalam hubungan kehidupan bermasyarakat, karena pada akhirnya akan ada bersifat menipu dan tidak menjadikan dasar sebagai kehidupan beradab, karena pada akhirnya akan menjadi sombong (berlagak) padahal tidak mengerti, ini sama nanti akan menjerumuskan beramai-ramai.
Mari berdamailah dengan keluarga sendiri dulu kedalam, maka tindakan apa adanya adalah murni demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar