Memuat...
Di sini, di tapal batas Desa Sidosari. Tiba-tiba Virga berdiri di tengah jalan. Suasana lengang dan sepi. Tidak terlihat seorang pun yang berani lewat, karena itu Virga hanya duduk termangu seorang diri. Sesaat lewatlah serombongan orang dari arah utara. Banyak sekali jumlah mereka. Mungkin sampai ratusan!
Perasaan Virga tiba-tiba bergidik. Ternyata pakaian yang dikenakan orang-orang itu sangat lusuh dan warnanya sama. Hitam-hitam. Semuanya berambut terbuka, tidak terlihat satupun yang memakai kopyah. Anehnya, ada beberapa orang perempuan ikut dalam rombongan. Rambut mereka tergerai, panjang mencapai punggung. Anehnya, potongan rambut dan tinggi mereka sama.
Sementara detak jantung Virga semakin berdetak cepat, berpacu alam kepanikan. Pikirannya menangkap keanehan dengan apa yang ada dihadapannya. Segerombolan orang-orang aneh. Tidak ada seorang pun diantara mereka berkata-kata. Semua terdiam seperti membeku. Warnadi sendiri tidak menyapa. Dia merasa sedang melihat orang asing.
“Ah, mimpi apa kenyataan yang saya lihat ini ?,” pekik hatinya sambil berulang kali matanya dikucek-kucek, menguji kesadarannya. Tidak. Aku tidak lagi mimpi. Ini semua kenyataan. Apa yang saya lihat benar-benar nyata! “Lalu, siapa mereka ?,” bisik batinnya.
Belum habis keraguan Virga, di tengah-tengah barisan manusia-manusia aneh itu, dia melihat sebuah peti bercat hitam pekat diusung oleh 10 orang. Pakaian yang mereka kenakan sama, tidak ada bedanya antara pengusung peti mati dengan iring-iringan para pelayat itu. Arah mereka menuju ke selatan. Entah ke mana tujuan rombongan manusia aneh itu.
“Tidak mungkin. Tidak mungkin menuju kuburan. Kuburan Sentana ada di sebelah barat desa. Di selatan sana tidak ada kuburan,”. Lalu untuk apa rombongan membawa peti mati ke arah sana? Virga tercekat seribu pertanyaan. Akal sehatnya masih terus bertanya-tanya, gerangan apa yang dia saksikan itu? Sementara iring-iringan pembawa peti mati berjalan cepat.
“Ayo anak muda! Jangan berdiri sendirian. Ayo…!,” tiba-tiba salah seorang pengirim bicara padanya. Belum tahu maksud ajakan itu, tangan kanan pria berumur sekitar 60 tahun itu, langsung menyambar tangan Virga. Dan, menggelendangnya membaur dalam rombongan.
Sekejab kedua kaki Virga melangkah berirama dengan kaki-kaki orang-orang itu. Keanehan segera dia rasakan. Ternyata langkah kaki Virga serasa ringan sekali. Ringan, seakan-akan tidak membawa beban berat tubuhnya. Langkah seperti kapas, melayang-layang agak naik ke udara. Kedua kakinya dia rasakan sudah tidak lagi menjamah tanah.
“Tahan! Hentikan-hentikan. Jangan bawa aku! Siapa kalian Pak Tua,” teriak Virga meminta agar orang yang dia sebut pak Tua itu melepaskan cekalan tangannya. Berulang kali dia berteriak, tidak seorang pun diantara mereka mendengar teriakannya. Bahkan, semakin dia panik, langkah kakinya semakin melayang. Semakin cepat, semakin terbawa terbang.
Suasana alam sekejab mata berubah putih… putih, dan semua orang aneh itu memakai pakaian putih-putih. Bersamaan itu langkah Virga terhenti. Dia dapati dirinya sendirian agak jauh dari gerombolan orang-orang itu. Aktivitas mereka tidak lagi mengusung peti, namun tengah mengelilingi peti mati. Virga mendapati dirinya masih mengenakan pakaian semula. Warna merah dipadu celana hitam.
Orang-orang itu tetap diam terpaku. Tidak sampai semenit, tiba-tiba asap tipis keluar dari sela tutup peti mati. Dua detik kemudian, tutup peti berlahan membuka dengan sendirinya. Hingga terbuka, blak! Berganti, dari dalam peti keluar sosok bertubuh hitam. Wajahnya menakutkan. Penuh luka. Bahkan sebuah anak panah masih menancap di bagian atas kepalanya.
Sekujur tubuhnya juga penuh luka bacokan. Darah hitam mengental terlihat masih menetes di belahan lukanya. Dia berjalan mendekati Virga. Sekejab itu bau anyir menebar ke mana-mana. Lebih dekat lagi, salah satu mata sosok itu ternyata pecah. Seperti bekas tertancap anak panah. Tubuhnya semakin dekat ke arah Virga.
Belum sampai semeter Virga tidak tahan lagi. Rasa takutnya sudah nyaris di ambang batas. Seketika itu dia berguman. ”Tuhan makhluk apa yang sedang saya hadapi ini…,” setelah itu dia tidak tersadarkan diri. Entah berapa lama, entah di mana dirinya, ketika itu tidak tahu.
“Bangun-bangun Vir. Ibumu ada di sini,” lamat-lamat dia mendengar suara orang tua membangunkannya. Dia lihat sekelilingnya ada beberapa orang, termasuknya ibunya. Hari ketika itu sudah malam. Kembali dia tersadar. “Aku kok di rumah,” ceplosnya tanpa sadar. “Ini Mbah Kodir Vir. Dia orang pinter dari seberang desa. Sore tadi Martono menemukanmu pingsan di bawah pohon sawo tua dekat tapal batas,” tutur ibunya.
“Kata Mbah Kodir kamu kesurupan ruh penunggu tapal batas. Perlu kamu tahu. Di situ dulu menjadi tempat pertempuran kadipaten Sidosari dengan Kalirejo. Banyak prajurit yang terbunuh di situ. Adipati Sidosari juga tewas mengenaskan. Mayatnya dicacah-cacah, mata dicongkel. Prajurit Kalirejo yang menang sangat membenci adipati Sidosari. Dia sangat kejam terhadap rakyat Kalirejo. Tapi, rakyatnya sendiri sangat menghomati dia,”.
Belum habis ibunya bercerita, Virga langsung lemas, ”Oh Tuhan. Ternyata sosok itu arwah Adipati Sidosari!,” pekiknya langsung lemas. Setelah itu dia tidak berkata-kata lagi. Tidur pulas dipangkuan ibunya. (Ungaran, 2 April 2008, muis)
Perasaan Virga tiba-tiba bergidik. Ternyata pakaian yang dikenakan orang-orang itu sangat lusuh dan warnanya sama. Hitam-hitam. Semuanya berambut terbuka, tidak terlihat satupun yang memakai kopyah. Anehnya, ada beberapa orang perempuan ikut dalam rombongan. Rambut mereka tergerai, panjang mencapai punggung. Anehnya, potongan rambut dan tinggi mereka sama.
Sementara detak jantung Virga semakin berdetak cepat, berpacu alam kepanikan. Pikirannya menangkap keanehan dengan apa yang ada dihadapannya. Segerombolan orang-orang aneh. Tidak ada seorang pun diantara mereka berkata-kata. Semua terdiam seperti membeku. Warnadi sendiri tidak menyapa. Dia merasa sedang melihat orang asing.
“Ah, mimpi apa kenyataan yang saya lihat ini ?,” pekik hatinya sambil berulang kali matanya dikucek-kucek, menguji kesadarannya. Tidak. Aku tidak lagi mimpi. Ini semua kenyataan. Apa yang saya lihat benar-benar nyata! “Lalu, siapa mereka ?,” bisik batinnya.
Belum habis keraguan Virga, di tengah-tengah barisan manusia-manusia aneh itu, dia melihat sebuah peti bercat hitam pekat diusung oleh 10 orang. Pakaian yang mereka kenakan sama, tidak ada bedanya antara pengusung peti mati dengan iring-iringan para pelayat itu. Arah mereka menuju ke selatan. Entah ke mana tujuan rombongan manusia aneh itu.
“Tidak mungkin. Tidak mungkin menuju kuburan. Kuburan Sentana ada di sebelah barat desa. Di selatan sana tidak ada kuburan,”. Lalu untuk apa rombongan membawa peti mati ke arah sana? Virga tercekat seribu pertanyaan. Akal sehatnya masih terus bertanya-tanya, gerangan apa yang dia saksikan itu? Sementara iring-iringan pembawa peti mati berjalan cepat.
“Ayo anak muda! Jangan berdiri sendirian. Ayo…!,” tiba-tiba salah seorang pengirim bicara padanya. Belum tahu maksud ajakan itu, tangan kanan pria berumur sekitar 60 tahun itu, langsung menyambar tangan Virga. Dan, menggelendangnya membaur dalam rombongan.
Sekejab kedua kaki Virga melangkah berirama dengan kaki-kaki orang-orang itu. Keanehan segera dia rasakan. Ternyata langkah kaki Virga serasa ringan sekali. Ringan, seakan-akan tidak membawa beban berat tubuhnya. Langkah seperti kapas, melayang-layang agak naik ke udara. Kedua kakinya dia rasakan sudah tidak lagi menjamah tanah.
“Tahan! Hentikan-hentikan. Jangan bawa aku! Siapa kalian Pak Tua,” teriak Virga meminta agar orang yang dia sebut pak Tua itu melepaskan cekalan tangannya. Berulang kali dia berteriak, tidak seorang pun diantara mereka mendengar teriakannya. Bahkan, semakin dia panik, langkah kakinya semakin melayang. Semakin cepat, semakin terbawa terbang.
Suasana alam sekejab mata berubah putih… putih, dan semua orang aneh itu memakai pakaian putih-putih. Bersamaan itu langkah Virga terhenti. Dia dapati dirinya sendirian agak jauh dari gerombolan orang-orang itu. Aktivitas mereka tidak lagi mengusung peti, namun tengah mengelilingi peti mati. Virga mendapati dirinya masih mengenakan pakaian semula. Warna merah dipadu celana hitam.
Orang-orang itu tetap diam terpaku. Tidak sampai semenit, tiba-tiba asap tipis keluar dari sela tutup peti mati. Dua detik kemudian, tutup peti berlahan membuka dengan sendirinya. Hingga terbuka, blak! Berganti, dari dalam peti keluar sosok bertubuh hitam. Wajahnya menakutkan. Penuh luka. Bahkan sebuah anak panah masih menancap di bagian atas kepalanya.
Sekujur tubuhnya juga penuh luka bacokan. Darah hitam mengental terlihat masih menetes di belahan lukanya. Dia berjalan mendekati Virga. Sekejab itu bau anyir menebar ke mana-mana. Lebih dekat lagi, salah satu mata sosok itu ternyata pecah. Seperti bekas tertancap anak panah. Tubuhnya semakin dekat ke arah Virga.
Belum sampai semeter Virga tidak tahan lagi. Rasa takutnya sudah nyaris di ambang batas. Seketika itu dia berguman. ”Tuhan makhluk apa yang sedang saya hadapi ini…,” setelah itu dia tidak tersadarkan diri. Entah berapa lama, entah di mana dirinya, ketika itu tidak tahu.
“Bangun-bangun Vir. Ibumu ada di sini,” lamat-lamat dia mendengar suara orang tua membangunkannya. Dia lihat sekelilingnya ada beberapa orang, termasuknya ibunya. Hari ketika itu sudah malam. Kembali dia tersadar. “Aku kok di rumah,” ceplosnya tanpa sadar. “Ini Mbah Kodir Vir. Dia orang pinter dari seberang desa. Sore tadi Martono menemukanmu pingsan di bawah pohon sawo tua dekat tapal batas,” tutur ibunya.
“Kata Mbah Kodir kamu kesurupan ruh penunggu tapal batas. Perlu kamu tahu. Di situ dulu menjadi tempat pertempuran kadipaten Sidosari dengan Kalirejo. Banyak prajurit yang terbunuh di situ. Adipati Sidosari juga tewas mengenaskan. Mayatnya dicacah-cacah, mata dicongkel. Prajurit Kalirejo yang menang sangat membenci adipati Sidosari. Dia sangat kejam terhadap rakyat Kalirejo. Tapi, rakyatnya sendiri sangat menghomati dia,”.
Belum habis ibunya bercerita, Virga langsung lemas, ”Oh Tuhan. Ternyata sosok itu arwah Adipati Sidosari!,” pekiknya langsung lemas. Setelah itu dia tidak berkata-kata lagi. Tidur pulas dipangkuan ibunya. (Ungaran, 2 April 2008, muis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar