Memuat...
Penampilannya bak penyihir agung Dumbledore dalam fiksi Harry Potter, dengan jenggot dan cambang yang hampir menenggelamkan wajahnya. Orasinya lantang. Di hadapannya, seratus ribu massa yang memenuhi Stadion Gelora Bung Karno, khusyuk menyimak. Padahal mungkin, sebagian besar hadirin tak paham apa yang dilontarkannya, karena kendala bahasa.
Itulah Ko Nakata. Ahad lalu (12/8) dia mengisi orasi dengan bahasa Jepang dalam Konferensi Khilafah Internasional yang digelar oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Dia menjadi singa podium hari itu. Nakata bukan anggota Hizbut Tahrir. Disertasinya mengenai pemikiran politik Ibnu Thaimiyah lah yang mengantarkannya menjadi pengamat gerakan politik Islam kontemporer.
Dia bukan Muslim pada awalnya. Menemukan Islam baginya lebih sebagai pengalaman intelektual ketimbang pengalaman religius.
Pertama kali mengenal Islam ketika memutuskan mengambil kuliah perbandingan agama di Universitas Tokyo pada tahun 1980. Nakata saat itu hanya paham kepercayaan asli Jepang, Shinto, dan juga Budhisme. Secara otodidak, paham monoteis Yahudi, Kristen, dan Islam dia pelajari.
Ketika menimbang dan membanding itulah dia merasa ajaran Islamlah yang paling menyeluruh. ''Hanya butuh waktu satu tahun bagi saya untuk memutuskan memeluk Islam,'' kata Nakata. Menjadi Muslim pada tahun ketiga kuliah, dia pun menambahkan Hassan di depan nama aslinya. Ia pernah mendalami tarekat Naqshabandiyah dan Syaziliah. Namun saya bukan murid yang baik, ujarnya.
Usai bergelar sarjana, Nakata ingin lebih memperdalam Islam. Namun belum ada program master Kajian Islam di universitas Jepang. Buku-buku Islam berhuruf kanji pun masih sulit didapat. Untunglah tak lama kemudian Universitas Tokyo membuka program master Kajian Islam. ''Saya menjadi mahasiswa Muslim pertama dan terakhir di jurusan Islamic Studies Universitas Tokyo selama 25 tahun ini,'' ujar Nakata. Bukan hal aneh karena masyarakat Jepang sendiri memang tidak tertarik dengan agama.
Jangankan mengenal konsep Tuhan, agama adalah barang asing yang tak pernah ada dalam pikiran. ''Ketika kita mulai bicara soal agama, mereka langsung menutup muka dan pergi. Terutama anak-anak muda,'' kata Nakata. Namun sebagai orang asli Jepang, Nakata mungkin bukan dari jenis kebanyakan. Sejak kecil dia sudah sudah punya keyakinan tentang konsep Tuhan. Tapi konsep itu pun dikenalnya lewat gereja yang selalu dikunjunginya sejak kecil, walau dia tak memeluk Kristen.
Nakata kini menjadi Presiden Asosiasi Muslim Jepang sembari mengajar Kajian Islam di Universitas Doshisha, Kyoto. Mayoritas mahasiswanya justru beragama Kristen. Selama empat tahun menjadi Guru Besar di Doshisha, Nakata berhasil memikat empat mahasiswanya yang semula atheis untuk masuk Islam.
Saat ini banyak profesor Muslim di jurusan Kajian Islam di berbagai universitas Jepang. Namun tak banyak mahasiswa yang akhirnya tertarik kepada Islam. Kunci agar mahasiswa tertarik Islam, lanjut Nakata, memberi contoh langsung amalan Islam termasuk ibadah ritual.
Sebenarnya banyak murid-murid lain masuk Islam. Namun setelah lulus mereka kalah dengan tekanan sosial. Bahkan Nakata mengaku, walau kedua orang tuanya telah menjadi Muslim, tapi mereka tak menjalankan ritual agama. Menurut dia, selama 55 tahun ini Islam di Jepang memang tidak tumbuh pesat. Dari 70 ribu Muslim di negeri itu, 7.000 orang di antaranya adalah warga pribumi. Muslim dari Indonesia menjadi mayoritas dengan jumlah 20 ribu jiwa, ujarnya.
Agama monoteis lain seperti Kristen yang mempunyai sumber daya melimpah dalam dakwah pun tak berdaya di negara berpenduduk 120 juta jiwa ini. Hingga kini penganut Kristen hanya berkisar satu persen saja. ''Walau kondisinya seperti ini, selalu saja ada yang datang kepada kami memeluk Islam,'' kata Nakata. Peristiwa 11/9 WTC merupakan berkah karena kini banyak anak muda Jepang yang penasaran demi mendengar kata Islam.
Nakata memang bukan Dumbledore yang bisa menyulap apa pun dalam sekejap. Dia juga tak sedang berdakwah kepada batu yang bergeming. Saya hanya meniti jalan yang ditempuh Nuh, ujarnya merendah. Nabi yang selama 500 tahun berdakwah itu memang hanya bisa menyadarkan segelintir orang dari kaumnya. n rto/RioL
Hassan Ko Nakata
Lahir : Okayama, Jepang, 22 Juli 1960
Karir Akademis
1984 : Sarjana Islamic Studies Universitas Tokyo
1986 : Master Islamic Studies Universitas Tokyo
1992 : Ph.D Islamic Philosophy Universitas Kairo
1992-1995 : Peneliti Kedutaan Jepang di Saudi Arabia
1995-2003 : Guru Besar di Universitas Yamaguchi
1997-1998 : Direktur Pusat Studi Kairo di Japanese Society for Promotion of Sciences
2003-sekarang : Guru Besar Fakultas Teologi dan Wakil Direktur Pusat Studi Agama-agama Monoteis di Universitas Doshisha.
Saat ini mengawasi proses penerjemahan Tafsir Jalalain ke bahasa Jepang yang dikerjakan oleh Habibah Kaori Nakata.
Swaramuslim.net
Itulah Ko Nakata. Ahad lalu (12/8) dia mengisi orasi dengan bahasa Jepang dalam Konferensi Khilafah Internasional yang digelar oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Dia menjadi singa podium hari itu. Nakata bukan anggota Hizbut Tahrir. Disertasinya mengenai pemikiran politik Ibnu Thaimiyah lah yang mengantarkannya menjadi pengamat gerakan politik Islam kontemporer.
Dia bukan Muslim pada awalnya. Menemukan Islam baginya lebih sebagai pengalaman intelektual ketimbang pengalaman religius.
Pertama kali mengenal Islam ketika memutuskan mengambil kuliah perbandingan agama di Universitas Tokyo pada tahun 1980. Nakata saat itu hanya paham kepercayaan asli Jepang, Shinto, dan juga Budhisme. Secara otodidak, paham monoteis Yahudi, Kristen, dan Islam dia pelajari.
Ketika menimbang dan membanding itulah dia merasa ajaran Islamlah yang paling menyeluruh. ''Hanya butuh waktu satu tahun bagi saya untuk memutuskan memeluk Islam,'' kata Nakata. Menjadi Muslim pada tahun ketiga kuliah, dia pun menambahkan Hassan di depan nama aslinya. Ia pernah mendalami tarekat Naqshabandiyah dan Syaziliah. Namun saya bukan murid yang baik, ujarnya.
Usai bergelar sarjana, Nakata ingin lebih memperdalam Islam. Namun belum ada program master Kajian Islam di universitas Jepang. Buku-buku Islam berhuruf kanji pun masih sulit didapat. Untunglah tak lama kemudian Universitas Tokyo membuka program master Kajian Islam. ''Saya menjadi mahasiswa Muslim pertama dan terakhir di jurusan Islamic Studies Universitas Tokyo selama 25 tahun ini,'' ujar Nakata. Bukan hal aneh karena masyarakat Jepang sendiri memang tidak tertarik dengan agama.
Jangankan mengenal konsep Tuhan, agama adalah barang asing yang tak pernah ada dalam pikiran. ''Ketika kita mulai bicara soal agama, mereka langsung menutup muka dan pergi. Terutama anak-anak muda,'' kata Nakata. Namun sebagai orang asli Jepang, Nakata mungkin bukan dari jenis kebanyakan. Sejak kecil dia sudah sudah punya keyakinan tentang konsep Tuhan. Tapi konsep itu pun dikenalnya lewat gereja yang selalu dikunjunginya sejak kecil, walau dia tak memeluk Kristen.
Nakata kini menjadi Presiden Asosiasi Muslim Jepang sembari mengajar Kajian Islam di Universitas Doshisha, Kyoto. Mayoritas mahasiswanya justru beragama Kristen. Selama empat tahun menjadi Guru Besar di Doshisha, Nakata berhasil memikat empat mahasiswanya yang semula atheis untuk masuk Islam.
Saat ini banyak profesor Muslim di jurusan Kajian Islam di berbagai universitas Jepang. Namun tak banyak mahasiswa yang akhirnya tertarik kepada Islam. Kunci agar mahasiswa tertarik Islam, lanjut Nakata, memberi contoh langsung amalan Islam termasuk ibadah ritual.
Sebenarnya banyak murid-murid lain masuk Islam. Namun setelah lulus mereka kalah dengan tekanan sosial. Bahkan Nakata mengaku, walau kedua orang tuanya telah menjadi Muslim, tapi mereka tak menjalankan ritual agama. Menurut dia, selama 55 tahun ini Islam di Jepang memang tidak tumbuh pesat. Dari 70 ribu Muslim di negeri itu, 7.000 orang di antaranya adalah warga pribumi. Muslim dari Indonesia menjadi mayoritas dengan jumlah 20 ribu jiwa, ujarnya.
Agama monoteis lain seperti Kristen yang mempunyai sumber daya melimpah dalam dakwah pun tak berdaya di negara berpenduduk 120 juta jiwa ini. Hingga kini penganut Kristen hanya berkisar satu persen saja. ''Walau kondisinya seperti ini, selalu saja ada yang datang kepada kami memeluk Islam,'' kata Nakata. Peristiwa 11/9 WTC merupakan berkah karena kini banyak anak muda Jepang yang penasaran demi mendengar kata Islam.
Nakata memang bukan Dumbledore yang bisa menyulap apa pun dalam sekejap. Dia juga tak sedang berdakwah kepada batu yang bergeming. Saya hanya meniti jalan yang ditempuh Nuh, ujarnya merendah. Nabi yang selama 500 tahun berdakwah itu memang hanya bisa menyadarkan segelintir orang dari kaumnya. n rto/RioL
Hassan Ko Nakata
Lahir : Okayama, Jepang, 22 Juli 1960
Karir Akademis
1984 : Sarjana Islamic Studies Universitas Tokyo
1986 : Master Islamic Studies Universitas Tokyo
1992 : Ph.D Islamic Philosophy Universitas Kairo
1992-1995 : Peneliti Kedutaan Jepang di Saudi Arabia
1995-2003 : Guru Besar di Universitas Yamaguchi
1997-1998 : Direktur Pusat Studi Kairo di Japanese Society for Promotion of Sciences
2003-sekarang : Guru Besar Fakultas Teologi dan Wakil Direktur Pusat Studi Agama-agama Monoteis di Universitas Doshisha.
Saat ini mengawasi proses penerjemahan Tafsir Jalalain ke bahasa Jepang yang dikerjakan oleh Habibah Kaori Nakata.
Swaramuslim.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar