Di Goda Mbakyu Penunggu Jembatan

Memuat...
Malam itu pertama kalinya Adi pulang tidak biasanya. Dia agak kemalaman. Tidak seperti biasanya yang sampai di desanya sebelum maghrib. Namun karena di terminal ada demo sopir bus, maka tidak ada satu pun bus bisa ditumpanginya untuk pulang. Mau tidak mau dia pulang dengan jalan kaki. Padahal, jarak yang harus ditempuh sekitar 5 kilometer!
“Sialan, jalannya gelap lagi, mana perut sudah lapar, jalannya agak cepat deh biar cepat sampai warung pojok, ngopi dulu,” guman Adi sambil membayangkan nyeruput kopi di warung pojok desa terdekat. Dengan langkah panjang dan cepat Adi berjalan sambil
sesekali menengok jam tangannya yang waktu itu sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB.
“Sial, kok warungnya tutup, payah.” gerutu Adi tak habis-habisnya. “Kalau gini bisa mati kehausan nih, motong jalan aja
deh, tapi hutan karet itu serem juga, ah cuek saja lah, mana ada hantu yang berani ganggu aku,” sesumbarnya.
Akhirnya dengan sedikit perasaan takut, Adi mengambil jalan pintas melewati jalan setapak tengah perkebunan karet. Perkebunan karet itu terletak di seberang desa Adi, namun sebelum melewatinya harus melalui beberapa petak sawah dan menyeberang sungai kecil.
“Tumben malam ini kok sepi yah, ohhh ada hajatan di desa kulon nanggap wayang, pantesan banyak yang pada
nonton,” gumannya lagi.
Sesekali Adi memang bersenandung atau berguman ngomong sendiri, sekedar menghilangkan rasa takutnya. Karena menurut cerita orang kampung hutan karet itu cukup angker, sering ada suara-suara menakutkan dari rerimbunan pohon tersebut, ah itu pasti hanya cerita
orang untuk menakuti anaknya saja. Memasuki hutan karet, Adi diam seribu basa, tak hentinya mulutnya berguman melayangkan doa-doa untuk menenangkan dirinya. Setelah beberapa saat Adi mulai melihat cahaya lampu rumah, amin…, akhirnya sampai juga.
Tapi siapa itu, dilihatnya ada seorang wanita berjalan sendirian melewati jembatan, sambil menggendong bakul.
“Siapa yah, ohh mungkin itu penjual kacang godhog yang mau jualan di wayangan, tapi boleh juga nih untuk ngisi perut sementara dari pada keroncongan terus.” pikir Adi, karena dia masih harus melewati satu desa lagi untuk sampai di rumahnya.
“Yu, mande kacang nggih, mbok kula tumbas sewu mawon (Yu, jualan kacang ya, saya beli ya),” ujar Adi pada wanita itu.
Wanita itu berhenti dan duduk meletakkan bakulnya di tanah sambil membuka bakulnya dan menyerahkan sebungkus kacang yang masih mengepul itu. “Kok mendel mawon to yu, nopo mboten kewengen medal sak niki (Kok diam saja yu, apa tidak kemalaman lewat sini)?”.
Aneh, wanita itu cuma senyam-senyum saja, tanpa bicara sepatah kata pun. Tidak ada yang aneh sih, tapi
tiba-tiba bulu kuduk Adi merinding dan sepertinya tercium bau-bauan yang wangi. “Atos-atos lho yu, kok wani to mlaku dewe nopo mboten wedi, kok kulo rodho mrinding niki (ati-ati lho yu, kok berani jalan sendirian apa tidak takut, kok saya rada merinding ini),” ujar Adi seraya memberikan uang seribuan pada wanita tersebut.
Tiba-tiba saja ada angin mendesir pelan diiringi tawa cekikikan pelan dari mulut wanita cantik itu.
Dan wanita itu mendekat pada Adi, lalu… “Aku wedi mas, kancani aku yo… (aku takut mas, temani aku yo)” tiba-tiba wanita itu ngomong dengan suara serak seperti suara nenek-nenek sedang makan sirih, disertai dengan tawa cekikikan.
Spontan Adi kaget dan ndredeg seluruh tubuh. Mau teriak tidak bisa, akhirnya saking kagetnya dia
pingsan ditempat itu juga. Keesokan paginya, Adi sudah berada di balai-balai rumah penduduk desa setempat, dia dikerumuni banyak
orang. “Kei ngobe wis sadar (kasih minum sudah sadar) ” ujar salah seorang bapak yang bernama Pak Panut.
“Nak, tadi malam kamu ditemukan oleh warga pingsan di dekat jembatan, kamu kenapa,” tanya salah satu warga. Lalu tiba-tiba datang bapak dan ibunya yang diberitahu oleh warga yang mengenal Adi sebagai anak dari Pak Pardi warga kampung sebelah. “Ngopo kowe Di, kok ora mulih malah turu kene (kenapa kamu Di, kok tidak pulang malah tidur disini),” tanya ibunya cemas.
“Mboten nopo-nopo bu, Adi namung di weruhi mbakyu sing tunggu kali (tidak apa-apa bu, adi cuma ditemui Mbakyu yang menunggu sungai),” ujar pak Panut. Ternyata dia disapa oleh mbakyu demikian orang kampung biasa memanggil sosok wanita penunggu sungai dan jembatan desa, namun mbakyu tidak pernah membuat celaka hanya sebatas menggoda saja. Kapok deh, sejak saat itu dia takut banget bila pulang kemalaman, lebih baik tidur di kantor saja lah. (cerita uji solo, jawa tengah)

Related Post



Tidak ada komentar:

Postingan Populer